DPR Sahkan Revisi UU KPK
A
A
A
RAPAT Paripurna DPR yang telah menyetujui revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), langsung menuai kontroversi. Rencana DPR tersebut dinilai kalangan penggiat antikorupsi sebagai upaya pelemahan terhadap KPK. Apalagi, pengesahan revisi UU KPK tersebut terkesan diam-diam dan mendadak.
Ada sejumlah alasan mengapa muncul tudingan adanya agenda tersembunyi dari upaya DPR untuk merevisi UU KPK tersebut. Pertama, rencana revisi tersebut tidak diketahui publik, dalam arti pembahasannya tidak melibatkan masyarakat maupun lembaga/organisasi penggiat antikorupsi, sehingga banyak kalangan mengaku kaget begitu mendengar berita bahwa tiba-tiba DPR akan melakukan revisi UU KPK yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR.
Kedua, langkah DPR ini dinilai buru-buru dan diajukan oleh DPR periode 2014-2019 yang sebentar lagi masa kerjanya segera berakhir. Hampir tidak mungkin revisi UU KPK ini oleh anggota DPR periode 2014-2019 yang masa baktinya hanya tinggal sekitar tiga minggu lagi. Ini yang harus dipertanyakan, ada apa sebenarnya di balik langkah DPR dalam upayanya mengubah UU KPK tersebut. Maka tidak mengherankan jika ada kalangan yang menuding bahwa ada iktikad tidak baik dari DPR terkait kebijakannya tersebut. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut DPR bekerja dalam senyap terkait disahkannya revisi UU KPK tersebut yang begitu mendadak. Ada juga yang menyebut revisi UU KPK ini seperti kado pahit akhir masa kerja DPR periode 2014-2019.
Ketiga, ada sejumlah poin yang ada dalam revisi yang diajukan untuk mengubah UU KPK dinilai sarat dengan upaya untuk memoderatkan--kalau tidak bisa dikatakan melemahkan--lembaga pimpinan Agus Rahardjo tersebut. Beberapa tema yang bakal menjadi kontroversi yang tercantum dalam revisi UU KPK yang diajukan DPR tersebut, di antaranya mulai statusnya yang akan berada di bawah lembaga eksekutif, kewenangan penyadapan yang harus izin, keberadaan dewan pengawas, hingga bolehnya KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan.
Kita semua sepakat untuk membuat KPK menjadi lembaga yang benar-benar melaksanakan fungsinya dalam pemberantasan korupsi. Dan sejak didirikannya tahun 2002, KPK memang masih memiliki sejumlah kekurangan dan belum bisa dikatakan berhasil menjalankan tugasnya. Hingga detik ini, masih banyak kita rasakan bahwa virus korupsi masih menjangkiti hampir seluruh birokrasi pemerintahan. Bahkan, tidak berlebihan jika korupsi masih menjadi ‘’budaya’’ yang melekat dan sulit dihilangkan. KPK periode ini memang sangat gencar melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Bahkan, hampir seminggu sekali para pejabat kita terjaring OTT yang dilakukan KPK.
Yang menjadi pertanyaan, apakah OTT itu merupakan tanda kesuksesan KPK dalam pemberantasan korupsi? Belum tentu. Bisa jadi justru ini menjadi salah satu kelemahan KPK karena gagal dalam mencegah korupsi. Seharusnya KPK yang sudah berusia hampir dua dasawarsa mampu menyebarkan efek jera dari penindakan yang dilakukannya selama ini. Nyatanya tidak. Para pejabat berkolaborasi dengan swasta, tetap saja berani menggarong uang negara.
Terlepas dari kekurangan KPK, revisi UU KPK sebenarnya belum perlu dilakukan. UU KPK sudah cukup baik menjadi payung hukum lembaga antirasuah ini. Kalau memang ada kelemahan dalam hal implementasi, yang seharusnya diperbaiki dan didorong adalah bagaimana KPK bisa bekerja lurus dan profesional. Masyarakat sudah muak dengan tingkah laku oknum pejabat yang korup sehingga membuat negara ini tidak bisa maju. Apalagi, draf revisi UU KPK yang diajukan banyak berisi hal-hal yang justru ‘’melucuti’’ senjata KPK dalam bekerja. Dan jika sampai semua draf yang kontroversi tersebut nantinya benar-benar disahkan menjadi undang-undang, dan kewenangan KPK ‘’dikebiri’’, maka dikhawatirkan masa depan pemberantasan korupsi bertambah suram.
Berbagai kontroversi yang muncul di atas sudah seharusnya menjadi masukan yang berharga bagi kalangan DPR dan pemerintah. Setidaknya revisi UU KPK yang akan dilakukan harus benar-benar mencerminkan keinginan masyarakat akan hadirnya lembaga penegak hukum yang bisa membasmi korupsi di Indonesia sampai akar-akarnya. Intinya adalah semangat yang dibangun di benak para anggota DPR harus satu suara, yaitu bagaimana membuat KPK mampu untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.
Jangan sampai justru revisi UU KPK ini memang benar-benar sebagai upaya untuk mengerdilkan KPK agar menjadi macan omong. Presiden Joko Widodo tampaknya harus mengawal secara khusus pembahasan revisi UU KPK tersebut. Bagaimanapun, munculnya kecurigaan publik akan niat tidak baik DPR harus ditangkap oleh Presiden. Presiden nantinya bisa saja menolak UU KPK jika dinilai hanya akal-akalan untuk melemahkan KPK dengan tidak menandatanganinya.
Ada sejumlah alasan mengapa muncul tudingan adanya agenda tersembunyi dari upaya DPR untuk merevisi UU KPK tersebut. Pertama, rencana revisi tersebut tidak diketahui publik, dalam arti pembahasannya tidak melibatkan masyarakat maupun lembaga/organisasi penggiat antikorupsi, sehingga banyak kalangan mengaku kaget begitu mendengar berita bahwa tiba-tiba DPR akan melakukan revisi UU KPK yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR.
Kedua, langkah DPR ini dinilai buru-buru dan diajukan oleh DPR periode 2014-2019 yang sebentar lagi masa kerjanya segera berakhir. Hampir tidak mungkin revisi UU KPK ini oleh anggota DPR periode 2014-2019 yang masa baktinya hanya tinggal sekitar tiga minggu lagi. Ini yang harus dipertanyakan, ada apa sebenarnya di balik langkah DPR dalam upayanya mengubah UU KPK tersebut. Maka tidak mengherankan jika ada kalangan yang menuding bahwa ada iktikad tidak baik dari DPR terkait kebijakannya tersebut. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut DPR bekerja dalam senyap terkait disahkannya revisi UU KPK tersebut yang begitu mendadak. Ada juga yang menyebut revisi UU KPK ini seperti kado pahit akhir masa kerja DPR periode 2014-2019.
Ketiga, ada sejumlah poin yang ada dalam revisi yang diajukan untuk mengubah UU KPK dinilai sarat dengan upaya untuk memoderatkan--kalau tidak bisa dikatakan melemahkan--lembaga pimpinan Agus Rahardjo tersebut. Beberapa tema yang bakal menjadi kontroversi yang tercantum dalam revisi UU KPK yang diajukan DPR tersebut, di antaranya mulai statusnya yang akan berada di bawah lembaga eksekutif, kewenangan penyadapan yang harus izin, keberadaan dewan pengawas, hingga bolehnya KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan.
Kita semua sepakat untuk membuat KPK menjadi lembaga yang benar-benar melaksanakan fungsinya dalam pemberantasan korupsi. Dan sejak didirikannya tahun 2002, KPK memang masih memiliki sejumlah kekurangan dan belum bisa dikatakan berhasil menjalankan tugasnya. Hingga detik ini, masih banyak kita rasakan bahwa virus korupsi masih menjangkiti hampir seluruh birokrasi pemerintahan. Bahkan, tidak berlebihan jika korupsi masih menjadi ‘’budaya’’ yang melekat dan sulit dihilangkan. KPK periode ini memang sangat gencar melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Bahkan, hampir seminggu sekali para pejabat kita terjaring OTT yang dilakukan KPK.
Yang menjadi pertanyaan, apakah OTT itu merupakan tanda kesuksesan KPK dalam pemberantasan korupsi? Belum tentu. Bisa jadi justru ini menjadi salah satu kelemahan KPK karena gagal dalam mencegah korupsi. Seharusnya KPK yang sudah berusia hampir dua dasawarsa mampu menyebarkan efek jera dari penindakan yang dilakukannya selama ini. Nyatanya tidak. Para pejabat berkolaborasi dengan swasta, tetap saja berani menggarong uang negara.
Terlepas dari kekurangan KPK, revisi UU KPK sebenarnya belum perlu dilakukan. UU KPK sudah cukup baik menjadi payung hukum lembaga antirasuah ini. Kalau memang ada kelemahan dalam hal implementasi, yang seharusnya diperbaiki dan didorong adalah bagaimana KPK bisa bekerja lurus dan profesional. Masyarakat sudah muak dengan tingkah laku oknum pejabat yang korup sehingga membuat negara ini tidak bisa maju. Apalagi, draf revisi UU KPK yang diajukan banyak berisi hal-hal yang justru ‘’melucuti’’ senjata KPK dalam bekerja. Dan jika sampai semua draf yang kontroversi tersebut nantinya benar-benar disahkan menjadi undang-undang, dan kewenangan KPK ‘’dikebiri’’, maka dikhawatirkan masa depan pemberantasan korupsi bertambah suram.
Berbagai kontroversi yang muncul di atas sudah seharusnya menjadi masukan yang berharga bagi kalangan DPR dan pemerintah. Setidaknya revisi UU KPK yang akan dilakukan harus benar-benar mencerminkan keinginan masyarakat akan hadirnya lembaga penegak hukum yang bisa membasmi korupsi di Indonesia sampai akar-akarnya. Intinya adalah semangat yang dibangun di benak para anggota DPR harus satu suara, yaitu bagaimana membuat KPK mampu untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.
Jangan sampai justru revisi UU KPK ini memang benar-benar sebagai upaya untuk mengerdilkan KPK agar menjadi macan omong. Presiden Joko Widodo tampaknya harus mengawal secara khusus pembahasan revisi UU KPK tersebut. Bagaimanapun, munculnya kecurigaan publik akan niat tidak baik DPR harus ditangkap oleh Presiden. Presiden nantinya bisa saja menolak UU KPK jika dinilai hanya akal-akalan untuk melemahkan KPK dengan tidak menandatanganinya.
(kri)