DPR Belum Setujui Kenaikan Iuran BPJS
A
A
A
JAKARTA - Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan belum menyetujui usulan kenaikan iuran BPJS kesehatan, khususnya untuk peserta kelas III.
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan jika iuran yang dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan ingin tetap naik maka harus dengan syarat tertentu.
"Untuk kelas I dan II kami menyerahkannya kepada pemerintah, karena menyangkut perusahaan yang harus membayar lebih besar. Tentu Pemerintah harus menghitung dengan baik, jangan sampai nanti juga ada penolakan dari perusahan," tutur Dede di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Beberapa syarat yang harus dijalankan atau diperbaiki oleh BPJS Kesehatan untuk menaikan iuran BPJS di antaranya perbaikan tata kelola dan manajemen pelayanan, termasuk obat-obatan, serta menuntaskan perbaikan data atau data cleansing. Ini bertujuan untuk mengatasi defisit keuangan penyelenggaraan program jaminan kesehatan.
"Jangan-jangan selama ini salah sasaran, karena jumlah rakyat miskin saat ini 10 persen atau sekitar 26 juta orang, kalau lebih dari 26 juta orang, berarti salah sasaran," tuturnya.
Pihaknya meminta data cleansing dari Kementerian Sosial dan Dukcapil harus benar-benar divalidasi. Sehingga bisa dipastikan yang mendapat Penerima Bantuan Iuran (PBI) tersebut adalah benar-benar orang yang berhak.
Sementara itu Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Angger Yuwono mengatakan, jika tak ada kenaikan maka di tahun 2024 nanti BPJS Kesehatan akan mengalami defisit Rp 77,9 triliun. Kemudian, potensi pembengkakan defisit BPJS Kesehatan tersebut mulai Rp 39,5 triliun (2020), Rp50,1 triliun (2021), Rp58,6 triliun (2022), Rp67,3 triliun (2023) dan Rp77,9 triliun (2024), total Rp290-an triliun.
"Kalau kerugian tersebut dibiarkan, siapa yang akan bertanggungjawab atas defisit Rp290 triliun itu? Evaluasi tata kelola dan format iuran jenis paket itu suatu keharusan untuk diperbaiki, Apalagi ada anomali, iuran yang dibayarkan sekian, tapi klaimnya hingga empat kali lipat. Juga BPJS Mandiri, anggotanya yang aktif membayar hanya 55 persen, selebihnya 45 persen tidak membayar. Jadi, semuanya harus diperbaiki,” tuturnya.
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan jika iuran yang dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan ingin tetap naik maka harus dengan syarat tertentu.
"Untuk kelas I dan II kami menyerahkannya kepada pemerintah, karena menyangkut perusahaan yang harus membayar lebih besar. Tentu Pemerintah harus menghitung dengan baik, jangan sampai nanti juga ada penolakan dari perusahan," tutur Dede di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Beberapa syarat yang harus dijalankan atau diperbaiki oleh BPJS Kesehatan untuk menaikan iuran BPJS di antaranya perbaikan tata kelola dan manajemen pelayanan, termasuk obat-obatan, serta menuntaskan perbaikan data atau data cleansing. Ini bertujuan untuk mengatasi defisit keuangan penyelenggaraan program jaminan kesehatan.
"Jangan-jangan selama ini salah sasaran, karena jumlah rakyat miskin saat ini 10 persen atau sekitar 26 juta orang, kalau lebih dari 26 juta orang, berarti salah sasaran," tuturnya.
Pihaknya meminta data cleansing dari Kementerian Sosial dan Dukcapil harus benar-benar divalidasi. Sehingga bisa dipastikan yang mendapat Penerima Bantuan Iuran (PBI) tersebut adalah benar-benar orang yang berhak.
Sementara itu Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Angger Yuwono mengatakan, jika tak ada kenaikan maka di tahun 2024 nanti BPJS Kesehatan akan mengalami defisit Rp 77,9 triliun. Kemudian, potensi pembengkakan defisit BPJS Kesehatan tersebut mulai Rp 39,5 triliun (2020), Rp50,1 triliun (2021), Rp58,6 triliun (2022), Rp67,3 triliun (2023) dan Rp77,9 triliun (2024), total Rp290-an triliun.
"Kalau kerugian tersebut dibiarkan, siapa yang akan bertanggungjawab atas defisit Rp290 triliun itu? Evaluasi tata kelola dan format iuran jenis paket itu suatu keharusan untuk diperbaiki, Apalagi ada anomali, iuran yang dibayarkan sekian, tapi klaimnya hingga empat kali lipat. Juga BPJS Mandiri, anggotanya yang aktif membayar hanya 55 persen, selebihnya 45 persen tidak membayar. Jadi, semuanya harus diperbaiki,” tuturnya.
(dam)