Tanggung Jawab Keilmuan Peneliti (Menakar Disertasi Seks Bebas Tak Melanggar Islam)

Selasa, 03 September 2019 - 14:12 WIB
Tanggung Jawab Keilmuan...
Tanggung Jawab Keilmuan Peneliti (Menakar Disertasi Seks Bebas Tak Melanggar Islam)
A A A
Joni Hermana
Mantan Rektor ITS Surabaya

LOLOSNYA seorang promovendus dalam sidang doktor di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang berhasil mempertahankan disertasinya bahwa hubungan seks di luar pernikahan tidak melanggar hukum Islam, telah membuat banyak pihak jengah. Betapa tidak. Hal hal ini dapat membawa konsekuensi yang rumit dan panjang dalam kehidupan masyarakat kita nantinya, yang berbudaya Timur dan beragama, khususnya agama Islam.

Bagi saya, hal ini semakin menguatkan keyakinan bahwa penelitian ilmiah yang dilakukan tanpa ruh Ketauhidan hanya akan menghasilkan temuan-temuan (findings) yang lebih mengarah pada “pembenaran” atas data dan fakta eksperimen atau pengamatan. Bukan kebenaran itu sendiri. (Baca juga: Disertasi Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital Dikritisi Penguji )

Saya jadi teringat cerita dosen saya ketika dahulu mengajar ilmu statistika dalam mata kuliah Metodologi Ilmiah. Katanya, seorang peneliti melakukan pengamatan di lingkungannya tentang adanya fakta bahwa populasi bangau selalu meningkat pada saat terjadi kelahiran bayi.

Dari pengolahan data dalam perioda waktu pengamatan, terbukti bahwa terjadi korelasi positif antara populasi bangau dengan bayi yang dilahirkan. Sehingga disimpulkan bahwa bangau menjadi penyebab kelahiran bayi.

Benarkan kesimpulan itu? Secara ilmu statistik benar, namun premis yang digunakan untuk penelitian ini salah. Sehingga secara keseluruhan hasil penelitian juga salah.

Makna cerita di atas adalah bahwa sebuah penelitian ilmiah baru dikatakan benar, apabila premis maupun asumsi yang digunakan benar. Dalam kasus penelitian doktor kontroversial di atas, ketidakhadiran Tuhan sebagai ruh dari penelitiannya yang berbasis pada AlQur’an, akan membuat hasil penelitian menjadi keliru (misleading). Ibarat pendapat Albert Einstein yang sering dikutip orang yaitu science without religion is lame, religion without science is blind (ilmu pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta).

Seharusnya ilmu pengetahuan dan agama berjalan selaras dan seirama. Hal itu dapat tercapai apabila ruh atau premis yang digunakan benar. Sesuai dengan sabda Allah SWT bahwa Ia menciptakan jin dan manusia semata untuk beribadah kepada-Nya.

Makna mengabdi adalah bahwa kita sebagai hamba-Nya harus berusaha mencari jawaban secara ilmiah melalui ilmu pengetahuan, yang digunakan untuk menguatkan dan membenarkan apa yang Ia nyatakan dalam Alquran. Bukan justru sebaliknya!

Malah ilmu pengetahuan digunakan manusia untuk ‘membuktikan’ bahwa pernyataan-Nya dalam Alquran adalah salah, atau ada “pengertian lain” yang seolah lalu membolehkan apa yang seharusnya haram dilakukan.

Saya ikut prihatin, bahwa hasil penelitian keliru ini akan membawa dampak pada semakin maraknya kehidupan seks pranikah tanpa merasa bersalah. Bahkan akan menuntut balik mereka yang mengusiknya sebagai apa yang dikatakan promovendus sebagai bentuk kriminalisasi.

Semakin meluasnya penyakit kelamin, karena seks dapat diperoleh dengan siapa saja, asal ada kesepakatan satu sama lain, suka sama suka. Naudzubillah min dzalik.

Yang saya gumun juga adalah mengapa disertasi seperti itu lolos dari sebuah perguruan tinggi agama Islam negeri (PT AIN), yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mempertahankan marwah ajaran Islam di negara kita ini? Saya merasa PTAIN di negara kita lebih banyak berorientasi pada mempelajari dan meneliti agama Islam sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang dilakukan para ilmuwan barat dan para orientalis umumnya.

Bukan sebagai institusi perguruan tinggi yang berdiri untuk mengembangkan ilmu pengetahuan Islam tentang bagaimana berperilaku dan berkepribadian sebagai seorang muslim di NKRI yang kita cintai. Maka jangan heran kalau tidak dilakukan reevaluasi dan instrospeksi diri segera, ke depan akan semakin banyak hasil studi nyeleneh tentang Islam yang lahir dari PTAIN serta hal ini kemudian akan menjadi sumber pemikiran liberal, radikal bahkan mungkin ekstrem yang justru menggugat keberperilakuan masyarakat muslim keseharian di negara kita yang telah menjadi menjadi budaya. Lalu, mau dibawa kemana nasib saudara-saudara muslim di negara kita?

Karena itu, semua ini menurut saya, harus dikembalikan kepada ruh yang melandasi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Yaitu bahwa kita adalah hamba-Nya dan kita melakukan semuanya untuk memperoleh ridha-Nya. Bukan malah menggugat dan membuat-Nya murka. Semoga kita semua tidak lupa diri.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0776 seconds (0.1#10.140)