Masalah BPJS Kesehatan Bukan Sekadar Premi
A
A
A
Kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah terbukti memudahkan masyarakat yang sakit untuk memulihkan kesehatan. Ironisnya, BPJS Kesehatan sendiri tidak "sehat" dari sisi keuangan.
Defisit keuangan badan itu pada tahun ini diprediksi tembus Rp32 triliun, lalu pada 2020 defisit diperkirakan meningkat menjadi Rp39,5 triliun. Selanjutnya pada 2021 defisit diprediksi tembus Rp50,1 triliun, lalu pada 2022 melonjak menjadi Rp58,6 triliun, pada 2023 mencapai Rp67,3 triliun, dan pada 2024 defisit meroket menjadi Rp77,9 triliun. Prediksi defisit tersebut terealisasi apabila tidak ada tindakan sama sekali, dalam arti apabila premi atau iuran per orang per bulan tidak ada perubahan.
Defisit keuangan BPJS Kesehatan memang sebuah penyakit serius yang harus segera diamputasi. Prediksi defisit keuangan dari 2019 hingga 2024 dibeberkan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, dalam rapat kerja dengan Komisi IX dan XI DPR, mengawali pekan ini.
Secara blak-blakan petinggi BPJS Kesehatan mengungkapkan rata-rata iuran yang dibayarkan peserta pada 2018 ini sebesar Rp36.200 per orang per bulan, sedang biaya rata-rata yang digunakan sebesar Rp46.500 per orang per bulan. Lalu, tahun ini rata-rata iuran Rp36.700 per orang per bulan, sedang biaya rata-rata sebesar Rp50.700 per orang per bulan. Artinya, lebih besar pengeluaran dibanding pemasukan. Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu caranya menaikkan premi BPJS Kesehatan.
Meningkatnya biaya manfaat dibanding penerimaan iuran menunjukkan bahwa program jaminan kesehatan masyarakat tersebut semakin membaik dari sisi akses maupun fasilitas. Akses masyarakat untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan semakin mudah, yang didukung fasilitas kesehatan yang melayani peserta semakin bertambah.
Bertemunya akses yang mudah dan dukungan fasilitas kesehatan yang memadai membuat masyarakat mengoptimalkan manfaat BPJS Kesehatan. Namun, di balik semua itu muncul masalah serius peserta membeludak, tetapi iuran atau premi yang dibayarkan tidak sebanding biaya yang harus ditanggung BPJS Kesehatan. Akibatnya, selisih antara premi dan biaya manfaat semakin melebar.
Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, pada saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, membongkar masalah yang membuat BPJS Kesehatan selalu tekor dari tahun ke tahun, salah satunya BPJS Kesehatan tidak menerima iuran yang seharusnya dari peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta umum. Dia menyebutkan, peserta BPJS Kesehatan hampir 223 juta orang.
Rinciannya, peserta penerima bantuan iuran (PBI) dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebanyak 96,5 juta orang. Penerima PBI dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sebanyak 37,3 juta orang. Selanjutnya, peserta sebagai pegawai penerima upah (PPU) pemerintah ada 17,1 juta orang, dan PPU badan usaha dari swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN) ada 34,1 juta orang. Lalu, peserta bukan penerima upah dan bukan pekerja (pensiunan) sebanyak 5,1 juta orang. PBPU sebanyak 32,5 juta.
Kewajiban pemerintah terhadap PBI, menurut Menkeu, selalu dipenuhi melalui alokasi anggaran di Kementerian Kesehatan. Begitupula dengan PPU, baik pemerintah maupun badan usaha, selalu terpenuhi dengan mekanisme pembayaran melalui pemotongan penghasilan yang ditanggung sebagian pemberi kerja dan peserta.
Lain ceritanya dengan PBPU atau peserta umum yang banyak menunggak iuran namun masih bisa menikmati fasilitas layanan kesehatan. Tercatat, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyuntikkan dana untuk mengatasi tekor atau defisit keuangan BPJS Kesehatan mencapai Rp25,7 triliun dalam periode 2015 hingga 2018. Gayung bersambut, pemerintah pun membuka peluang untuk menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan, namun respons masyarakat kini terbelah, banyak yang setuju, tetapi tidak sedikit yang menolak.
Sebenarnya, masalah iuran atau premi BPJS Kesehatan yang dinilai rendah dan menimbulkan defisit keuangan adalah bukan persoalan tunggal. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah membuka mata bahwa begitu kompleks persoalan BPJS Kesehatan. Di antaranya ditemukan manipulasi kelas rumah sakit yang masuk dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berdasarkan temuan BPKP, sejumlah rumah sakit meningkatkan kelas demi mendapatkan dana yang lebih besar.
BPKP juga menemukan 2.348 perusahaan yang memanipulasi data gaji kepada BPJS Kesehatan. Selain itu, terdapat 24,77 juta peserta bermasalah. Karena itu, sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) meloloskan permintaan kenaikan premi BPJS Kesehatan, alangkah baiknya menuntaskan dulu hasil audit BPKP yang jelas-jelas berkontribusi besar terhadap defisit keuangan BPJS Kesehatan.
Defisit keuangan badan itu pada tahun ini diprediksi tembus Rp32 triliun, lalu pada 2020 defisit diperkirakan meningkat menjadi Rp39,5 triliun. Selanjutnya pada 2021 defisit diprediksi tembus Rp50,1 triliun, lalu pada 2022 melonjak menjadi Rp58,6 triliun, pada 2023 mencapai Rp67,3 triliun, dan pada 2024 defisit meroket menjadi Rp77,9 triliun. Prediksi defisit tersebut terealisasi apabila tidak ada tindakan sama sekali, dalam arti apabila premi atau iuran per orang per bulan tidak ada perubahan.
Defisit keuangan BPJS Kesehatan memang sebuah penyakit serius yang harus segera diamputasi. Prediksi defisit keuangan dari 2019 hingga 2024 dibeberkan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, dalam rapat kerja dengan Komisi IX dan XI DPR, mengawali pekan ini.
Secara blak-blakan petinggi BPJS Kesehatan mengungkapkan rata-rata iuran yang dibayarkan peserta pada 2018 ini sebesar Rp36.200 per orang per bulan, sedang biaya rata-rata yang digunakan sebesar Rp46.500 per orang per bulan. Lalu, tahun ini rata-rata iuran Rp36.700 per orang per bulan, sedang biaya rata-rata sebesar Rp50.700 per orang per bulan. Artinya, lebih besar pengeluaran dibanding pemasukan. Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu caranya menaikkan premi BPJS Kesehatan.
Meningkatnya biaya manfaat dibanding penerimaan iuran menunjukkan bahwa program jaminan kesehatan masyarakat tersebut semakin membaik dari sisi akses maupun fasilitas. Akses masyarakat untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan semakin mudah, yang didukung fasilitas kesehatan yang melayani peserta semakin bertambah.
Bertemunya akses yang mudah dan dukungan fasilitas kesehatan yang memadai membuat masyarakat mengoptimalkan manfaat BPJS Kesehatan. Namun, di balik semua itu muncul masalah serius peserta membeludak, tetapi iuran atau premi yang dibayarkan tidak sebanding biaya yang harus ditanggung BPJS Kesehatan. Akibatnya, selisih antara premi dan biaya manfaat semakin melebar.
Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, pada saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, membongkar masalah yang membuat BPJS Kesehatan selalu tekor dari tahun ke tahun, salah satunya BPJS Kesehatan tidak menerima iuran yang seharusnya dari peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta umum. Dia menyebutkan, peserta BPJS Kesehatan hampir 223 juta orang.
Rinciannya, peserta penerima bantuan iuran (PBI) dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebanyak 96,5 juta orang. Penerima PBI dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sebanyak 37,3 juta orang. Selanjutnya, peserta sebagai pegawai penerima upah (PPU) pemerintah ada 17,1 juta orang, dan PPU badan usaha dari swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN) ada 34,1 juta orang. Lalu, peserta bukan penerima upah dan bukan pekerja (pensiunan) sebanyak 5,1 juta orang. PBPU sebanyak 32,5 juta.
Kewajiban pemerintah terhadap PBI, menurut Menkeu, selalu dipenuhi melalui alokasi anggaran di Kementerian Kesehatan. Begitupula dengan PPU, baik pemerintah maupun badan usaha, selalu terpenuhi dengan mekanisme pembayaran melalui pemotongan penghasilan yang ditanggung sebagian pemberi kerja dan peserta.
Lain ceritanya dengan PBPU atau peserta umum yang banyak menunggak iuran namun masih bisa menikmati fasilitas layanan kesehatan. Tercatat, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyuntikkan dana untuk mengatasi tekor atau defisit keuangan BPJS Kesehatan mencapai Rp25,7 triliun dalam periode 2015 hingga 2018. Gayung bersambut, pemerintah pun membuka peluang untuk menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan, namun respons masyarakat kini terbelah, banyak yang setuju, tetapi tidak sedikit yang menolak.
Sebenarnya, masalah iuran atau premi BPJS Kesehatan yang dinilai rendah dan menimbulkan defisit keuangan adalah bukan persoalan tunggal. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah membuka mata bahwa begitu kompleks persoalan BPJS Kesehatan. Di antaranya ditemukan manipulasi kelas rumah sakit yang masuk dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berdasarkan temuan BPKP, sejumlah rumah sakit meningkatkan kelas demi mendapatkan dana yang lebih besar.
BPKP juga menemukan 2.348 perusahaan yang memanipulasi data gaji kepada BPJS Kesehatan. Selain itu, terdapat 24,77 juta peserta bermasalah. Karena itu, sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) meloloskan permintaan kenaikan premi BPJS Kesehatan, alangkah baiknya menuntaskan dulu hasil audit BPKP yang jelas-jelas berkontribusi besar terhadap defisit keuangan BPJS Kesehatan.
(maf)