RUU PKS Diharapkan Selesai dengan Cepat dan Tepat
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid meminta Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) diselesaikan secara tepat dan cepat. Sodik mengatakan, Panja pemerintah dan DPR RUU PKS berusaha bekerja lebih fokus, extra keras dan extra cermat dalam membahas, memantapkan dan mematangkan isi RUU itu.
Hal tersebut sehubungan dengan kuatnya aspirasi dan desakan untuk pengesahan maupun penolakan RUU PKS. "Panja pemerintah dan Panja DPR, sangat memahami dan sangat setuju pasal-pasal tentang tindak pidana terhadap 9 jenis kekerasan seksual dan berusaha utk segera mengesahkannya jika konten dan masalah hukum lainnya sudah tepat dan sempurna," ujar Sodik Mudjahid dalam keterangan tertulisnya, Kamis (29/8/2019).
Dia mengungkapkan, pada Selasa 27 Agustus Kementerian PPPA mengundang Panja Pemerintah dan Panja DPR untuk mendengarkan pandangan para Pakar Hukum Pidana, Pakar Hukum Tata Negara antara lain Dr Muzakir, Dr Supriadi dan Dr Valentina Sagala. Hadir pula Anggota Komisi III DPR RI yang saat ini sedang membahas KUHP, yaitu Al Muzammil Yusuf.
Dia menambahkan, para pakar memberikan pandangan-pandangan dan pikiran-pikirannya, dari mulai filosofi hukum, nilai, dan norma hukum, peraturan hukum, keterkaitan, dan kedudukan RUU PKS dalam sistem hukum nasional, dalam hukum pidana, dalam ranah Undang-undang tentang seksual dan tentang kekerasan. "Tentang lemahnya penegakan hukum terhadap pelaksanaan Undang-undang tindak pidana bagi pelanggaran seksual, sampai masukan tentang konsep judul RUU PKS," kata Politikus Partai Gerindra ini.
Dia membeberkan, Panja DPR memantapkan lagi pemahaman terhadap semua pasal dalam aneka ragam UU yang sudah mengatur tentang pindana bagi para pelaku kejahatan seksual. Kemudian, ?emantapkan lagi keberadaan RUU PKS dalam sistem hukum nasional, terkait dengan hukum pidana, dan terkait dengan hukum seksual dan hukum kekerasan.
Panja DPR juga, kata dia, memantapkan lagi posisi RUU PKS dalam sistem dan nilai hukum. Tujuannya, agar RUU PKS tetap berbasis kepada nilai hukum, norma hukum dan masyarakat hukum Indonesia, yang bersumber kepada Pancasila.
"Hal ini sesuai dengan banyak dan kuatnya aspirasi yang mengingatkan Panja, agar jangan sampai RUU PKS ini membuka ruang kepada kebebasan seks tanpa nikah apalagi kebebasan seks sejenis," katanya.
Beberapa contoh aspirasi masyarakat yang berbasis nilai dan norma Pancasila, kata dia, antara lain jangan sampai kekerasan seksual diurus dengan sangat serius, tapi kebebasan seks dibiarkan. Lalu, jangan sampai serius menangani adanya kekerasan melakukan aborsi, akan tetapi aborsinya sendiri tidak lebih serius diatur.
"Memantapkan lagi pasal-pasal tindak pidana yang akan dipertimbangkan masuk kedalam KUHP. Tindakan ini sesuai dengan semangat penyempurnaan pembangunan sistem hukum pidana dan sesuai dengan pandamgan pakar, bahwa kita kekurangan dalil yang kuat untuk menempatkan RUU PKS sebagi lex spesialis," katanya.
Di kalangan DPR sendiri, lanjut dia, hal itu juga sejalan dengan semangat ketua Komisi III DPR, Azis Syamsudin yang mangajak komisi-komisi di DPR agar semua pasal tentang tindak pidana hanya tertuang dalam KUHP.
Menurut dia, suatu keberuntungan yang besar bahwa komisi III DPR RI saat ini sedang menggodog, mematangkan, dan menyempurnakan KUHP, sehingga pasal-pasal tindak pidana dalam RUU PKS mempunyai momen yang tepat dan cepat untuk masuk dalam induk hukum pidana, yakni RUU KUHP.
"Sekali lagi kami memahami dan menampung dgn cermat aspirasi tentang pentingnya pasal-pasal tindak pidana bagi para pelaku kekerasan seksual, mengingat makin menjangkitnya kejahatan seksual," ungkapnya.
Tetapi, kata dia, DPR juga harus memahami dan menampung aspirasi penolakan RUU PKS ini akibat kekhawatiran adanya konten-konten atau ruang-ruang yang membuka pertentangan dan tercabutnya RUU PKS dari nilai dan norma Pancasila.
"Kami juga harus menempatkan dengan cermat RUU PKS ini, dalam sistem hukum Indonesia termasuk dalam penataan hukum pidana yang sekarang sedang dibahas di komisi III," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sementara RUU itu masih dibahas dengan matang dan dengan akselerasi yang maksimum, para penegak hukum harus lebih sigap, lebih konsisten, dan maksimal dalam menerapkan segala isi UU tentang hukum bagi para pelaku kejahatan seksual agar kejahatan seksual tidak meningkat seperti menjadi kekhawatiran masyarakat. "Penyelesaian RUU PKS harus tepat, selain cepat," pungkasnya.
Hal tersebut sehubungan dengan kuatnya aspirasi dan desakan untuk pengesahan maupun penolakan RUU PKS. "Panja pemerintah dan Panja DPR, sangat memahami dan sangat setuju pasal-pasal tentang tindak pidana terhadap 9 jenis kekerasan seksual dan berusaha utk segera mengesahkannya jika konten dan masalah hukum lainnya sudah tepat dan sempurna," ujar Sodik Mudjahid dalam keterangan tertulisnya, Kamis (29/8/2019).
Dia mengungkapkan, pada Selasa 27 Agustus Kementerian PPPA mengundang Panja Pemerintah dan Panja DPR untuk mendengarkan pandangan para Pakar Hukum Pidana, Pakar Hukum Tata Negara antara lain Dr Muzakir, Dr Supriadi dan Dr Valentina Sagala. Hadir pula Anggota Komisi III DPR RI yang saat ini sedang membahas KUHP, yaitu Al Muzammil Yusuf.
Dia menambahkan, para pakar memberikan pandangan-pandangan dan pikiran-pikirannya, dari mulai filosofi hukum, nilai, dan norma hukum, peraturan hukum, keterkaitan, dan kedudukan RUU PKS dalam sistem hukum nasional, dalam hukum pidana, dalam ranah Undang-undang tentang seksual dan tentang kekerasan. "Tentang lemahnya penegakan hukum terhadap pelaksanaan Undang-undang tindak pidana bagi pelanggaran seksual, sampai masukan tentang konsep judul RUU PKS," kata Politikus Partai Gerindra ini.
Dia membeberkan, Panja DPR memantapkan lagi pemahaman terhadap semua pasal dalam aneka ragam UU yang sudah mengatur tentang pindana bagi para pelaku kejahatan seksual. Kemudian, ?emantapkan lagi keberadaan RUU PKS dalam sistem hukum nasional, terkait dengan hukum pidana, dan terkait dengan hukum seksual dan hukum kekerasan.
Panja DPR juga, kata dia, memantapkan lagi posisi RUU PKS dalam sistem dan nilai hukum. Tujuannya, agar RUU PKS tetap berbasis kepada nilai hukum, norma hukum dan masyarakat hukum Indonesia, yang bersumber kepada Pancasila.
"Hal ini sesuai dengan banyak dan kuatnya aspirasi yang mengingatkan Panja, agar jangan sampai RUU PKS ini membuka ruang kepada kebebasan seks tanpa nikah apalagi kebebasan seks sejenis," katanya.
Beberapa contoh aspirasi masyarakat yang berbasis nilai dan norma Pancasila, kata dia, antara lain jangan sampai kekerasan seksual diurus dengan sangat serius, tapi kebebasan seks dibiarkan. Lalu, jangan sampai serius menangani adanya kekerasan melakukan aborsi, akan tetapi aborsinya sendiri tidak lebih serius diatur.
"Memantapkan lagi pasal-pasal tindak pidana yang akan dipertimbangkan masuk kedalam KUHP. Tindakan ini sesuai dengan semangat penyempurnaan pembangunan sistem hukum pidana dan sesuai dengan pandamgan pakar, bahwa kita kekurangan dalil yang kuat untuk menempatkan RUU PKS sebagi lex spesialis," katanya.
Di kalangan DPR sendiri, lanjut dia, hal itu juga sejalan dengan semangat ketua Komisi III DPR, Azis Syamsudin yang mangajak komisi-komisi di DPR agar semua pasal tentang tindak pidana hanya tertuang dalam KUHP.
Menurut dia, suatu keberuntungan yang besar bahwa komisi III DPR RI saat ini sedang menggodog, mematangkan, dan menyempurnakan KUHP, sehingga pasal-pasal tindak pidana dalam RUU PKS mempunyai momen yang tepat dan cepat untuk masuk dalam induk hukum pidana, yakni RUU KUHP.
"Sekali lagi kami memahami dan menampung dgn cermat aspirasi tentang pentingnya pasal-pasal tindak pidana bagi para pelaku kekerasan seksual, mengingat makin menjangkitnya kejahatan seksual," ungkapnya.
Tetapi, kata dia, DPR juga harus memahami dan menampung aspirasi penolakan RUU PKS ini akibat kekhawatiran adanya konten-konten atau ruang-ruang yang membuka pertentangan dan tercabutnya RUU PKS dari nilai dan norma Pancasila.
"Kami juga harus menempatkan dengan cermat RUU PKS ini, dalam sistem hukum Indonesia termasuk dalam penataan hukum pidana yang sekarang sedang dibahas di komisi III," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sementara RUU itu masih dibahas dengan matang dan dengan akselerasi yang maksimum, para penegak hukum harus lebih sigap, lebih konsisten, dan maksimal dalam menerapkan segala isi UU tentang hukum bagi para pelaku kejahatan seksual agar kejahatan seksual tidak meningkat seperti menjadi kekhawatiran masyarakat. "Penyelesaian RUU PKS harus tepat, selain cepat," pungkasnya.
(maf)