Legacy Keputusan
A
A
A
MAU tidak mau perpindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur menuai pro dan kontra. Sebelum diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun banyak pihak mengkritik, ada pula yang memberikan dukungan.
Tentu, baik pengkritik atau pendukung, mempunyai argumen masing-masing. Persiapan yang belum matang, perlu kajian mendalam dan komprehensif, beban biaya atau timeline perpindahan yang harus dipikirkan matang adalah argumen dari para pengkritik. Sebaliknya, beban DKI Jakarta yang semakin tinggi hingga memunculkan persoalan macet dan banjir, polusi DKI Jakarta yang tinggi, persoalan sosial, hingga pemerataan pembangunan Indonesia menjadi argumen dari pendukung.
Wajar, bagi pemimpin sebuah keputusan pasti akan menuai pro dan kontra. Tidak bisa memuaskan semua orang. Keputusan seorang pemimpin tentu tidak bisa membuat everybody’s happy. Hal yang dibutuhkan adalah kesadaran dari pimpinan tentang kritikan tersebut. Memahami kritikan bukan sebagai hambatan, namun sebagai kajian dan evaluasi dalam mengukur sebuah keputusan.
Begitu juga dengan dukungan. Dukungan diharapkan bisa mengukur sebuah keputusan, bukan hanya sekadar untuk percaya diri. Yang jelas, dalam mengambil keputusan pemimpin harus tahu apa yang akan terjadi setelah keputusan diambil. Jika keputusan berjalan lancar apa konsekuensinya dan bagaimana jika keputusan ini gagal.
Persoalan pemindahan ibu kota bukan saat pemerintahan Presiden Jokowi saja digulirkan. Bahkan sejak Presiden Soekarno pun pemindahan ibu kota telah digagas. Saat itu Palangkaraya di Kalimantan Tengah menjadi pilihan. Hanya, rencana itu urung terealisasi. Berikutnya Presiden Soeharto juga pernah berencana memindahkan ibu kota ke kawasan Jonggol, Jawa Barat. Bahkan konon, beberapa kementerian telah membeli lahan di Jonggol. Namun rencana ini juga urung dilakukan. Hingga ketika Presiden Jokowi memimpin, wacana itu kembali digulirkan.
Sejak awal pemerintahan, Presiden Jokowi meminta menteri terkait membahas soal ini. Jadi persiapan ini memang sudah dilakukan bertahun-tahun lalu. Hingga pada beberapa bulan terakhir mengerucut di beberapa wilayah Kalimantan dan satu wilayah di Sulawesi. Bahkan pada beberapa kesempatan Presiden Jokowi atau menteri mengatakan rencana tersebut. Hingga pada akhirnya dipilihlah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru.
Artinya keputusan memindahkan ibu kota merupakan salah satu keputusan besar dalam kepemimpinan Presiden Jokowi. Tampaknya, Presiden Jokowi ingin meninggalkan legacy . Kita berharap legacy tersebut bukan sekadar gagah-gagahan, namun juga merupakan sebuah solusi bagi bangsa ini. Tentu, dalam memimpin semua pihak ingin meninggalkan legacy . Apalagi memimpin bangsa besar seperti Indonesia.
Jika Presiden Soekarno sebagai founding father tidak hanya memberikan legacy kemerdekaan, namun juga dasar negara Pancasila, Presiden Soeharto pun meninggalkan legacy dengan dasar-dasar pembangunan pertanian dan industri. Nah , selain pembangunan infrastruktur Presiden Jokowi ingin memberikan legacy perpindahan ibu kota.
Kenapa legacy ini bukan sekadar gagah-gagahan? Karena keputusan ini bukan hanya menyangkut satu kali periode kepemimpinan. Jika melihat rencana pemindahan ibu kota ini, butuh 30 tahun untuk benar-benar memindahkan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Benar, target pada 2024 sudah bisa ditempati, namun itu semua hanya infrastruktur dasar.
Sedangkan pada beberapa tahun berikutnya harus dilanjutkan penataan ibu kota. Itu yang akan melanjutkan adalah presiden pengganti Presiden Jokowi. Nah, jika keputusan penting dan besar ini hanya legacy gagah-gagahan, tentu akan membebani presiden selanjutnya. Begitu juga sebaliknya, nantinya presiden selanjutnya harus benar-benar merasakan sense of urgency yang sama dalam keputusan memindahkan ibu kota ini.
Jangan hanya nanti karena perbedaan pandangan politik rencana besar ini tidak dilanjutkan. Keputusan telah diambil. Dan, Presiden Jokowi harus benar-benar mewujudkan keputusan ini sesuai rencana. Sedangkan penerusnya kelak, harus mempunyai komitmen yang sama untuk meneruskan keputusan ini. Jika berhasil, keduanya akan dikenang oleh anak cucu bangsa Indonesia.
Tentu, baik pengkritik atau pendukung, mempunyai argumen masing-masing. Persiapan yang belum matang, perlu kajian mendalam dan komprehensif, beban biaya atau timeline perpindahan yang harus dipikirkan matang adalah argumen dari para pengkritik. Sebaliknya, beban DKI Jakarta yang semakin tinggi hingga memunculkan persoalan macet dan banjir, polusi DKI Jakarta yang tinggi, persoalan sosial, hingga pemerataan pembangunan Indonesia menjadi argumen dari pendukung.
Wajar, bagi pemimpin sebuah keputusan pasti akan menuai pro dan kontra. Tidak bisa memuaskan semua orang. Keputusan seorang pemimpin tentu tidak bisa membuat everybody’s happy. Hal yang dibutuhkan adalah kesadaran dari pimpinan tentang kritikan tersebut. Memahami kritikan bukan sebagai hambatan, namun sebagai kajian dan evaluasi dalam mengukur sebuah keputusan.
Begitu juga dengan dukungan. Dukungan diharapkan bisa mengukur sebuah keputusan, bukan hanya sekadar untuk percaya diri. Yang jelas, dalam mengambil keputusan pemimpin harus tahu apa yang akan terjadi setelah keputusan diambil. Jika keputusan berjalan lancar apa konsekuensinya dan bagaimana jika keputusan ini gagal.
Persoalan pemindahan ibu kota bukan saat pemerintahan Presiden Jokowi saja digulirkan. Bahkan sejak Presiden Soekarno pun pemindahan ibu kota telah digagas. Saat itu Palangkaraya di Kalimantan Tengah menjadi pilihan. Hanya, rencana itu urung terealisasi. Berikutnya Presiden Soeharto juga pernah berencana memindahkan ibu kota ke kawasan Jonggol, Jawa Barat. Bahkan konon, beberapa kementerian telah membeli lahan di Jonggol. Namun rencana ini juga urung dilakukan. Hingga ketika Presiden Jokowi memimpin, wacana itu kembali digulirkan.
Sejak awal pemerintahan, Presiden Jokowi meminta menteri terkait membahas soal ini. Jadi persiapan ini memang sudah dilakukan bertahun-tahun lalu. Hingga pada beberapa bulan terakhir mengerucut di beberapa wilayah Kalimantan dan satu wilayah di Sulawesi. Bahkan pada beberapa kesempatan Presiden Jokowi atau menteri mengatakan rencana tersebut. Hingga pada akhirnya dipilihlah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru.
Artinya keputusan memindahkan ibu kota merupakan salah satu keputusan besar dalam kepemimpinan Presiden Jokowi. Tampaknya, Presiden Jokowi ingin meninggalkan legacy . Kita berharap legacy tersebut bukan sekadar gagah-gagahan, namun juga merupakan sebuah solusi bagi bangsa ini. Tentu, dalam memimpin semua pihak ingin meninggalkan legacy . Apalagi memimpin bangsa besar seperti Indonesia.
Jika Presiden Soekarno sebagai founding father tidak hanya memberikan legacy kemerdekaan, namun juga dasar negara Pancasila, Presiden Soeharto pun meninggalkan legacy dengan dasar-dasar pembangunan pertanian dan industri. Nah , selain pembangunan infrastruktur Presiden Jokowi ingin memberikan legacy perpindahan ibu kota.
Kenapa legacy ini bukan sekadar gagah-gagahan? Karena keputusan ini bukan hanya menyangkut satu kali periode kepemimpinan. Jika melihat rencana pemindahan ibu kota ini, butuh 30 tahun untuk benar-benar memindahkan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Benar, target pada 2024 sudah bisa ditempati, namun itu semua hanya infrastruktur dasar.
Sedangkan pada beberapa tahun berikutnya harus dilanjutkan penataan ibu kota. Itu yang akan melanjutkan adalah presiden pengganti Presiden Jokowi. Nah, jika keputusan penting dan besar ini hanya legacy gagah-gagahan, tentu akan membebani presiden selanjutnya. Begitu juga sebaliknya, nantinya presiden selanjutnya harus benar-benar merasakan sense of urgency yang sama dalam keputusan memindahkan ibu kota ini.
Jangan hanya nanti karena perbedaan pandangan politik rencana besar ini tidak dilanjutkan. Keputusan telah diambil. Dan, Presiden Jokowi harus benar-benar mewujudkan keputusan ini sesuai rencana. Sedangkan penerusnya kelak, harus mempunyai komitmen yang sama untuk meneruskan keputusan ini. Jika berhasil, keduanya akan dikenang oleh anak cucu bangsa Indonesia.
(thm)