Muhammadiyah: Ini Lima Masalah di Papua yang Harus Diselesaikan

Selasa, 27 Agustus 2019 - 13:08 WIB
Muhammadiyah: Ini Lima Masalah di Papua yang Harus Diselesaikan
Muhammadiyah: Ini Lima Masalah di Papua yang Harus Diselesaikan
A A A
JAKARTA - Konflik bernuansa SARA dan potensi separatisme di Papua perlu penyelesaian menyeluruh yang melibatkan banyak pemangku kepentingan.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, ada lima masalah mendasar di Papua dan Papua Barat. Pertama, masalah identitas. Masyarakat Papua memiliki keragaman suku dan bahasa.

Masyarakat Papua adalah keturunan Melanesia yang secara jasmani terlihat sangat berbeda dengan suku-suku lain di Indonesia. Faktor inilah yang membuat mereka senantiasa berbeda (different) dan “indifference”.

"Mereka lebih merasa sebagai bangsa Melanesia dibandingkan dengan Indonesia. Pada sisi lainnya, masih ada masalah stereotyping terhadap orang-orang Papua karena fisik dan budayanya," ujar Mu'ti dalam pernyataan tertulisnya, Selasa, (27/8/2019).

Kedua, masalah politik. Secara hukum dan politik, Papua adalah bagian integral NKRI. Akan tetapi, Papua memiliki dinamika politik yang sangat tinggi. Masalah politik menjadi pelik ketika Irian Jaya diganti Papua dan diberlakukannya otonomi khusus yang menyuburkan korupsi dan menumbuhkan persaingan antar suku. Perasaan “menjadi Papua” semakin kuat yang pada tingkat tertentu membangkitkan semangat separatisme.

Ketiga, masalah ekonomi. Papua adalah wilayah dengan kekayaan alam yang melimpah dan kemolekan yang luar biasa. Akan tetapi, Papua sampai saat ini masih menjadi salah satu wilayah termiskin di Indonesia.

Masalah ekonomi lainnya adalah kesenjangan antar kelompok. Elite Papua hidup bergelimang harta. Kesejahteraan para pendatang juga relatif lebih baik. Papua mengalami masalah kemiskinan dan pemiskinan yang akut.

Keempat, masalah demografi. Demi meningkatkan ekonomi nasional dan mengatasi masalah kependudukan, Pemerintah Orde Baru membuka lahan baru bagi transmigran yang sebagian besar berasal dari Jawa. Mereka bekerja di sektor pertanian. Para pedagang dari Sulawesi Selatan berdagang dan menguasai pasar.

Menurutnya, ada tiga masalah demografi yang serius. Pertama, segregasi sosial akibat dari penempatan para transmigran dalam pemukiman khusus (distrik) yang terpisah dari penduduk Papua. Kedua, kesejahteraan yang timpang. Mental yang kuat, etos kerja yang tinggi, dan keterampilan yang baik membuat para pendatang mampu membangun kehidupan baru.

Banyak daerah pertanian yang semula tidak bertuan berubah menjadi kawasan ekonomi dan perkotaan yang maju. Ketiga, komposisi penduduk Papua terus berubah baik dari sisi etnis, suku, dan agama. Sekian lama Papua mengidentifikasikan diri sebagai “wilayah Kristen”.

"Manokwari, misalnya, menyebut dirinya sebagai kota Injil. Ada kepanikan demografi dan anti transmigrasi dengan alasan Islamisasi dan Jawanisasi di tengah meningkatnya populasi muslim dan suku-suku non Papua," tuturnya.

Kelima, kepentingan internasional. Beberapa negara tetangga, khususnya negara-negara Pasifik -seperti Vanuatu, PNG, dan lainnya, memiliki kepentingan terhadap Papua. Para tokoh separatis, Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memiliki jaringan dan gerakan di manca negara mengangkat tiga isu pelanggaran HAM, menggugat Pepera, dan perusakan lingkungan hidup.

Gerakan kelompok separatis mendapatkan resonansi internasional terutama dari negara-negara yang memiliki kepentingan bisnis di Papua. Mu'ti yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menilai, selama ini masalah Papua cenderung diselesaikan dengan pendekatan militer.

"Pada ranah tertentu, pendekatan militer tidak dapat dihindari. Tetapi, melihat kompleksitas masalah, diperlukan berbagai pendekatan lainnya," katanya.

Maka, pendekatan yang perlu dilakukan, pertama, pendekatan sosial-budaya. Ada dua langkah bisa dilakukan. Langkah pertama, mendorong integrasi sosial antara suku-suku aseli Papua dan antara pendatang dengan orang asli.

"Langkah kedua melakukan revolusi mental orang Papua. Sebagian masalah Papua berakar pada mentalitas terutama etos kerja dan spirit kemajuan. Penguatan kapasitas, kecakapan hidup, dan karakter masyarakat Papua sangat mendesak," paparnya.

Integrasi sosial-budaya, kata Mu'ti, dapat dilakukan melalui pendidikan, ekonomi, dan partisipasi masyarakat sipil. Pelibatan organisasi keagamaan melalui dialog dan kerja sama antar iman sangat diperlukan terutama tiga kelompok agama; Islam, Kristen, dan Katolik. Para aktivis HAM dan gerakan sosial juga tidak kalah penting peranannya.

Kedua, pendekatan politik. Otonomi khusus di Papua nampaknya perlu dievaluasi karena mengarah pada konfrontasi dan kontestasi antar suku-suku asli dan suku-suku lain serta suburnya korupsi pejabat daerah. Pemerintah perlu lebih tegas dalam pemberantasan korupsi dan pencegahan separatisme.

Ketiga, memperkuat diplomasi. Beberapa negara mengangkat masalah Papua ke level PBB. Papua benar-benar menjadi masalah serius diplomasi di tengah capaian demokrasi dan hak azasi manusia di Indonesia. Penguatan diplomasi publik yang telah dikembangkan kemenlu dapat diperluas dengan memfasilitasi jalinan masyarakat (people to people). Diperlukan lebih banyak suara sahabat Indonesia baik dari kalangan peneliti, akademisi, dan politisi dunia.

"Masalah Papua tidaklah sederhana. Tidak sedikit darah para pahlawan yang tumpah dan triliunan rupiah yang ditanamkan di Papua agar tetap menjadi bagian Ibu Pertiwi. Trauma lepasnya Timor-Timur masih belum sirna. Jangan sampai trauma bertambah karena lepasnya Papua dari peta Indonesia," katanya.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9971 seconds (0.1#10.140)