Dialog Damai dan Bermartabat Kunci Atasi Persoalan di Papua
loading...
A
A
A
JAKARTA - Klaim Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat, Benny Wenda yang menganggap 1 Juli sebagai Hari Lahir Gerakan Papua Barat Merdeka dibantah tegas oleh pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad.
Menurut Suparji, Papua bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah final sesuai resolusi PBB 2504.
“Argumentasi negara berdasarkan resolusi PBB 2504 bahwa Papua bagian dari NKRI adalah sudah final,” ujar Suparji Ahmad dalam diskusi publik Human Studies Institute (HSI) yang membahas akar konflik berkepanjangan Papua, Kamis (2/7/2020).
Dia mengatakan, tugas saat ini adalah fokus mengevaluasi berbagai aspek yang masih kurang, yakni salah satunya aspek penegakan hukum yang dirasa belum adil bagi seluruh warga Papua, hukum yang independen tanpa politisasi hukum.
Selain itu, sambung dia, perlu dibangun kesadaran kolektif sebagai negara yang heterogen agar tidak muncul tirani mayoritas ataupun minoritas serta adanya playing victim. "Oleh karena itu kita harus rekonstruksi paradigma kita dengan kembali dalam balutan NKRI,” kata Suparji.( )
Sementara itu, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas beranggapan, cara terbaik merawat Integrasi Papua adalah dengan dialog damai dan bermartabat antara pemerintah pusat dengan masyarakat Papua.
“Pendekatan kesejahteraan, maupun otsus, apalagi represif tidak akan menyelesaikan persoalan Papua jika pemerintah tidak mengajak bicara masyarakat Papua yang masih cinta NKRI serta kelompok-kelompok politik Papua yang ingin merdeka,” kata Cahyo.
Menurut Suparji, Papua bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah final sesuai resolusi PBB 2504.
“Argumentasi negara berdasarkan resolusi PBB 2504 bahwa Papua bagian dari NKRI adalah sudah final,” ujar Suparji Ahmad dalam diskusi publik Human Studies Institute (HSI) yang membahas akar konflik berkepanjangan Papua, Kamis (2/7/2020).
Dia mengatakan, tugas saat ini adalah fokus mengevaluasi berbagai aspek yang masih kurang, yakni salah satunya aspek penegakan hukum yang dirasa belum adil bagi seluruh warga Papua, hukum yang independen tanpa politisasi hukum.
Selain itu, sambung dia, perlu dibangun kesadaran kolektif sebagai negara yang heterogen agar tidak muncul tirani mayoritas ataupun minoritas serta adanya playing victim. "Oleh karena itu kita harus rekonstruksi paradigma kita dengan kembali dalam balutan NKRI,” kata Suparji.( )
Sementara itu, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas beranggapan, cara terbaik merawat Integrasi Papua adalah dengan dialog damai dan bermartabat antara pemerintah pusat dengan masyarakat Papua.
“Pendekatan kesejahteraan, maupun otsus, apalagi represif tidak akan menyelesaikan persoalan Papua jika pemerintah tidak mengajak bicara masyarakat Papua yang masih cinta NKRI serta kelompok-kelompok politik Papua yang ingin merdeka,” kata Cahyo.
(dam)