Mencari Eksekutor Kebiri Kimia
A
A
A
HUKUMAN kebiri bagi predator seksual anak kembali menjadi perbincangan publik. Ini menyusul putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Mojokerto diperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang memvonis hukuman kebiri kepada M Aris, pelaku pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto. Pengadilan tingkat pertama dan kedua itu menghukum terdakwa dengan 12 tahun penjara, denda Rp100 juta, ditambah hukuman pemberatan berupa kebiri kimia.Putusan pengadilan ini tentu melegakan banyak pihak sebab dengan itu hukuman kebiri kimia sebagaimana perintah Undang-Undang Perlindungan Anak akhirnya dapat dilaksanakan. Memang putusan pengadilan di Mojokerto dan Surabaya ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yangmenuntut terdakwa 17 tahun penjara. Namun, vonis pemberatan kebiri kimia adalah hal baru. Majelis hakim memberi hukuman tambahan kepada predator anak tersebutlantaran dianggap terbukti melanggar Pasal 76D juncto Pasal 81 ayat (2) Perppu 1/2016 tentang Perubahan Kedua UU RI 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Kini Kejaksaan Negeri Mojokerto bersiap mengeksekusi putusan pengadilan. Namun, kini muncul masalah karena eksekusi terhadap pelaku ternyata tidak serta-merta bisa dilakukan. Masalahnya, selain belum ada aturan teknis pelaksanaan kebiri kimia berupa peraturan pemerintah (PP), perkara lainnya adalah siapa yang nanti akan melakukan kebiri kimia itu.
Sejak Perppu 1/2016 disahkan hampir tiga tahun lalu, kebiri kimia memang jadi kontroversi. Penyebabnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) waktu itu menolak mentah-mentah ketika diminta menjadi eksekutor. Sikap IDI sampai hari ini masih tetap sama. IDI menyatakan tidak menolak bentuk hukuman yang diberikan, namun menolak jadi eksekutor karena alasan bertentangan dengan sumpah, etika, dan disiplin kedokteran yang berlaku internasional.
Kasus di Mojokerto ini akan terus bergulir dan berpotensi jadi polemik panjang. Di satu sisi IDI menolak, namun di sisi lain perintah kebiri kimia adalah perintah undang-undang. Terkait penolakan IDI, Kepala Kejari Kabupaten Mojokerto Rudy Hartono membuat pernyataan tegas. Menurut dia, dokterboleh saja menolak menjalankan putusan pengadilan, namun eksekusi kebiri kimia merupakan perintah undang-undang. Tidak bersedia menjalankan undang-undang juga adalah bentuk tindak pidana.
Kejahatan seksual terhadap anak sering dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, selain dua extraordinary crime lainnya yakni penyalahgunaan narkoba dan korupsi. Pada Selasa (10/5/2016) di Istana Negara, Presiden Joko Widodo juga menyebut kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia telah masuk kategori kejahatan luar biasa. Namun, jika mengacu polemik pelaksanaan eksekusi kebiri di Mojokerto ini, komitmen negara dalam melindungi anak dari kekerasan kembali dipertanyakan.
Ketika perangkat undang-undang sudah ada dan pengadilan pun sudah menjatuhkan vonis, seharusnya hukuman bisa langsung dijalankan jika memang tidak ada upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Polemik soal siapa eksekutor kebiri seharusnya tidak terjadi jika saja PP tentang pelaksanaan kebiri kimia ini selesai dibahas.
PP inilah yang memuat aturan teknis pelaksanaan kebiri. Sejauh ini PP masih dalam tahap harmonisasi melibatkan Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sekretariat Kabinet (Setkab), Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial. Dalam kondisi seperti ini memang tidak ada pilihan lain selain menunggu PP tersebut diselesaikan. Harapannya, aturan yang menjadi turunan undang-undang tersebut bisa segera terbit sehingga bisa menjadi acuan dalam pelaksanaan kebiri.
Untuk mengingatkan kembali, selain kasus predator di Mojokerto ini, beberapa kasus pedofilia lain juga sempat menghebohkan publik Tanah Air. Antara lain, kasus WS alias Babeh yang ditangkap karena menyodomi puluhan anak di Kabupaten Tangerang, Banten. Sebelumnya ada kasus Baequni alias “Robot Gedek”, pelaku sodomi dan pembunuhan sejumlah anak di Jakarta beberapa tahun silam. Kasus pedofilia yang tak kalah memilukan terjadi di Sukabumi, Jawa Barat oleh Emon. Lebih dari 100 anak melapor pernah menjadi korbannya. Daftar kasus pedofilia ini jauh lebih panjang jika ingin disebutkan satu per satu.
Negara seharusnya menunjukkan keseriusan jika memang menganggap kasus kejahatan seksual anak sebagai kejahatan luar biasa. Jangan lupa, predator anak bisa saja masih mengintai anak-anak kita. Para penjahat ini sewaktu-waktu bisa menelan korban. Ini juga peringatan penting bagi orang tua agar selalu menjaga dan memastikan anak-anaknya tetap dalam pengawasan saat berada di luar rumah. Sangat dibutuhkan keseriusan dan kerja sama semua pihak agar kejadian kekerasan seksual anak tidak terjadi lagi di masa depan.
Kini Kejaksaan Negeri Mojokerto bersiap mengeksekusi putusan pengadilan. Namun, kini muncul masalah karena eksekusi terhadap pelaku ternyata tidak serta-merta bisa dilakukan. Masalahnya, selain belum ada aturan teknis pelaksanaan kebiri kimia berupa peraturan pemerintah (PP), perkara lainnya adalah siapa yang nanti akan melakukan kebiri kimia itu.
Sejak Perppu 1/2016 disahkan hampir tiga tahun lalu, kebiri kimia memang jadi kontroversi. Penyebabnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) waktu itu menolak mentah-mentah ketika diminta menjadi eksekutor. Sikap IDI sampai hari ini masih tetap sama. IDI menyatakan tidak menolak bentuk hukuman yang diberikan, namun menolak jadi eksekutor karena alasan bertentangan dengan sumpah, etika, dan disiplin kedokteran yang berlaku internasional.
Kasus di Mojokerto ini akan terus bergulir dan berpotensi jadi polemik panjang. Di satu sisi IDI menolak, namun di sisi lain perintah kebiri kimia adalah perintah undang-undang. Terkait penolakan IDI, Kepala Kejari Kabupaten Mojokerto Rudy Hartono membuat pernyataan tegas. Menurut dia, dokterboleh saja menolak menjalankan putusan pengadilan, namun eksekusi kebiri kimia merupakan perintah undang-undang. Tidak bersedia menjalankan undang-undang juga adalah bentuk tindak pidana.
Kejahatan seksual terhadap anak sering dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, selain dua extraordinary crime lainnya yakni penyalahgunaan narkoba dan korupsi. Pada Selasa (10/5/2016) di Istana Negara, Presiden Joko Widodo juga menyebut kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia telah masuk kategori kejahatan luar biasa. Namun, jika mengacu polemik pelaksanaan eksekusi kebiri di Mojokerto ini, komitmen negara dalam melindungi anak dari kekerasan kembali dipertanyakan.
Ketika perangkat undang-undang sudah ada dan pengadilan pun sudah menjatuhkan vonis, seharusnya hukuman bisa langsung dijalankan jika memang tidak ada upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Polemik soal siapa eksekutor kebiri seharusnya tidak terjadi jika saja PP tentang pelaksanaan kebiri kimia ini selesai dibahas.
PP inilah yang memuat aturan teknis pelaksanaan kebiri. Sejauh ini PP masih dalam tahap harmonisasi melibatkan Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sekretariat Kabinet (Setkab), Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial. Dalam kondisi seperti ini memang tidak ada pilihan lain selain menunggu PP tersebut diselesaikan. Harapannya, aturan yang menjadi turunan undang-undang tersebut bisa segera terbit sehingga bisa menjadi acuan dalam pelaksanaan kebiri.
Untuk mengingatkan kembali, selain kasus predator di Mojokerto ini, beberapa kasus pedofilia lain juga sempat menghebohkan publik Tanah Air. Antara lain, kasus WS alias Babeh yang ditangkap karena menyodomi puluhan anak di Kabupaten Tangerang, Banten. Sebelumnya ada kasus Baequni alias “Robot Gedek”, pelaku sodomi dan pembunuhan sejumlah anak di Jakarta beberapa tahun silam. Kasus pedofilia yang tak kalah memilukan terjadi di Sukabumi, Jawa Barat oleh Emon. Lebih dari 100 anak melapor pernah menjadi korbannya. Daftar kasus pedofilia ini jauh lebih panjang jika ingin disebutkan satu per satu.
Negara seharusnya menunjukkan keseriusan jika memang menganggap kasus kejahatan seksual anak sebagai kejahatan luar biasa. Jangan lupa, predator anak bisa saja masih mengintai anak-anak kita. Para penjahat ini sewaktu-waktu bisa menelan korban. Ini juga peringatan penting bagi orang tua agar selalu menjaga dan memastikan anak-anaknya tetap dalam pengawasan saat berada di luar rumah. Sangat dibutuhkan keseriusan dan kerja sama semua pihak agar kejadian kekerasan seksual anak tidak terjadi lagi di masa depan.
(kri)