Arif Budimanta: Penyelesaian Papua Harus Menyeluruh
A
A
A
JAKARTA - Pembangunan ekonomi di Papua harus dibarengi dengan perbaikan permasalahan sosial sehingga dapat menciptakan keadilan sosial yang pada ujungnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di pulau yang sarat kekayaan alam tersebut.
Pernyataan ini disampaikan Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta sebagai respons atas perkembangan yang terjadi di Papua. Menurut dia, pembenahannya tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan harus menyeluruh.
Dalam pandangan Arif, pertumbuhan ekonomi Papua sebenarnya tidak stabil dan rentan. Berdasarkan data historis yang ada, pertumbuhan ekonomi Papua beberapa kali tercatat tumbuh minus. Bahkan per kuartal II/2019, secara spasial pertumbuhan ekonomi Pulau Maluku dan Papua mengalami pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi 13,12%.
“Ini yang harus menjadi perhatian dan pembahasan bersama, bagaimana bisa wilayah yang kaya dengan sumber daya alamnya tersebut memiliki pertumbuhan yang negatif,” katanya, Sabtu (24/8/2019).
Dia menjelaskan ketergantungan Papua pada sektor pertambangan menjadi faktor utama ketidakstabilan perekonomian. Pada 2016, sektor pertambangan dan penggalian menyumbang 42% terhadap nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua. Padahal, berdasarkan perhitungan yang dilakukan KEIN, apabila pertumbuhan ekonomi dihitung tanpa sektor tambang, maka pertumbuhan ekonomi cenderung lebih stabil dan nilainya di atas rata-rata pertumbuhan nasional.
“Artinya sumber pertumbuhan ekonomi Papua ditopang oleh komponen yang tidak berkesinambungan. Pertambangan sangat rentan dengan pergerakan harga komoditas global, kondisi eksternal dan faktor lainnya sehingga tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya sumber pertumbuhan ekonomi,” jelas Arif.
Kondisi itu, sambungnya, diperparah dengan industri hilirisasi yang sangat minim begitu juga dengan investasi secara keseluruhan. Peranan investasi, yang dilihat dari kontribusi pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) terhadap PDRB Papua masih rendah. Padahal Peranan PMTDB sangat penting untuk memastikan kesinambungan perekonomian Papua dalam jangka panjang.
Pengembangan ekonomi Papua pun, belum optimal dalam memberdayakan masyarakat lokal dan pelaku usaha UMKM. Berdasarkan data Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Papua per Desember 2014, serapan tenaga kerja UMKM di Papua hanya 1,33% sementara serapan terhadap output sebesar 0,30%.
“Perlu adanya kebijakan yang dapat mendorong pengembangan ekonomi berbasis pemberdayaan masyarakat dan produk lokal sehingga masyarakat Papua juga ada rasa sense of belonging yang pada akhirnya berujung pada kesejahteraan penduduknya karena mereka menjadi pelaku dan merasakan manfaatnya,” ucap Arif.
Terkait dengan ketergantungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi terhadap pertambangan, Arif memaparkan, Papua sebenarnya memiliki sumber daya alam yang melimpah, tidak hanya terbatas tambang saja. Ikan dan hewan air lainnya bisa menjadi opsi baru komoditas andalan Papua.
Mengacu pada data Statistik Perusahaan Perikanan BPS Papua 2015, Papua memiliki panjang garis pantai lebih kurang 1.170 mil dan hanya 5,4% rumah tangga yang menggantungkan hidup dari sektor perikanan. Sementara itu, dalam RPJMN Papua 2013-2018 disebutkan potensi perikanan dan kelautan Papua dengan tangkapan laut rata-rata 633.000 ton per tahun. Pada Januari hingga Februari 2017, sektor ini hanya berkontribusi sebanyak 0,01% terhadap total impor Papua.
“Tidak hanya rendahnya rumah tangga yang masih mengandalkan sektor perikanan. Kontribusi sektor ini terhadap ekspor Papua pun masih sangat-sangat rendah dan ini sebenarnya adalah peluang yang sangat besar,” kata Arif.
Selain sektor perikanan, potensi hutan Papua juga belum dimaksimalkan. Hutan produksi Papua merupakan yang terluas di Indonesia dan potensi produksi kayu bulat secara fisik cukup besar. Namun, belum terkelola secara optimal terlihat dari produktivitas yang dihasilkan masih rendah dibandingkan Sumatera yang memiliki jumlah hutan produksi yang lebih kecil.
Jenis hasil hutan kayu Papua terdiri dari meranti, kayu campuran, kayu indah. Jenis hasil hutan non-kayu Papua terdiri dari rotan, sagu, nipah, kayu lawang, minyak kayu masoi, minyak kayu putih, kayu gaharu.
“Dengan potensi-potensi tersebut maka tidak mungkin untuk tidak bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang lebih baik di tanah Papua asalkan ada keseriusan dan usaha yang lebih dari pemerintah dan tentunya dibantu juga dengan stakeholders yang terkait lainnya,” jelasnya.
Kendati demikian, Arif menyampaikan, permasalahan Papua tidak hanya sekadar pada pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil dan rentan akan tetapi juga pada permasalahan sosial lainnya serta pemerataan dan keadilan sosial yang masih menjadi kendala besar di sana.
Dalam buku berjudul “Papua Road Map” yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009 disebutkan akar masalah Papua meliputi peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia.
Tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua; proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas; siklus kekerasan politik yang belum tertangani, bahkan meluas; dan pelanggaran HAM yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan Paniai.
“Permasalahan perekonomian di Papua jauh lebih kompleks dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya karena ada faktor lain yang cukup berat seperti diskriminasi, konflik vertikal dan sebagainya, bukan sekadar ketidakmampuan masyarakat mengakses sandang, pangan dan papan,” ucapnya.
Dari permasalahan-permasalahan yang ada tersebut, menurut LIPI, pemerintah Indonesia tercatat masih memiliki beberapa kelemahan yakni pendekatan Jakarta sentris dan keamanan telah menghasilkan berbagai kasus kekerasan di Papua.
Kemudian, komunikasi dan diplomasi yang tidak sesuai dengan kelompok muda Papua dan Diaspora Papua di Luar Negeri telah memperbesar skala isu Papua, baik di domestik maupun di dunia internasional. Selanjutnya ialah dialog yang sifatnya partisipatif (kesetaraan politik dalam menyampaikan pendapat, kepemilikan atas forum bersama) belum dilaksanakan hingga hari ini.
“Sambil mendorong perekonomian melalui rencana strategis sesuai dengan kekayaan alam yang tersedia di Papua, pemerintah juga harus melakukan strategi-strategi tertentu untuk menyelesaikan masalah sosial serta keadilan sosial yang memang juga menjadi penting bagi masyarakat Papua,” pungkas Arif.
Pernyataan ini disampaikan Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta sebagai respons atas perkembangan yang terjadi di Papua. Menurut dia, pembenahannya tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan harus menyeluruh.
Dalam pandangan Arif, pertumbuhan ekonomi Papua sebenarnya tidak stabil dan rentan. Berdasarkan data historis yang ada, pertumbuhan ekonomi Papua beberapa kali tercatat tumbuh minus. Bahkan per kuartal II/2019, secara spasial pertumbuhan ekonomi Pulau Maluku dan Papua mengalami pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi 13,12%.
“Ini yang harus menjadi perhatian dan pembahasan bersama, bagaimana bisa wilayah yang kaya dengan sumber daya alamnya tersebut memiliki pertumbuhan yang negatif,” katanya, Sabtu (24/8/2019).
Dia menjelaskan ketergantungan Papua pada sektor pertambangan menjadi faktor utama ketidakstabilan perekonomian. Pada 2016, sektor pertambangan dan penggalian menyumbang 42% terhadap nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua. Padahal, berdasarkan perhitungan yang dilakukan KEIN, apabila pertumbuhan ekonomi dihitung tanpa sektor tambang, maka pertumbuhan ekonomi cenderung lebih stabil dan nilainya di atas rata-rata pertumbuhan nasional.
“Artinya sumber pertumbuhan ekonomi Papua ditopang oleh komponen yang tidak berkesinambungan. Pertambangan sangat rentan dengan pergerakan harga komoditas global, kondisi eksternal dan faktor lainnya sehingga tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya sumber pertumbuhan ekonomi,” jelas Arif.
Kondisi itu, sambungnya, diperparah dengan industri hilirisasi yang sangat minim begitu juga dengan investasi secara keseluruhan. Peranan investasi, yang dilihat dari kontribusi pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) terhadap PDRB Papua masih rendah. Padahal Peranan PMTDB sangat penting untuk memastikan kesinambungan perekonomian Papua dalam jangka panjang.
Pengembangan ekonomi Papua pun, belum optimal dalam memberdayakan masyarakat lokal dan pelaku usaha UMKM. Berdasarkan data Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Papua per Desember 2014, serapan tenaga kerja UMKM di Papua hanya 1,33% sementara serapan terhadap output sebesar 0,30%.
“Perlu adanya kebijakan yang dapat mendorong pengembangan ekonomi berbasis pemberdayaan masyarakat dan produk lokal sehingga masyarakat Papua juga ada rasa sense of belonging yang pada akhirnya berujung pada kesejahteraan penduduknya karena mereka menjadi pelaku dan merasakan manfaatnya,” ucap Arif.
Terkait dengan ketergantungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi terhadap pertambangan, Arif memaparkan, Papua sebenarnya memiliki sumber daya alam yang melimpah, tidak hanya terbatas tambang saja. Ikan dan hewan air lainnya bisa menjadi opsi baru komoditas andalan Papua.
Mengacu pada data Statistik Perusahaan Perikanan BPS Papua 2015, Papua memiliki panjang garis pantai lebih kurang 1.170 mil dan hanya 5,4% rumah tangga yang menggantungkan hidup dari sektor perikanan. Sementara itu, dalam RPJMN Papua 2013-2018 disebutkan potensi perikanan dan kelautan Papua dengan tangkapan laut rata-rata 633.000 ton per tahun. Pada Januari hingga Februari 2017, sektor ini hanya berkontribusi sebanyak 0,01% terhadap total impor Papua.
“Tidak hanya rendahnya rumah tangga yang masih mengandalkan sektor perikanan. Kontribusi sektor ini terhadap ekspor Papua pun masih sangat-sangat rendah dan ini sebenarnya adalah peluang yang sangat besar,” kata Arif.
Selain sektor perikanan, potensi hutan Papua juga belum dimaksimalkan. Hutan produksi Papua merupakan yang terluas di Indonesia dan potensi produksi kayu bulat secara fisik cukup besar. Namun, belum terkelola secara optimal terlihat dari produktivitas yang dihasilkan masih rendah dibandingkan Sumatera yang memiliki jumlah hutan produksi yang lebih kecil.
Jenis hasil hutan kayu Papua terdiri dari meranti, kayu campuran, kayu indah. Jenis hasil hutan non-kayu Papua terdiri dari rotan, sagu, nipah, kayu lawang, minyak kayu masoi, minyak kayu putih, kayu gaharu.
“Dengan potensi-potensi tersebut maka tidak mungkin untuk tidak bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang lebih baik di tanah Papua asalkan ada keseriusan dan usaha yang lebih dari pemerintah dan tentunya dibantu juga dengan stakeholders yang terkait lainnya,” jelasnya.
Kendati demikian, Arif menyampaikan, permasalahan Papua tidak hanya sekadar pada pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil dan rentan akan tetapi juga pada permasalahan sosial lainnya serta pemerataan dan keadilan sosial yang masih menjadi kendala besar di sana.
Dalam buku berjudul “Papua Road Map” yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009 disebutkan akar masalah Papua meliputi peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia.
Tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua; proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas; siklus kekerasan politik yang belum tertangani, bahkan meluas; dan pelanggaran HAM yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan Paniai.
“Permasalahan perekonomian di Papua jauh lebih kompleks dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya karena ada faktor lain yang cukup berat seperti diskriminasi, konflik vertikal dan sebagainya, bukan sekadar ketidakmampuan masyarakat mengakses sandang, pangan dan papan,” ucapnya.
Dari permasalahan-permasalahan yang ada tersebut, menurut LIPI, pemerintah Indonesia tercatat masih memiliki beberapa kelemahan yakni pendekatan Jakarta sentris dan keamanan telah menghasilkan berbagai kasus kekerasan di Papua.
Kemudian, komunikasi dan diplomasi yang tidak sesuai dengan kelompok muda Papua dan Diaspora Papua di Luar Negeri telah memperbesar skala isu Papua, baik di domestik maupun di dunia internasional. Selanjutnya ialah dialog yang sifatnya partisipatif (kesetaraan politik dalam menyampaikan pendapat, kepemilikan atas forum bersama) belum dilaksanakan hingga hari ini.
“Sambil mendorong perekonomian melalui rencana strategis sesuai dengan kekayaan alam yang tersedia di Papua, pemerintah juga harus melakukan strategi-strategi tertentu untuk menyelesaikan masalah sosial serta keadilan sosial yang memang juga menjadi penting bagi masyarakat Papua,” pungkas Arif.
(cip)