Pajak Kertas dan Penguatan Literasi

Kamis, 15 Agustus 2019 - 06:07 WIB
Pajak Kertas dan Penguatan...
Pajak Kertas dan Penguatan Literasi
A A A
HARAPAN Serikat Perusahaan Pers (SPS) untuk terbebas dari kewajiban membayar pajak pembelian kertas berbuah manis. Usulan No Tax for Knowledge atau "Bebas Pajak bagi Pengetahuan" yang diperjuangkan SPS selama bertahun-tahun akhirnya mendapatkan respons positif dari pemerintah. Dengan sinyal positif ini, kini muncul harapan atmosfer penerbitan media cetak di Tanah Air kembali akan bergairah. Ini penting lantaran media cetak selama ini ikut berkontribusi besar dalam upaya membangun literasi masyarakat.

Kertas selama ini memang diakui menjadi salah satu komponen yang memberatkan industri pers. Ditambah lagi dengan ada kewajiban membayar pajak kertas, maka beban yang harus ditanggung makin besar. Kini dengan pembebasan kertas dari pajak, beban pajak media cetak pun berkurang. SPS selama ini memang berharap mendapat insentif seperti yang diberikan kepada perusahaan penerbit buku.

Harapan SPS untuk mendapatkan pembebasan pajak awalnya sempat terancam kandas. Apalagi, permintaan untuk bertemu Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak mendapat respons memadai. Kemenkeu bahkan terkesan menutup pintu dialog. Itu dibuktikan dengan surat Menkeu yang ditandatangani Nufransa Wira Sakti, selaku kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, tertanggal 7 Agustus yang isinya tegas menolak permintaan SPS untuk berdialog tanpa disertai penjelasan memadai.

SPS mengajukan permintaan dialog pada 9 Juli 2019. Permintaan yang sama juga sudah diajukan sejak 2008 saat Sri Mulyani menjabat menkeu di era Presiden SBY. Beruntung, ribut-ribut di media yang mencuat pasca-SPS ditolak langsung direspons oleh Kemenkeu.

Pada intinya, pembahasan soal usulan SPS siap dilakukan. Bahkan, lampu hijau untuk pembebasan pajak kertas ini datang langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saat bertemu dengan pimpinan media massa di Istana Merdeka, Jokowi mengungkapkan bahwa dia sudah meminta agar tuntutan SPS tersebut dipenuhi. Alasan Jokowi, selama ini dia sering mendapat keluhan mengenai hal itu.

Respons cepat Presiden Jokowi dan perubahan sikap Kemenkeu ini patut diapresiasi. Isu "Bebas Pajak bagi Pengetahuan" ini memang perlu terus didorong. Tujuannya tentu tak lain agar tersedia bahan bacaan yang bersumber dari media cetak. Mengapa media cetak? Kita tahu kemajuan teknologi berpengaruh pada perubahan medium berkomunikasi.Kini medium berkomunikasi tidak lagi didominasi media cetak, televisi, ataupun radio. Kini masyarakat Indonesia menjadi pengguna media sosial yang aktif dan masif. Konsekuensinya, setiap orang kini bisa menjadi jurnalis yang bisa melakukan pekerjaan liputan sebagaimana wartawan. Ditambah lagi faktor psikologis di mana orang Indonesia yang cenderung ingin terdepan dalam menyampaikan suatu informasi.

Di tengah kondisi tersebut, berita bohong atau hoaks menjadi hal yang tak terhindarkan. Di saat sumber informasi berbasis internet ini berlomba menjadi yang tercepat, akurasi menjadi terabaikan. Seringkali berita yang dihadirkan tidak utuh, bahkan tak jarang hoaks. Berbeda dengan penerbit pers cetak, informasi yang utuh dan faktual adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar.

Kunci menyajikan berita akurat adalah verifikasi yang berlapis. Media cetak yang tidak berburu dengan waktu memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk melakukan proses verifikasi. Hasilnya, informasi dari media arus utama pun lebih terjamin kebenarannya. Peran media cetak di sini selaras dengan upaya pemerintah yang gencar mengampanyekan gerakan antihoaks.

Tidak hanya itu, pembebasan industri media cetak dari pajak juga akan berpengaruh pada peningkatan literasi masyarakat. Diketahui, masalah literasi yang buruk masih menjadi persoalan tersendiri bagi bangsa ini. Penelitian yang dilakukan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2016 menunjukkan kebiasaan membaca di Indonesia tergolong masih sangat rendah.

Hasil studi yang dipublikasikan dengan nama "The World’s Most Literate Nations" menunjukkan Indonesia ada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti, hanya satu tingkat di atas Botswana. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Program for International Student Assessment (PISA) pada 2015 di mana Indonesia hanya berada pada peringkat ke-62 dari 70 negara yang disurvei.

Tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Central Connecticut State University (CCSU) bertajuk "World's Most Literate Nations" yang diumumkan pada Maret 2016, perilaku literasi masyarakat Indonesia ada posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Seluruh penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya bahan bacaan yang bermutu dan informasinya faktual.

Dalam kondisi ini, keberadaan media arus utama sangat dibutuhkan karena ia menjamin informasi yang akurat, benar, bertanggung jawab, dan jauh dari hoaks. Maka itu, keinginan pemerintah menghapus pajak kertas bagi media cetak sangat tepat. Kebijakan tersebut telah mencerminkan semangat No Tax for Knowledge yang selama ini diperjuangkan insan media cetak Tanah Air.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0507 seconds (0.1#10.140)