Trotoar dan Friendly City
A
A
A
DEPOK fakir trotoar. Judul sebuah artikel di KORAN SINDO edisi 13 Agustus 2019 ini memang langsung menohok. Namun, warga Kota Depok, Jawa Barat mungkin bisa mengamini judul artikel tersebut. Acuannya cukup mudah. Lihat saja sepanjang Jalan Margonda Raya yang menjadi pusat Kota Depok. Kondisi trotoar di Jalan Margonda Raya jauh dari standar.
Trotoar dalam kondisi rusak, berlubang, dan tidak nyaman bagi pejalan kaki. Trotoar justru banyak dimanfaatkan pedagang kaki lima (PKL). Bahkan, jalur pedestrian di Jalan Margonda banyak dipakai untuk parkir kendaraan karena ruko di sepanjang jalan protokol tersebut tidak menyediakan lahan parkir sehingga mengganggu pejalan kaki. Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat No SK43/AJ 007/DRJD/97 menyebutkan standar lebar antara 2–4 meter disesuaikan lokasi. Di wilayah perkotaan, minimal empat meter.
Kondisi trotoar di Kota Depok masih jauh dengan jargon kota tersebut, yaitu A Friendly City. Dalam laman depok.go.id dijelaskan, A Friendly City adalah kota yang ramah bagi penduduknya sebagaimana visi unggul, nyaman, dan religius. Lebih lanjut dijelaskan dalam laman tersebut, Wali Kota Depok Mohammad Idris menjelaskan alasan kenapa menggunakan jargon A Friendly City karena pertama, penduduk Depok saat ini rata-rata termasuk yang terpelajar; kedua, banyaknya perumahan kementerian yang terdapat di Depok; serta ketiga, udara di Depok yang masih relatif bersih. Kota Depok digadang-gadangkan menjadi kota yang bersahabat bagi semua lapisan masyarakat.
Membangun trotoar yang nyaman buat pejalan kaki, tentu sebagai salah satu cara untuk membuat nyaman masyarakatnya. Menata para PKL yang berada di trotoar, juga bisa membuat nyaman para penjual dalam berusaha. Menata lahan parkir yang benar, tentu juga akan membuat nyaman masyarakatnya. Jargon A Friendly City belum tampak pada Jalan Margonda Raya. Padahal jika melintas di jalan utama Kota Depok tersebut, tulisan Depok A Friendly City akan mudah dijumpai.
Visi atau harapan dengan pelaksanaan tentu harus sejalan. Artinya, visi tanpa eksekusi hanya sekadar angan-angan. Tampaknya ini yang terjadi di Kota Depok. Coba kita tilik tentang pengelolaan anggaran daerah. Sekretaris Dinas PUPR Depok Citra Indah Yulianty mengakui perbaikan trotoar di Jalan Margonda Raya belum dialokasikan pada 2019 dan 2020.
Rencananya baru akan dilakukan perbaikan pada 2021 secara menyeluruh. Meski demikian, pihaknya mengupayakan perbaikan trotoar untuk sementara, seperti yang berlubang sedikit diperbaiki. "Untuk sementara pemeliharaan dulu," ucapnya. Ini yang unik. Bagaimana bisa membuat visi kenyamanan masyarakat, namun anggaran untuk trotoar tidak ada sama sekali. Tidak hanya pada 2019 ini saja. Anggaran untuk 2020 pun tidak ada.
Ketua Komisi C DPRD Kota Depok Mazhab bahkan menyebutkan Kota Depok akan bisa menikmati trotoar yang layak pada 2022 atau tiga tahun lagi. Pasalnya, DPRD Kota Depok baru akan mengusulkan pada 2021.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus pun memberikan saran agar Kota Depok menggandeng pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian PUPR atau Pemprov Jawa Barat, untuk ikut mewujudkan trotoar nyaman. Pun bisa belajar kepada Pemprov DKI Jakarta yang saat ini telah mewujudkan trotoar yang baik sepanjang Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan MH Thamrin.
Pada 2016, Koalisi Pejalan Kaki juga menyebutkan hambatan pejalan kaki saat mengakses trotoar. Paling banyak disebabkan trotoar tidak berwujud (44%), ditempati PKL (29%), dilalui sepeda motor (12%), dan digunakan parkir kendaraan (15%).
Diyakini, semua pemimpin daerah akan sadar tentang hal-hal tersebut, namun banyak yang masih abai. Janganlah menjadi pemimpin yang hanya pintar membuat visi ataupun jargon namun tanpa bisa mengeksekusi. Visi dan eksekusi harus benar-benar selaras. Manajemen anggaran, perencanaan, penggalangan sumber daya harus benar-benar dilakukan dengan benar agar visi bisa diwujudkan.
Masih ada waktu bagi Pemkot Depok lebih memperhatikan para pejalan kaki daripada pengguna kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor). Ini bisa dimulai dengan penganggaran pada 2020. Harapannya, pada 2020 warga Depok bisa benar-benar merasakan kota kesayangannya sebagai friendly city. Apalagi, warga Depok seperti disebut di atas warga yang terpelajar dan terdidik yang sangat tahu apa arti itu kenyamanan.
Trotoar dalam kondisi rusak, berlubang, dan tidak nyaman bagi pejalan kaki. Trotoar justru banyak dimanfaatkan pedagang kaki lima (PKL). Bahkan, jalur pedestrian di Jalan Margonda banyak dipakai untuk parkir kendaraan karena ruko di sepanjang jalan protokol tersebut tidak menyediakan lahan parkir sehingga mengganggu pejalan kaki. Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat No SK43/AJ 007/DRJD/97 menyebutkan standar lebar antara 2–4 meter disesuaikan lokasi. Di wilayah perkotaan, minimal empat meter.
Kondisi trotoar di Kota Depok masih jauh dengan jargon kota tersebut, yaitu A Friendly City. Dalam laman depok.go.id dijelaskan, A Friendly City adalah kota yang ramah bagi penduduknya sebagaimana visi unggul, nyaman, dan religius. Lebih lanjut dijelaskan dalam laman tersebut, Wali Kota Depok Mohammad Idris menjelaskan alasan kenapa menggunakan jargon A Friendly City karena pertama, penduduk Depok saat ini rata-rata termasuk yang terpelajar; kedua, banyaknya perumahan kementerian yang terdapat di Depok; serta ketiga, udara di Depok yang masih relatif bersih. Kota Depok digadang-gadangkan menjadi kota yang bersahabat bagi semua lapisan masyarakat.
Membangun trotoar yang nyaman buat pejalan kaki, tentu sebagai salah satu cara untuk membuat nyaman masyarakatnya. Menata para PKL yang berada di trotoar, juga bisa membuat nyaman para penjual dalam berusaha. Menata lahan parkir yang benar, tentu juga akan membuat nyaman masyarakatnya. Jargon A Friendly City belum tampak pada Jalan Margonda Raya. Padahal jika melintas di jalan utama Kota Depok tersebut, tulisan Depok A Friendly City akan mudah dijumpai.
Visi atau harapan dengan pelaksanaan tentu harus sejalan. Artinya, visi tanpa eksekusi hanya sekadar angan-angan. Tampaknya ini yang terjadi di Kota Depok. Coba kita tilik tentang pengelolaan anggaran daerah. Sekretaris Dinas PUPR Depok Citra Indah Yulianty mengakui perbaikan trotoar di Jalan Margonda Raya belum dialokasikan pada 2019 dan 2020.
Rencananya baru akan dilakukan perbaikan pada 2021 secara menyeluruh. Meski demikian, pihaknya mengupayakan perbaikan trotoar untuk sementara, seperti yang berlubang sedikit diperbaiki. "Untuk sementara pemeliharaan dulu," ucapnya. Ini yang unik. Bagaimana bisa membuat visi kenyamanan masyarakat, namun anggaran untuk trotoar tidak ada sama sekali. Tidak hanya pada 2019 ini saja. Anggaran untuk 2020 pun tidak ada.
Ketua Komisi C DPRD Kota Depok Mazhab bahkan menyebutkan Kota Depok akan bisa menikmati trotoar yang layak pada 2022 atau tiga tahun lagi. Pasalnya, DPRD Kota Depok baru akan mengusulkan pada 2021.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus pun memberikan saran agar Kota Depok menggandeng pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian PUPR atau Pemprov Jawa Barat, untuk ikut mewujudkan trotoar nyaman. Pun bisa belajar kepada Pemprov DKI Jakarta yang saat ini telah mewujudkan trotoar yang baik sepanjang Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan MH Thamrin.
Pada 2016, Koalisi Pejalan Kaki juga menyebutkan hambatan pejalan kaki saat mengakses trotoar. Paling banyak disebabkan trotoar tidak berwujud (44%), ditempati PKL (29%), dilalui sepeda motor (12%), dan digunakan parkir kendaraan (15%).
Diyakini, semua pemimpin daerah akan sadar tentang hal-hal tersebut, namun banyak yang masih abai. Janganlah menjadi pemimpin yang hanya pintar membuat visi ataupun jargon namun tanpa bisa mengeksekusi. Visi dan eksekusi harus benar-benar selaras. Manajemen anggaran, perencanaan, penggalangan sumber daya harus benar-benar dilakukan dengan benar agar visi bisa diwujudkan.
Masih ada waktu bagi Pemkot Depok lebih memperhatikan para pejalan kaki daripada pengguna kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor). Ini bisa dimulai dengan penganggaran pada 2020. Harapannya, pada 2020 warga Depok bisa benar-benar merasakan kota kesayangannya sebagai friendly city. Apalagi, warga Depok seperti disebut di atas warga yang terpelajar dan terdidik yang sangat tahu apa arti itu kenyamanan.
(whb)