DKPP Nilai Keserentakan Pemilu Kurangi Nilai Demokrasi
A
A
A
JAKARTA - Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Alfitra Salaam menyampaikan beberapa catatan terhadap pelaksanaan Pemilu 2019 sebagai evaluasi dan refleksi. Menurutnya, keserentakan pemilu mengurangi kualitas demokrasi karena sebagian besar tidak fokus dalam Pemilu 2019.
"Beberapa Parpol banyak yang mengeluh terhadap keserentakan ini sebab semua masyarakat hanya fokus pada Pilpres, sementara Pileg tidak begitu diperhatikan. Masyarakat juga tidak secara serius menilai kualitas calon-calon legislatif," ucapnya melaui keterangan tertulis, Senin (5/8/2019).
Soal desain dan teknis juga menjadi problem, bagaimana logistik surat suara zigzag, tidak ada zonasi. Sehingga beberapa daerah mengalami keterlambatan karena jauhnya wilayah dari percetakan dengan daerah pemilihan.
"Zonasi percetakan ini tidak beratur dengan baik. Kemudian, mengenai perpindahan suara, atau penggelembungan suara, atau pencurian suara, yang sebagian besar terjadi pada level kecamatan, meskipun berawal di TPS," jelasnya.
Alfitra menilai kualitas SDM di level adhoc paling lemah sehingga kerumitan lebih tinggi, mulai dari persoalan regulasi hingga teknis, dimana hal tersebut menjadi kendala yang sangat serius.
"Kendala inilah yang kemudian menelan korban. Dalam UU dikatakan bahwa Pemilu harus selesai pemungutan, namun problemnya ada di proses penghitungan. Dan hal ini tidak diprediksi sebelumnya. Tidak diantisipasi bekerja sampai 30 jam untuk penghitungan, di UU tidak ada dibahas tentang istirahat, tidak ada shift/pergantian. Belum lagi regulasi bagi level adhoc sangat rumit, tekanan dari berbagai pihak, menyebabkan tingkat stres yang tinggi, serta konsumsi kopi dan rokok," tegasnya.
Dia menyarankan dalam proses perekrutan jajaran penyelenggara untuk menggandeng kalangan mahasiswa menjadi petugas KPPS, yang dapat dikatakan sebagai kuliah kerja pemilu, atau pengabdian masyarakat. Juga dari kalangan guru, sebagai bentuk kerjasama dengan PGRI, untuk mencari petugas di kelurahan atau kecamatan.
Catatan berikutnya terkait perubahan sistem pemilu, misal sistem distrik yang pernah diusulkan, tapi kemudian ditentang banyak parpol sehingga belum bisa dilaksanakan. "Kedua harus ada pemisahan antara pemilu legislatif dan eksekutif, atau dipisahkan berdasarkan regional, daerah dulu, baru pusat," ungkapnya.
"Beberapa Parpol banyak yang mengeluh terhadap keserentakan ini sebab semua masyarakat hanya fokus pada Pilpres, sementara Pileg tidak begitu diperhatikan. Masyarakat juga tidak secara serius menilai kualitas calon-calon legislatif," ucapnya melaui keterangan tertulis, Senin (5/8/2019).
Soal desain dan teknis juga menjadi problem, bagaimana logistik surat suara zigzag, tidak ada zonasi. Sehingga beberapa daerah mengalami keterlambatan karena jauhnya wilayah dari percetakan dengan daerah pemilihan.
"Zonasi percetakan ini tidak beratur dengan baik. Kemudian, mengenai perpindahan suara, atau penggelembungan suara, atau pencurian suara, yang sebagian besar terjadi pada level kecamatan, meskipun berawal di TPS," jelasnya.
Alfitra menilai kualitas SDM di level adhoc paling lemah sehingga kerumitan lebih tinggi, mulai dari persoalan regulasi hingga teknis, dimana hal tersebut menjadi kendala yang sangat serius.
"Kendala inilah yang kemudian menelan korban. Dalam UU dikatakan bahwa Pemilu harus selesai pemungutan, namun problemnya ada di proses penghitungan. Dan hal ini tidak diprediksi sebelumnya. Tidak diantisipasi bekerja sampai 30 jam untuk penghitungan, di UU tidak ada dibahas tentang istirahat, tidak ada shift/pergantian. Belum lagi regulasi bagi level adhoc sangat rumit, tekanan dari berbagai pihak, menyebabkan tingkat stres yang tinggi, serta konsumsi kopi dan rokok," tegasnya.
Dia menyarankan dalam proses perekrutan jajaran penyelenggara untuk menggandeng kalangan mahasiswa menjadi petugas KPPS, yang dapat dikatakan sebagai kuliah kerja pemilu, atau pengabdian masyarakat. Juga dari kalangan guru, sebagai bentuk kerjasama dengan PGRI, untuk mencari petugas di kelurahan atau kecamatan.
Catatan berikutnya terkait perubahan sistem pemilu, misal sistem distrik yang pernah diusulkan, tapi kemudian ditentang banyak parpol sehingga belum bisa dilaksanakan. "Kedua harus ada pemisahan antara pemilu legislatif dan eksekutif, atau dipisahkan berdasarkan regional, daerah dulu, baru pusat," ungkapnya.
(pur)