Rektor Asing dan Ranking PTN

Jum'at, 02 Agustus 2019 - 08:30 WIB
Rektor Asing dan Ranking...
Rektor Asing dan Ranking PTN
A A A
Adjat Wiratma
Eksekutif Produser dan News Presenter MNC News

SALAH satu ujian hasil pendidikan adalah saat para lulusannya dihadapkan pada dunia kerja atau industri. Tidak jarang para sarjana harus bekerja di bidang yang tidak sesuai latar belakang pendidikan mereka, bahkan harus menganggur karena tidak ada pekerjaan yang sesuai. Fakta lain, saat ini masih banyak jurusan di perguruan tinggi yang tidak lagi aktual. Sebaliknya, di tengah tuntutan zaman menuju Revolusi Industri 5.0, belum banyak kampus yang mengubah diri.

Saat ini ada ribuan perguruan tinggi, 122 berstatus negeri dan selebihnya swasta, ditambah perguruan tinggi agama dan kedinasan. Kesemuanya memiliki ragam masalah, terlalu rumit jika mengurai semuanya. Banyak faktor yang membuat masalah muncul dan belum terselesaikan. Seharusnya pemerintah melalui Kemenristek Dikti mengidentifikasi dan mengimplementasikan berbagai solusi untuk masalah tersebut. Terlebih terhadap kampus yang pengelolaannya dibiayai negara.

Di tengah kondisi tersebut, pemerintah kini berambisi menjadikan perguruan tinggi tertentu masuk dalam deretan kampus ternama dunia. Tidak lagi 500 besar, tapi harus masuk 100 peringkat dunia.

Ada beberapa parameter sebuah kampus masuk dalam jajaran ternama dunia. Pertama, dilihat dari kualitas risetnya, dari inovasi, kebermanfaatan, termasuk publikasi. Berikutnya adalah sistem pengajaran yang dilakukan di kampus, lalu soal kemampuan kerja para lulusan. Parameter berikutnya dilihat pula dari banyak tidaknya warga asing, baik sebagai mahasiswa dan staf, fasilitas kampus, sistem pembelajaran jarak jauh, serta spesialisasi.

Selama ini setidaknya ada lima pihak yang sudah dikenal dalam hal pemeringkatan kampus dunia, yakni Webometrics, 4ICU, QSWU, THE, serta peringkat Dikti. Indikator masing-masing versi itu berbeda, termasuk Dikti, lebih menitikberatkan pada presentasi jumlah dosen dan kualitasnya, akreditasi, kualitas kegiatan mahasiswa, penelitian (di dalamnya termasuk publikasi karya ilmiah).

Majalah mingguan asal Inggris, Times Higher Education (THE), awal 2019 merilis daftar University Impact Ranking 2019. Sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) Indonesia masuk di dalamnya. Standar yang digunakan majalah tersebut berdasarkan 11 dari 17 indikator sustainable development goals (SDGs) PBB, atau lebih pada dampak kerja kampus selama setahun terhadap ekonomi dan masyarakat melalui inovasi dan penemuannya.

PTN di Indonesia juga masuk dalam jajaran yang patut diperhitungkan dalam QS World University Rangking 2020 yang dirilis pada Januari 2019. Pemeringkatan lembaga-lembaga pemeringkat dunia bukanlah hal yang utama dikejar sebuah perguruan tinggi, meski peringkat itu sudah barang tentu dapat menjadi pengungkit kepercayaan dunia terhadap kampus yang bersangkutan. Lalu, apakah pemeringkatan yang dibanggakan itu sudah menjawab pencapaian tujuan pendidikan?

Universitas mempunyai tugas yang khas, yaitu menemukan dan mengajarkan kebenaran tentang hal penting secara metodis, sebagian dari tugas ini adalah meningkatkan pengetahuan mahasiswa dan melatihnya dalam hal sikap dan metode untuk mengkaji dan menguji secara kritis kepercayaan mereka sehingga apa yang diyakini sedapat mungkin terbebas dari kekeliruan. Tujuan kurikulum universitas adalah menciptakan profesional dalam bidangnya dan menciptakan akademikus untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Pengangkatan Rektor Asing
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi Kemenristek Dikti mewacanakan pengangkatan rektor asing. Kabarnya, saat ini sedang dilakukan perubahan beberapa peraturan untuk memungkinkan rekrutmen itu dilakukan, termasuk kriterianya. Menristek Dikti M Nasir menyebut rencananya itu sudah dilaporkan ke Presiden Joko Widodo.

Hal yang diharapkan dari pengangkatan rektor asing untuk PTN itu agar kampus yang dipimpin rektor itu bisa menduduki 100 besar dunia. Praktik menempatkan rektor impor diakui pemerintah juga dilakukan kampus-kampus ternama di beberapa negara dan terbukti unggul. Nantinya, dengan adanya kampus berkelas di dalam negeri, warga Indonesia tidak perlu ke luar negeri untuk dapat merasakan kualitas yang sama.

Benarkah rektor dan dosen asing bisa mengurai masalah? Untuk masuk dalam kompetisi dunia, kualifikasinya memang harus setara. Kita baru bisa berkompetisi saat tolok ukur umumnya terpenuhi, seperti misalnya pemenuhan hardware-nya, yakni faktor yang secara kasatmata terlihat, dari fasilitas kampus, jumlah dosen dan mahasiswa, bangunan, dan lainnya. Lalu faktor software, yakni soal ukuran-ukuran yang dirasakan, seperti soal manajemen, struktur organisasi, sistem kontrol, evaluasi dan sebagainya. Terakhir brainware, yakni ukuran akademik seperti pencapaian prestasi alumni, jumlah penerimaan Nobel, paten, jurnal, teori, dan sebagainya.

Wacana mendatangkan rektor dan dosen asing sah-sah saja sebagai jalan pintas menjawab ketidakmampuan mengelola kampus selama ini. Hanya, terkesan pemerintah seperti tidak lagi percaya kepada para guru besar yang merupakan anak bangsa. Padahal, banyak lulusan luar negeri, para akademisi dan profesional, yang bisa dilirik menjadi alternatif. Perlu diingat, berbeda dengan dosen yang berfokus pada transfer ilmu pengetahuan, posisi rektor lebih pada kemampuan manajerial dan kepemimpinan.

Yang menarik, rektor asing akan ditempatkan pada perguruan tinggi dengan syarat manajemennya sudah bagus, akreditasinya sudah standar internasional. Dengan begitu, akan ada alokasi anggaran yang lebih besar bagi kampus itu untuk riset dan penyelenggaraan pendidikan. Mungkin lebih pada “pemoles” terhadap yang sudah baik, itulah posisi rektor impor ke depan.

Seperti di dunia bisnis, tujuan pendidikan hanya dapat dicapai jika lembaga pendidikan mempunyai sistem penjaminan mutu yang dirancang dan dilaksanakan secara profesional dan sistematis, sehingga terbangun budaya mutu, serta adanya pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas, proporsional dalam penyelenggaraan satuan pendidikan. Jika melihat hal ini, hal yang perlu dibangun adalah sistem, dan sistem itu yang akan berjalan, termasuk menciptakan pemimpin andal dari dalam organisasi, bukan impor.

Indonesia dalam Pergulatan Dunia
Sikap atau pandangan mendunia tidak selalu harus datang dari negara yang telah maju, bahkan beberapa hal bisa bersumber dari kearifan lokal yang dinilai masih tergolong belum maju. Indonesia memang harus mendunia, namun berpikir asing lebih hebat tidak selamanya terbukti benar. Ada tiga perspektif pokok dalam konsep mendunia. Pertama, kita mengikuti arus yang sedang terjadi, dengan demikian kita menjadi follower. Kedua, kita menjadi pemuka atau leader, ketiga Indonesia bersama bangsa lain melakukan kegiatan bersama yang bermanfaat bagi semua.

Perspektif pertama kita adalah follower sepertinya sudah menjadi mindset sebagian besar anak bangsa ini. Apa yang ada di luar selalu dianggap baik, dan akhirnya kita harus ikut mereka. Apakah mendatangkan rektor asing juga bentuk dari arus pikir ini? Jika bicara kerja sama internasional rasanya sudah banyak kampus melakukannya sejak lama, baik kerja sama dalam pengajaran juga dalam penelitian. Kita pun ingin ke depan, pemerintah mengedepankan perspektif leader karena dulu saja Indonesia bisa mengirimkan guru-guru terbaik ke negara tetangga untuk memajukan pendidikan di negara itu.

Pemimpin di Kampus
Pemimpin di kampus dapat dibagi menjadi dua. Pertama, secara struktural (academic leaders) di dalamnya ada rektor, dekan dan staf. Kedua, pemimpin ilmu (scientist leaders), yakni mereka yang memimpin kelompok ilmu, yakni para dosen yang mendidik mahasiswa. Rektor hanyalah satu dari banyak unsur yang menunjang kerja perguruan tinggi. Memajukan perguruan tinggi rasanya tidak cukup dengan hanya memasukkan akademisi asing, tapi mari lihat juga keberpihakan penganggaran yang digelontorkan pemerintah selama ini untuk biaya penelitian, meningkatkan kualitas dosen, dan untuk menambah fasilitas kampus.

Mengelola sebuah organisasi harus ada kerja sama antara pimpinan dan bawahan, jangan sampai rencana ini memperdalam jurang polarisasi di dalam kampus. Saat ini saja, dengan politik pemilihan rektor membuat lahirnya “kelompok-kelompok”. Bagaimana dengan sosok yang beda budaya, beda pendapatan/gaji, tentu akan menimbulkan sikap yang resisten dan menjadi masalah yang tidak gampang diselesaikan rektor asing. Dalam jangka pendek, pemerintah bisa menjaring nama-nama yang layak menjadi rektor dari semua perguruan tinggi yang ada, termasuk memungkinkan masuknya kalangan profesional. Selanjutnya kandidat-kandidat terbaik yang dimiliki bangsa itu dapat ditempatkan di perguruan tinggi yang ada. Pemerintah juga dapat mengundang putra-putri terbaik warga negara Indonesia yang kini berkarier di kampus-kampus luar negeri untuk memperkuat kualitas dosen dan jaringan.

Namun, jika tetap juga hendak diuji coba mendatangkan rektor impor, pemerintah harus bisa memastikan calon rektor yang didatangkan benar-benar terbaik, bukan asal dari luar. Dan, cukup rektor saja yang diwacanakan impor, jangan sampai muncul wacana menterinya kelak juga impor.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2976 seconds (0.1#10.140)