DPR Didesak Tunda Pengesahan RUU Kamtansiber
A
A
A
JAKARTA - DPR didesak untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentangKeamanan dan Ketahanan Siber. Sebab,RUU tersebut dianggap tidak memiliki urgensi untuk segera disahkan.
"Tidak ada kegentingan atau kegawatan nasional hingga RUU itu segera disahkan," ujarKetua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, Rabu (31/7/2019).
Dia menilai RUU tersebut masih memerlukan pendalaman dari seluruh pemegang kepentingan. Karena, dia melihat RUU tersebut tidak melibatkan dan merepresentasikan pemegang kepentingan dalam sistem keamanan siber nasional.
"Soal cyber security ini tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja, harus melibatkan semua yang memiliki kepentingan di bidang cyber. Artinya, bukan hanya pemerintah, ada swasta, ada perguruan tinggi, ada banyak yang terlibat," ujar Ardi.
Di samping itu, RUU Kamtansiber dianggap hanya merefleksikan kondisi yang mungkin terjadi pada tahun 2013-2014 sebagaimana yang ada di dalam draf RUU. Padahal, dia mengatakan saat ini ancaman sudah berbeda dengan ketika RUU itu dirancang.
"Yang namanya siber itu tidak bisa ancamannya hanya satu. Ini sekarang banyak potensi ancaman yang ada dan kita harus pahami itu dulu," katanya.
Dia pun heran mengapa DPR menjadi pihak yang berinisiatif untuk membuat UU Kamtansiber tersebut. Padahal, RUU itu merupakan wilayah pemerintah dan masyarakat.
"Sekarang sudah mereka yang membuat UU itu, sekarang mereka mau maksa supaya itu ditandatangani, dikebut. Bagaimana ceritanya coba?" ujar Ardi.
Dia juga mengaku heran dengan Indonesia yang hingga kini enggan meratifikasi konvensi keamanan siber yang dibuat di Eropa karena alasan kedaulatan. Padahal, siber tidak memiliki batasan wilayah.
"Artinya kita tidak bisa berdiri sendiri, menganggap bahwa kita dunia sendiri dan kita harus jaga dunia kita. Kita tidak bisa bertahan jika tidak bekerja sama dengan pihak lain, terutama dalam forum-forum bilateral dan multilateral, pungkasnya.
"Tidak ada kegentingan atau kegawatan nasional hingga RUU itu segera disahkan," ujarKetua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, Rabu (31/7/2019).
Dia menilai RUU tersebut masih memerlukan pendalaman dari seluruh pemegang kepentingan. Karena, dia melihat RUU tersebut tidak melibatkan dan merepresentasikan pemegang kepentingan dalam sistem keamanan siber nasional.
"Soal cyber security ini tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja, harus melibatkan semua yang memiliki kepentingan di bidang cyber. Artinya, bukan hanya pemerintah, ada swasta, ada perguruan tinggi, ada banyak yang terlibat," ujar Ardi.
Di samping itu, RUU Kamtansiber dianggap hanya merefleksikan kondisi yang mungkin terjadi pada tahun 2013-2014 sebagaimana yang ada di dalam draf RUU. Padahal, dia mengatakan saat ini ancaman sudah berbeda dengan ketika RUU itu dirancang.
"Yang namanya siber itu tidak bisa ancamannya hanya satu. Ini sekarang banyak potensi ancaman yang ada dan kita harus pahami itu dulu," katanya.
Dia pun heran mengapa DPR menjadi pihak yang berinisiatif untuk membuat UU Kamtansiber tersebut. Padahal, RUU itu merupakan wilayah pemerintah dan masyarakat.
"Sekarang sudah mereka yang membuat UU itu, sekarang mereka mau maksa supaya itu ditandatangani, dikebut. Bagaimana ceritanya coba?" ujar Ardi.
Dia juga mengaku heran dengan Indonesia yang hingga kini enggan meratifikasi konvensi keamanan siber yang dibuat di Eropa karena alasan kedaulatan. Padahal, siber tidak memiliki batasan wilayah.
"Artinya kita tidak bisa berdiri sendiri, menganggap bahwa kita dunia sendiri dan kita harus jaga dunia kita. Kita tidak bisa bertahan jika tidak bekerja sama dengan pihak lain, terutama dalam forum-forum bilateral dan multilateral, pungkasnya.
(cip)