DPR Dukung Revisi UU Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merevisi Undang-Undang (UU) Pilkada mendapatkan respons positif Komisi II DPR. Komisi yang membidangi masalah pemerintahan itu juga mendukung norma larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk maju sebagai calon kepala daerah.
Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria mengatakan, pihaknya mendukung berbagai upaya yang dilakukan pemerintah, KPU, dan masyarakat untuk menjadikan kualitas kepala daerah lebih baik. Salah satunya dengan mengajukan revisi UU Pilkada sebagai dasar dalam pelaksanakan pilkada. “Kami dukung jika pemerintah dan KPU mengajukan revisi,” ujarnya, Rabu (31/7/2019).
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan, dia juga mendukung jika pemerintah maupun KPU mengajukan norma larangan bagi mantan napi korupsi untuk menjadi calon kepala daerah dalam revisi undang-undang nanti. Langkah itu merupakan bentuk pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.
Riza mengatakan, rencana revisi UU Pilkada belum pernah disampaikan ke Komisi II. Pihaknya pun masih menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah maupun KPU. Tentu, persoalan itu perlu dibahas bersama Komisi II sebelum pengajuan revisi undang-undang dilakukan.
Selain larangan bagi mantan napi korupsi untuk menjadi kepala daerah, Riza mengusulkan agar revisi UU Pilkada juga menyertakan larangan politik dinasti di daerah. Misalnya, jika seorang kepala daerah sudah selesai masa jabatannya, maka tidak boleh mengajukan anggota keluarga maupun kerabatanya sebagai calon kepala daerah.
“Mereka baru boleh menyalonkan diri setelah lima tahun jabatan strategis itu diisi orang lain,” ungkapnya.
Ketua DPP Partai Gerindra itu mengatakan, aturan itu perlu dicantumkan dalam UU Pilkada agar tidak tercipta kerjaan kecil di daerah. Selama ini politik dinasti diwarnai dengan berbagai tindak pidana korupsi.
Senada, Wakil Ketua Komisi II Nihayatul Wafiroh juga mendukung jika pemerintah maupun KPU mengajukan revisi UU Pilkada. “Kalau pemerintah atau partai-partai meminta, tentu bisa dimasukkan ke dalam prolegnas,” terang dia.
Terkait larangan mantan napi korupsi menjadi calon kepala daerah, Ninik, sapaan akrab Nihayatul Wafiroh mengatakan, hal itu sangat bergantung dengan partai politik (Parpol). Jika partai ketat dalam melakukan seleksi calon kepala daerah, maka tidak akan ada eks napi korupsi yang dicalonkan.
Sebenarnya, larangan itu sama dengan larangan mantan koruptor menjadi calon legislatif yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Aturan itu akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Jadi, yang paling penting dalam seleksi calon kepala daerah adalah partai. “Ada atau tidak aturan itu, menurut saya tidak berpengaruh jika partai kenceng dalam seleksi,” tutur politikus PKB itu.
Yang terpenting sekarang, lanjut dia, partai harus mempunyai komitmen untuk melakukan pencegahan korupsi. Salah satunya dengan tidak mengusung calon yang bermasalah dengan hukum, salah satunya mantan napi korupsi.
Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria mengatakan, pihaknya mendukung berbagai upaya yang dilakukan pemerintah, KPU, dan masyarakat untuk menjadikan kualitas kepala daerah lebih baik. Salah satunya dengan mengajukan revisi UU Pilkada sebagai dasar dalam pelaksanakan pilkada. “Kami dukung jika pemerintah dan KPU mengajukan revisi,” ujarnya, Rabu (31/7/2019).
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan, dia juga mendukung jika pemerintah maupun KPU mengajukan norma larangan bagi mantan napi korupsi untuk menjadi calon kepala daerah dalam revisi undang-undang nanti. Langkah itu merupakan bentuk pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.
Riza mengatakan, rencana revisi UU Pilkada belum pernah disampaikan ke Komisi II. Pihaknya pun masih menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah maupun KPU. Tentu, persoalan itu perlu dibahas bersama Komisi II sebelum pengajuan revisi undang-undang dilakukan.
Selain larangan bagi mantan napi korupsi untuk menjadi kepala daerah, Riza mengusulkan agar revisi UU Pilkada juga menyertakan larangan politik dinasti di daerah. Misalnya, jika seorang kepala daerah sudah selesai masa jabatannya, maka tidak boleh mengajukan anggota keluarga maupun kerabatanya sebagai calon kepala daerah.
“Mereka baru boleh menyalonkan diri setelah lima tahun jabatan strategis itu diisi orang lain,” ungkapnya.
Ketua DPP Partai Gerindra itu mengatakan, aturan itu perlu dicantumkan dalam UU Pilkada agar tidak tercipta kerjaan kecil di daerah. Selama ini politik dinasti diwarnai dengan berbagai tindak pidana korupsi.
Senada, Wakil Ketua Komisi II Nihayatul Wafiroh juga mendukung jika pemerintah maupun KPU mengajukan revisi UU Pilkada. “Kalau pemerintah atau partai-partai meminta, tentu bisa dimasukkan ke dalam prolegnas,” terang dia.
Terkait larangan mantan napi korupsi menjadi calon kepala daerah, Ninik, sapaan akrab Nihayatul Wafiroh mengatakan, hal itu sangat bergantung dengan partai politik (Parpol). Jika partai ketat dalam melakukan seleksi calon kepala daerah, maka tidak akan ada eks napi korupsi yang dicalonkan.
Sebenarnya, larangan itu sama dengan larangan mantan koruptor menjadi calon legislatif yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Aturan itu akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Jadi, yang paling penting dalam seleksi calon kepala daerah adalah partai. “Ada atau tidak aturan itu, menurut saya tidak berpengaruh jika partai kenceng dalam seleksi,” tutur politikus PKB itu.
Yang terpenting sekarang, lanjut dia, partai harus mempunyai komitmen untuk melakukan pencegahan korupsi. Salah satunya dengan tidak mengusung calon yang bermasalah dengan hukum, salah satunya mantan napi korupsi.
(cip)