RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Diharapkan Segera Disahkan

Selasa, 30 Juli 2019 - 18:31 WIB
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Diharapkan Segera Disahkan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Diharapkan Segera Disahkan
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) hingga saat ini masih dalam pembahasan di DPR. Indriyati Suparno, Komisioner sekaligus Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan mengungkapkan, berkaca dari kasus Baiq Nuril, RUU PKS harus segera disahkan.

"Agar tidak ada Nuril-Nuril yang lain, kami mendesak RUU PKS harus segera disahkan. Bahwa kasus Baiq Nuril adalah contoh, bahwa ini kebutuhan masyarakat agar perempuan tidak lagi mengalami viktimisasi. Misalnya, menjadi korban lagi ketika ia melaporkan kasus yang dialami," kata Indriyati saat dihubungi SINDOnews, Selasa (30/7/2019).

Indriyati mengatakan, RUU PKS harus segera disahkan berangkat dari berbagai pengalaman korban kekerasan seksual. "Produk hukum itu buat kami adalah produk budaya, dahulu sebelum ada UU KDRT persoalaan kekerasan rumah tangga tidak didegarkan," jelasnya.

"Lalu jika kini tidak ada payung hukum yang memadahi untuk perlindungan korban dan pencegahan kekerasan seksual bagi perempuan siapa yang akan mendengarkan. Karena bukan hanya sebagai produk hukum atau produk politik tetapi produk budaya yang membuat orang hati-hati melakukan kejahatan," sambungnya.

Dia menegaskan, bukan hanya Komnas Perempuan yang menginginkan RUU PKS untuk disahkan. Paling penting menurut Indriyati adalah, bahwa komunitas, koalisi masyarakat sipil, menekankan bahwa ini adalah kebutuhan masyarakat, bukan hanya kebutuhan Komnas Perempuan.

"Tentu saja, juga pemerintah, dimana Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga menginginkan ada hukum yang mengakomodir kebutuhan perempuan agar tidak mengalami kekerasan seksual," jelasnya.

Dengan begitu, kata Indriyati, pengesahan RUU PKS membawa angin segar bagi perempuan yang mengalami kekerasan seksual di dunia maya. "Kami memberikan catatan untuk kasus-kasus di dunia maya, karena dia aturan pidana khususnya belum ada, dia harus disinergikan atau membangun pemahaman hukum terkait dengan perundangan yang lain," tuturnya.

"Misalnya, ketika seseorang mengalami kekerasan seksual di dunia maya unsur apa saja yang bisa membantu, apakah ada unsur-unsur perdagangannya apakah ada pornografinya, apakah ada unsur transaksi seksual yang lain sehingga bisa masuk TPPO, bisa masuk ke pornografi atau KUHP," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5489 seconds (0.1#10.140)