Mendewasakan Suporter

Senin, 29 Juli 2019 - 07:19 WIB
Mendewasakan Suporter
Mendewasakan Suporter
A A A
INDONESIA dikenal sebagai salah satu negara dengan atmosfer sepak bola terbaik di dunia. Namun, sayang, sejauh ini atmosfer tersebut tidak diimbangi dengan sportivitas yang tinggi. Akibatnya prestasi sepak bola nasional pun cenderung jalan di tempat. Kita belum bisa berbicara banyak di level Asia Tenggara, apalagi Asia, terlebih lagi dunia. Salah satu problem akut sepak bola kita sejak dulu hingga hari ini adalah kedewasaan suporter.

Kemarin final leg kedua Piala Indonesia yang mempertemukan PSM Makassar dan Persija Jakarta di Stadion Andi Mattalatta batal digelar. PSSI selaku operator turnamen memutuskan menunda laga tersebut dengan alasan keamanan. Sehari sebelum pertandingan, yakni pada Sabtu (27/7) sore, ofisial Persija sempat menjadi korban pelemparan oknum-oknum tak bertanggung jawab. Bus yang ditumpangi rombongan Persija dilempari batu sehingga membuat kaca bus pecah. Akibat kejadian itu skuad macan Kemayoran menolak datang ke stadion untuk menjalani pertandingan.

Laga di stadion yang dulu bernama Mattoangin tersebut tidak seharusnya ditunda jika tidak ada insiden yang mengancam keselamatan pemain. Kasus di Makassar pada Sabtu itu hanya satu dari sekian keonaran yang dipicu ketidakdewasaan pendukung klub. Masalah suporter sudah sejak lama menjadi problem sepak bola nasional kendati itu hanya satu dari sekian banyak masalah klasik yang ikut menghambat kemajuan sepak bola Tanah Air.

Kita kerap kali disuguhi kejadian mengenaskan berupa kematian tragis pendukung klub seusai atau sebelum laga digelar. Sepak bola sebagai permainan indah yang seharusnya bisa dinikmati dengan tenang, duduk nyaman di bangku stadion tak jarang berubah horor. Lemparan botol minuman, batu, dan benda keras lainnya kerap mewarnai laga, terutama jika hasil akhir pertandingan tidak memuaskan penonton tuan rumah.

Memang tidak adil jika suporter dianggap kambing hitam dan jadi satu-satunya pemicu kekerasan dalam sepak bola Tanah Air. Kekerasan oleh suporter yang seolah tiada habisnya ini justru karena adanya pembiaran dari sejumlah pihak. Misalnya kita belum melihat ada sanksi yang sangat berat bagi klub yang suporternya berbuat onar. Memang sudah ada sanksi berupa pertandingan kandang tanpa penonton, tetapi hal itu cenderung masih permisif. Jika pertandingan tanpa penonton hanya berlaku untuk satu atau dua laga saja, tentu hal itu tidak menimbulkan efek jera bagi suporter.Bagi klub yang suporternya terbukti berulang-ulang membuat keonaran, tidak berlebihan jika klub tersebut dibuat "menderita" dengan diwajibkan berlaga tanpa penonton untuk banyak pertandingan. Efek jera lainnya bisa dalam bentuk denda uang dalam jumlah besar dan pengurangan poin dalam jumlah signifikan. Tujuannya agar suporter menyadari kerugian demi kerugian yang dialami klub sehingga perlahan mereka akan berubah menjadi lebih tertib.
Fasilitas stadion yang baik juga bisa ikut mengurangi kekerasan oleh suporter. Harus bisa dijamin semua penonton yang datang ke stadion memiliki tiket. Ini pekerjaan rumah bagi klub yang stadionnya tidak memadai sehingga memungkinkan ada penonton yang masuk secara ilegal. Datang ke stadion tanpa tiket jelas menunjukkan rendahnya tanggung jawab, juga rasa memiliki suporter kepada klub. Wajar jika mereka ini yang sering dituding sebagai biang keonaran.

Fungsi kepolisian sebaiknya juga tidak sebatas menjaga keamanan di sekitar stadion pada saat laga digelar, melainkan melakukan pendekatan persuasif ke tokoh-tokoh suporter sebelum pertandingan. Umumnya kelompok suporter memiliki tokoh berpengaruh dan didengar. Pendekatan yang intens ke tokoh kunci ini bagian dari upaya meredam agresivitas suporter.

Di atas semua ini, tentu kedewasaan individu suporter jadi faktor penentu. Saatnya suporter mengubah pola pikir dan mentalitasnya. Kita perlu meniru pendukung klub di negara yang sepak bolanya jauh lebih maju. Rivalitas sengit antarklub tidak serta-merta menghilangkan akal sehat para pendukungnya. Tribun yang tidak memiliki pagar pembatas pun tidak lantas membuat suporter beringas, malah sangat tertib.

Pada 1994, ketika Liga Indonesia hasil penggabungan klub Perserikatan dan Galatama digelar pertama kalinya, bergaung slogan "Sepak Bola Indonesia ke Pentas Dunia". Sudah 25 tahun momentum itu berlalu, tetapi prestasi sepak bola kita masih seperti saat ini. Jika ingin sepak bola Indonesia berbicara banyak, semua pihak harus membuat perubahan menjadi lebih baik, tak terkecuali suporter dengan perilakunya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6443 seconds (0.1#10.140)