PDIP Buka Peluang Usung Kadernya Jadi Ketua MPR
A
A
A
JAKARTA - Kursi pimpinan MPR menjadi rebutan sejumlah partai politik (parpol) baik dari Koalisi Indonesia Kerja (KIK) maupun Koalisi Adil Makmur (KAM).
Wasekjen PDIP Ahmad Basarah mengatakan, dalam pemilihan paket pimpinan MPR sebenarnya prioritas partainya yaitu paket pimpinan yang bisa memastikan agenda MPR lima tahun ke depan.
”Itu prioritas kami. Karena itu, kami akan melihat perkembangan calon-calon pimpinan baik ketua maupun wakil ketua MPR yang diusulkan oleh partai-partai politik lain, baik dari unsur partai Koalisi Indonesia Kerja maupun di luar, sepanjang mereka menerima agenda yang PDIP usulkan maka kami dapat bekerja sama dengan mereka,” tutur Basarah di sela Dialog Peradaban Bangsa Nasionalis, Islam, dan TNI dengan tema ”Siapa Melahirkan Republik Harus Berani Mengawalnya” di Kantor DPP Persatuan Alumni GMNI, Jakarta, Senin,22 Juli 2019.
Namun, jika agenda strategis yang diusulkan PDIP nantinya tidak diterima oleh partai-partai politik lain, bukan tidak mungkin PDIP akan mengusung kadernya untuk ikut memperebutkan kursi ketua MPR.
”Mungkin dengan sangat terpaksa PDIP akan memperjuangkan kadernya untuk menjadi Ketua MPR, tapi itu adalah opsi terakhir ketika tawaran agenda strategis ini tidak mendapat respons yang positif atau tidak memiliki kepastian,” paparnya.
Saat ini, partainya masih menunggu partai lain dalam menyamakan persepsi dan agenda bahwa MPR lima tahun ke depan harus melaksanakan beberapa agenda strategis, di antaranya, rencana amandemen terbatas UUD 1945 khusus untuk memberi kembali wewenang MPR menetapkan GBHN.
Agenda kedua, menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara agar dapat memandu lembaga lain untuk mencapai tujuan negara bersama-sama. Ketiga, MPR menjadi mitra kerja BPIP di mana tugas sosialisasi dan pembangunan ideologi bangsa itu tidak bisa dilakukan oleh satu cabang kekuasaan saja, antara oleh BPIP atau MPR saja. Kedua lembaga harus dipastikan bisa bersinergi, bekerja sama agar ada kesamaan persepsi.
”Itu dulu, soal nama itu adalah kemudian. Jadi jangan soal jabatan dulu yang kita prioritaskan. Jangan seakan-akan pimpinan MPR sebagai lahan perebutan jabatan kekuasaan politik,” katanya.
Wakil Ketua MPR ini mengatakan, dalam memilih pimpinan MPR harus melihat kepentingan yang lebih besar bahwa bangsa dan negara yang begitu besar dan kompleks permasalahannya.
”Ini harus diselesaikan permasalahan dari hulunya. Apakah hulunya masalah bangsa kita ini adalah bahwa bangsa kita saat ini tidak memiliki haluan negara yang jelas yang menjadi pemandu lembaga-lembaga negara yang wewenangnya diberikan oleh UUD untuk bekerja secara pasti mengawal tujuan bernegara kita,” paparnya.
Begitu juga dengan pembangunan nasional. Menurutnya, road map pembangunan nasional lima tahun, 25 hingga 50 tahun yang akan datang harus disiapkan.
”Sehingga siapapun Presiden Republik Indonesia kelak, dia tidak boleh membuat rancang bangun dan melaksanakan agenda pembangunan hanya berdasarkan visi-misinya sendiri, tapi dia harus kembali kepada road map pembangunan semesta rencana GBHN yang telah disepakati MPR,” katanya.
Wasekjen PDIP Ahmad Basarah mengatakan, dalam pemilihan paket pimpinan MPR sebenarnya prioritas partainya yaitu paket pimpinan yang bisa memastikan agenda MPR lima tahun ke depan.
”Itu prioritas kami. Karena itu, kami akan melihat perkembangan calon-calon pimpinan baik ketua maupun wakil ketua MPR yang diusulkan oleh partai-partai politik lain, baik dari unsur partai Koalisi Indonesia Kerja maupun di luar, sepanjang mereka menerima agenda yang PDIP usulkan maka kami dapat bekerja sama dengan mereka,” tutur Basarah di sela Dialog Peradaban Bangsa Nasionalis, Islam, dan TNI dengan tema ”Siapa Melahirkan Republik Harus Berani Mengawalnya” di Kantor DPP Persatuan Alumni GMNI, Jakarta, Senin,22 Juli 2019.
Namun, jika agenda strategis yang diusulkan PDIP nantinya tidak diterima oleh partai-partai politik lain, bukan tidak mungkin PDIP akan mengusung kadernya untuk ikut memperebutkan kursi ketua MPR.
”Mungkin dengan sangat terpaksa PDIP akan memperjuangkan kadernya untuk menjadi Ketua MPR, tapi itu adalah opsi terakhir ketika tawaran agenda strategis ini tidak mendapat respons yang positif atau tidak memiliki kepastian,” paparnya.
Saat ini, partainya masih menunggu partai lain dalam menyamakan persepsi dan agenda bahwa MPR lima tahun ke depan harus melaksanakan beberapa agenda strategis, di antaranya, rencana amandemen terbatas UUD 1945 khusus untuk memberi kembali wewenang MPR menetapkan GBHN.
Agenda kedua, menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara agar dapat memandu lembaga lain untuk mencapai tujuan negara bersama-sama. Ketiga, MPR menjadi mitra kerja BPIP di mana tugas sosialisasi dan pembangunan ideologi bangsa itu tidak bisa dilakukan oleh satu cabang kekuasaan saja, antara oleh BPIP atau MPR saja. Kedua lembaga harus dipastikan bisa bersinergi, bekerja sama agar ada kesamaan persepsi.
”Itu dulu, soal nama itu adalah kemudian. Jadi jangan soal jabatan dulu yang kita prioritaskan. Jangan seakan-akan pimpinan MPR sebagai lahan perebutan jabatan kekuasaan politik,” katanya.
Wakil Ketua MPR ini mengatakan, dalam memilih pimpinan MPR harus melihat kepentingan yang lebih besar bahwa bangsa dan negara yang begitu besar dan kompleks permasalahannya.
”Ini harus diselesaikan permasalahan dari hulunya. Apakah hulunya masalah bangsa kita ini adalah bahwa bangsa kita saat ini tidak memiliki haluan negara yang jelas yang menjadi pemandu lembaga-lembaga negara yang wewenangnya diberikan oleh UUD untuk bekerja secara pasti mengawal tujuan bernegara kita,” paparnya.
Begitu juga dengan pembangunan nasional. Menurutnya, road map pembangunan nasional lima tahun, 25 hingga 50 tahun yang akan datang harus disiapkan.
”Sehingga siapapun Presiden Republik Indonesia kelak, dia tidak boleh membuat rancang bangun dan melaksanakan agenda pembangunan hanya berdasarkan visi-misinya sendiri, tapi dia harus kembali kepada road map pembangunan semesta rencana GBHN yang telah disepakati MPR,” katanya.
(cip)