PKB Sebut Wacana Menambah Masa Jabatan Presiden Tidak Faktual
A
A
A
JAKARTA - Wacana menambah masa jabatan presiden atau mengurangi hanya sekali periode saja dinilai tidak faktual oleh Partai kebangkitan bangsa (PKB). Ketua DPP PKB, Lukman Edy mengatakan wacana tersebut secara politik sulit terwujud.
"Pasal 7 UUD 45 paling tidak mengandung dua substansi, yakni substansi masa jabatan selama 5 tahun dan substansi fix term maksimal 2 periode," tutur Lukman Edy kepada wartawan, Senin (22/7/2019).
Menurutnya, masa jabatan selama lima tahun merupakan pilihan dan kesepakatan bersama, tidak ada alasan yang filosofis, selain alasan tidak terlalu pendek dan tidak terlalu lama. "Sedang-sedang saja. Kita tidak memilih 4 tahun karena dianggap terlalu sebentar. Dan kita tidak memilih 6, 7 atau 8 tahun karena terlalu lama bagi seorang Presiden," katanya.
Sedangkan tentang substansi fix term maksimal 2 kali periode, kata Lukman, merupakan bagian dari kesepakatan dasar ketika Reformasi sebagai komitmen mewujudkan sistem presidensial, dimana salah satu syaratnya adalah adanya pembatasan masa jabatan presiden. "Sistem presidensial dengan kewenangan yang besar pada presiden (kepala negara dan kepala pemerintahan) akan cenderung totaliter kalau tidak ada pembatasan masa jabatan," paparnya.
Dikatakan Wakil Direktur Saksi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH Ma'ruf Amin ini, kesepakatan dasar adalah kesepakatan para anggota MPR sebelum melakukan amandemen UUD 1945. "Kesepakatan dasar merupakan pedoman bagi MPR dalam menentukan agenda dan pasal mana saja yang diubah. Tidak boleh ada agenda perubahan di luar rambu-rambu kesepakatan dasar," tuturnya.
Secara faktual, lanjut Lukman, hari ini tidak ada agenda MPR untuk mengubah ketentuan masa jabatan presiden. Menurutnya, harus ada alasan yang substansial yang ditinjau dari berbagai aspek yang komprehensif, sosial, budaya, historis, filosofis dan aspek lainnya sebelum memulai upaya mengubah ketentuan Pasal 7.
"Usulan perubahan hanya akibat reaksi terhadap residu Pemilu 2019, menurut saya menjadi tidak penting dan pasti akan ditolak fraksi-fraksi dan kelompok di MPR," tutur mantan Menteri Percepatan Daerah Tertinggal (PDT) ini.
Tentang residu Pemilu 2019 supaya tidak terkesan reaktif, dia berpandangan alangkah baiknya dilakukan juga evaluasi secara komprehensif, dimana letak kekurangannya, dan dimana letak kelebihannya. "Perubahan dimasa yang akan datang menurut saya lebih kepada perbaikan teknis kepemiluan sehingga semakin lama semakin terkonsolidasi menjadi pemilu yang sempurna bagi Indonesia," jelasnya.
Pihaknya juga menunggu evaluasi menyeluruh dari semua stakeholders, mulai KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, DPR khususnya Komisi II, LSM, litbang-litbang dan perguruan tinggi.
"Yang saya tahu agenda MPR sekarang fokus pada 2 hal, yaitu penguatan kewenangan MPR dan menghidupkan kembali pola dasar pembangunan seperti GBHN. Fokus 2 hal ini sudah dikonsolidasi selama 10 tahun terakhir, dengan kajian dan pendapat publik yang lumayan lengkap," pungkasnya.
"Pasal 7 UUD 45 paling tidak mengandung dua substansi, yakni substansi masa jabatan selama 5 tahun dan substansi fix term maksimal 2 periode," tutur Lukman Edy kepada wartawan, Senin (22/7/2019).
Menurutnya, masa jabatan selama lima tahun merupakan pilihan dan kesepakatan bersama, tidak ada alasan yang filosofis, selain alasan tidak terlalu pendek dan tidak terlalu lama. "Sedang-sedang saja. Kita tidak memilih 4 tahun karena dianggap terlalu sebentar. Dan kita tidak memilih 6, 7 atau 8 tahun karena terlalu lama bagi seorang Presiden," katanya.
Sedangkan tentang substansi fix term maksimal 2 kali periode, kata Lukman, merupakan bagian dari kesepakatan dasar ketika Reformasi sebagai komitmen mewujudkan sistem presidensial, dimana salah satu syaratnya adalah adanya pembatasan masa jabatan presiden. "Sistem presidensial dengan kewenangan yang besar pada presiden (kepala negara dan kepala pemerintahan) akan cenderung totaliter kalau tidak ada pembatasan masa jabatan," paparnya.
Dikatakan Wakil Direktur Saksi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH Ma'ruf Amin ini, kesepakatan dasar adalah kesepakatan para anggota MPR sebelum melakukan amandemen UUD 1945. "Kesepakatan dasar merupakan pedoman bagi MPR dalam menentukan agenda dan pasal mana saja yang diubah. Tidak boleh ada agenda perubahan di luar rambu-rambu kesepakatan dasar," tuturnya.
Secara faktual, lanjut Lukman, hari ini tidak ada agenda MPR untuk mengubah ketentuan masa jabatan presiden. Menurutnya, harus ada alasan yang substansial yang ditinjau dari berbagai aspek yang komprehensif, sosial, budaya, historis, filosofis dan aspek lainnya sebelum memulai upaya mengubah ketentuan Pasal 7.
"Usulan perubahan hanya akibat reaksi terhadap residu Pemilu 2019, menurut saya menjadi tidak penting dan pasti akan ditolak fraksi-fraksi dan kelompok di MPR," tutur mantan Menteri Percepatan Daerah Tertinggal (PDT) ini.
Tentang residu Pemilu 2019 supaya tidak terkesan reaktif, dia berpandangan alangkah baiknya dilakukan juga evaluasi secara komprehensif, dimana letak kekurangannya, dan dimana letak kelebihannya. "Perubahan dimasa yang akan datang menurut saya lebih kepada perbaikan teknis kepemiluan sehingga semakin lama semakin terkonsolidasi menjadi pemilu yang sempurna bagi Indonesia," jelasnya.
Pihaknya juga menunggu evaluasi menyeluruh dari semua stakeholders, mulai KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, DPR khususnya Komisi II, LSM, litbang-litbang dan perguruan tinggi.
"Yang saya tahu agenda MPR sekarang fokus pada 2 hal, yaitu penguatan kewenangan MPR dan menghidupkan kembali pola dasar pembangunan seperti GBHN. Fokus 2 hal ini sudah dikonsolidasi selama 10 tahun terakhir, dengan kajian dan pendapat publik yang lumayan lengkap," pungkasnya.
(kri)