Industri Automotif dan Peluang Ekspor
A
A
A
INDONESIA kini menjadi pilihan prinsipal automotif dunia untuk menanamkan investasi. Tak sekadar berinvestasi, para prinsipal juga berencana melakukan alih teknologi. Selama ini Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan bagi produsen automotif global khususnya Jepang. Kini, dengan semakin membaiknya iklim perekonomian di Tanah Air, Indonesia diharapkan bisa menjadi basis ekspor.
Sejumlah pabrikan seperti Toyota, Suzuki, dan Fuso sudah menjadikan Indonesia sebagai basis ekspor untuk beberapa produknya ke mancanegara. Namun, kinerja ekspor automotif di dalam negeri bukan tanpa hambatan. Selama ini, pertumbuhan sektor automotif masih terkendala beberapa masalah, antara lain biaya logistik yang tinggi akibat buruknya infrastruktur penunjang ekspor, juga tarif listrik yang tinggi.
Tak hanya itu. Indonesia belum memiliki laboratorium uji komponen yang diakui secara global. Juga masih rumitnya pengurusan fasilitas bea masuk ditanggung pemerintah atas impor bahan baku, kemungkinan pengenaan bea masuk safeguard bagi bahan baku industri komponen, dan kurangnya insentif bagi perusahaan yang ingin melakukan riset dan pengembangan produk (R&D).
Padahal, berkembangnya ekspor produksi automotif di dalam negeri bisa menjadi faktor dalam mengurangi defisit neraca perdagangan. Apalagi, di beberapa negara saat ini sedang terkena imbas perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Thailand, misalnya, menghadapi permasalahan kenaikan upah buruh serta keterbatasan tenaga ahli di sektor automotif, sedangkan di India produsen automotif mengeluhkan tingginya biaya produksi yang membuat mereka semakin tidak kompetitif dibandingkan China.
Sementara itu, China melakukan proteksi industri automotifnya melalui kebijakan tarif impor produk automotif untuk mendorong produksi di dalam negerinya. Ini sebenarnya peluang emas bagi Indonesia untuk bisa menguasai pasar-pasar kawasan tertentu, seperti Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah.
Angin segar dibawa oleh Toyota Motor Corp (TMC), dengan menyatakan komitmennya untuk berinvestasi di Indonesia. Nilainya mencapai Rp28 triliun dalam periode 2019-2023. Nilai terbesar yang pernah digelontorkan pabrikan Negeri Sakura itu dalam satu periode. Investasi tersebut dipastikan akan diikuti oleh pengembangan pabrik baru, untuk memproduksi model baru.
Sejak empat tahun terakhir, TMC sangat serius menjadikan Indonesia sebagai basis produksinya. Bahkan pada periode 2015-2018, TMC sudah menggelontorkan investasi senilai Rp25 triliun. Beberapa model mobil sudah diproduksi di Indonesia dan dipasarkan di luar negeri, seperti Fortuner, Yaris, Avanza, Sienta, Vios.
Apa yang dilakukan TMC tersebut perlu diikuti oleh prinsipal lain. Namun, hal itu tidak akan berjalan lancar jika tidak ada dukungan pemerintah, misalnya dengan memberikan dukungan untuk pengembangan supply chain industry automotif. Memperbaiki jalur pasokan logistik juga memberikan insentif fiskal ataupun perpajakan.
Pemerintah juga harus aktif melakukan kerja sama atau pembicaraan bilateral dengan negara tujuan ekspor. Ini agar tidak ada lagi hambatan (barrier to entry ) seperti yang dialami saat ekspor mobil dari Indonesia terhambat masuk Vietnam.
Sejumlah pabrikan seperti Toyota, Suzuki, dan Fuso sudah menjadikan Indonesia sebagai basis ekspor untuk beberapa produknya ke mancanegara. Namun, kinerja ekspor automotif di dalam negeri bukan tanpa hambatan. Selama ini, pertumbuhan sektor automotif masih terkendala beberapa masalah, antara lain biaya logistik yang tinggi akibat buruknya infrastruktur penunjang ekspor, juga tarif listrik yang tinggi.
Tak hanya itu. Indonesia belum memiliki laboratorium uji komponen yang diakui secara global. Juga masih rumitnya pengurusan fasilitas bea masuk ditanggung pemerintah atas impor bahan baku, kemungkinan pengenaan bea masuk safeguard bagi bahan baku industri komponen, dan kurangnya insentif bagi perusahaan yang ingin melakukan riset dan pengembangan produk (R&D).
Padahal, berkembangnya ekspor produksi automotif di dalam negeri bisa menjadi faktor dalam mengurangi defisit neraca perdagangan. Apalagi, di beberapa negara saat ini sedang terkena imbas perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Thailand, misalnya, menghadapi permasalahan kenaikan upah buruh serta keterbatasan tenaga ahli di sektor automotif, sedangkan di India produsen automotif mengeluhkan tingginya biaya produksi yang membuat mereka semakin tidak kompetitif dibandingkan China.
Sementara itu, China melakukan proteksi industri automotifnya melalui kebijakan tarif impor produk automotif untuk mendorong produksi di dalam negerinya. Ini sebenarnya peluang emas bagi Indonesia untuk bisa menguasai pasar-pasar kawasan tertentu, seperti Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah.
Angin segar dibawa oleh Toyota Motor Corp (TMC), dengan menyatakan komitmennya untuk berinvestasi di Indonesia. Nilainya mencapai Rp28 triliun dalam periode 2019-2023. Nilai terbesar yang pernah digelontorkan pabrikan Negeri Sakura itu dalam satu periode. Investasi tersebut dipastikan akan diikuti oleh pengembangan pabrik baru, untuk memproduksi model baru.
Sejak empat tahun terakhir, TMC sangat serius menjadikan Indonesia sebagai basis produksinya. Bahkan pada periode 2015-2018, TMC sudah menggelontorkan investasi senilai Rp25 triliun. Beberapa model mobil sudah diproduksi di Indonesia dan dipasarkan di luar negeri, seperti Fortuner, Yaris, Avanza, Sienta, Vios.
Apa yang dilakukan TMC tersebut perlu diikuti oleh prinsipal lain. Namun, hal itu tidak akan berjalan lancar jika tidak ada dukungan pemerintah, misalnya dengan memberikan dukungan untuk pengembangan supply chain industry automotif. Memperbaiki jalur pasokan logistik juga memberikan insentif fiskal ataupun perpajakan.
Pemerintah juga harus aktif melakukan kerja sama atau pembicaraan bilateral dengan negara tujuan ekspor. Ini agar tidak ada lagi hambatan (barrier to entry ) seperti yang dialami saat ekspor mobil dari Indonesia terhambat masuk Vietnam.
(cip)