KPK Beberkan 4 Faktor Penyebab Kepala Daerah Korupsi
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan ada empat faktor para kepala daerah melakukan korupsi. Saat ini sudah ada sebanyak 108 kepala daerah termasuk terakhir tersangka Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Nurdin Basirun.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, penetapan Nurdin Basirun sebagai tersangka penerima suap pengurusan pengajuan izin reklamasi proyek di Tanjung Piayu, Kota Batam, Provinsi Kepri dan penerima gratifikasi telah menambah daftar panjang kepala daerah yang menjadi 'pasien' KPK. Sebelum Nurdin, ada sebanyak 107 kepala daerah baik wali kota dan bupati maupun wakilnya dan gubernur yang telah ditangani KPK hingga berkekuatan hukum tetap.
"Kami sangat menyayangkan praktik korupsi seperti masih terjadi melibatkan kepala daerah dan jajaran di bawahnya. Praktik suap seperti ini sudah berkali-kali terjadi di daerah," kata Basaria saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis, 11 Juli 2019 malam.
Mantan staf ahli Kapolri bidang sosial politik ini menggariskan, ada beberapa faktor kenapa kepala daerah masih melakukan korupsi. Pertama, para kepala daerah tidak konsisten dan tidak menjalankan program dan kegiatan pencegahan korupsi di lingkungan pemerintah daerah masing-masing.
Padahal KPK sudah sering kali turun ke daerah dan melakukan pendampingan termasuk Provinsi Kepri pada 2018."Ini kembali kepada orangnya. Dia sudah punya komitmen (pencegahan korupsi), dia sudah sumpah sebelum menduduki jabatan itu, kembali kemudian dia ingkari. Kita sudah melakukan pencegahan tapi tidak diikuti," ujarnya.
Kedua, lanjut Basaria, kepala daerah dan pemda masing-masing cenderung tidak menjalankan proses pelayanan publik secara transparan termasuk di antaranya dalam proses pengajuan dan pengurusan perizinan. Padahal untuk mengantisipasi korupsi di aspek perizinan harusnya ada kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan menggunakan sistem online (elektronik) guna menghindari tatap muka.
"Dengan PTSP secara online tidak ada lagi yang mendatangi kepala daerah. PTSP dihampir seluruh daerah sudah ada, tapi yang secara online dan kita pantau ternyata belum semuanya jalan. Kalau sudah online dan bisa KPK pantau, sangat kecil kemungkinannya terjadi korupsi," tuturnya.
Faktor ketiga, cost politics yang tinggi saat seorang kepala daerah maju dalam gelaran pilkada. Basaria menjelaskan, dari sejumlah kasus korupsi dengan para pelaku kepala daerah ada yang memang bertujuan untuk mengembalikan uang-uang yang dikeluarkan saat pilkada.
Keempat, selama ini vonis pidana penjara bagi kepala daerah pelaku korupsi masih terlalu rendah. "Penyebabnya korupsi kepala daerah karena vonis (terhadap) kepala daerah terlalu ringan, bisa juga karena memang cost politics yang sangat tinggi," ucapnya.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, penetapan Nurdin Basirun sebagai tersangka penerima suap pengurusan pengajuan izin reklamasi proyek di Tanjung Piayu, Kota Batam, Provinsi Kepri dan penerima gratifikasi telah menambah daftar panjang kepala daerah yang menjadi 'pasien' KPK. Sebelum Nurdin, ada sebanyak 107 kepala daerah baik wali kota dan bupati maupun wakilnya dan gubernur yang telah ditangani KPK hingga berkekuatan hukum tetap.
"Kami sangat menyayangkan praktik korupsi seperti masih terjadi melibatkan kepala daerah dan jajaran di bawahnya. Praktik suap seperti ini sudah berkali-kali terjadi di daerah," kata Basaria saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis, 11 Juli 2019 malam.
Mantan staf ahli Kapolri bidang sosial politik ini menggariskan, ada beberapa faktor kenapa kepala daerah masih melakukan korupsi. Pertama, para kepala daerah tidak konsisten dan tidak menjalankan program dan kegiatan pencegahan korupsi di lingkungan pemerintah daerah masing-masing.
Padahal KPK sudah sering kali turun ke daerah dan melakukan pendampingan termasuk Provinsi Kepri pada 2018."Ini kembali kepada orangnya. Dia sudah punya komitmen (pencegahan korupsi), dia sudah sumpah sebelum menduduki jabatan itu, kembali kemudian dia ingkari. Kita sudah melakukan pencegahan tapi tidak diikuti," ujarnya.
Kedua, lanjut Basaria, kepala daerah dan pemda masing-masing cenderung tidak menjalankan proses pelayanan publik secara transparan termasuk di antaranya dalam proses pengajuan dan pengurusan perizinan. Padahal untuk mengantisipasi korupsi di aspek perizinan harusnya ada kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan menggunakan sistem online (elektronik) guna menghindari tatap muka.
"Dengan PTSP secara online tidak ada lagi yang mendatangi kepala daerah. PTSP dihampir seluruh daerah sudah ada, tapi yang secara online dan kita pantau ternyata belum semuanya jalan. Kalau sudah online dan bisa KPK pantau, sangat kecil kemungkinannya terjadi korupsi," tuturnya.
Faktor ketiga, cost politics yang tinggi saat seorang kepala daerah maju dalam gelaran pilkada. Basaria menjelaskan, dari sejumlah kasus korupsi dengan para pelaku kepala daerah ada yang memang bertujuan untuk mengembalikan uang-uang yang dikeluarkan saat pilkada.
Keempat, selama ini vonis pidana penjara bagi kepala daerah pelaku korupsi masih terlalu rendah. "Penyebabnya korupsi kepala daerah karena vonis (terhadap) kepala daerah terlalu ringan, bisa juga karena memang cost politics yang sangat tinggi," ucapnya.
(whb)