Pahlawan Kemanusiaan yang Menembus Batas Semua Kalangan
A
A
A
“Hidup itu bukan panjang pendeknya usia, tapi seberapa besar kita dapat membantu orang lain.”
Penggalan kalimat di atas adalah kata-kata yang ditulis Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, melalui akun twitter-nya sembilan bulan silam. Di tengah perawatan akibat serangan kanker paru stadium 4B yang terus menggerogotinya, Sutopo berupaya tegar. Diagnosa kanker paru baru diketahui pada awal 2017.
Rasa sakit hebat yang dideritanya seolah tak dia rasakan. Sutopo terus bergerak dan tak mau berhenti bekerja. Dia menyampaikan informasi kebencanaan ke seluruh pelosok negeri ini hingga sering tak mengenal jam kerja. Informasinya yang cepat, akurat dan dikemas dengan bahasa-bahasa sederhana membuat data tentang kebencanaan begitu mudah dipahami. Di tangan Sutopo, BNPB pun kian dikenal dan menjadi rujukan utama masyarakat Indonesia.
Namun kehangatan dan kebersahajaan itu kini tinggal kenangan. Dini hari kemarin sekitar pukul 02.20 waktu Guangzhou atau 01.20 WIB, Sutopo meninggal dunia ketika tengah menjalani pengobatan di St Stamford Modern Cancer Hospital, Guangzhou, China.
Kepergiannya tak pelak membuat banyak orang merasa sangat kehilangan. Keramahan Sutopo yang menembus batas berbagai kalangan pun menyisakan kepedihan mendalam. Sebagai ungkapan rasa duka mendalam, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan mengunggah foto bersama Sutopo melalui media sosial instagram, dan twitter-nya. Pada unggahannya tersebut Presiden Jokowi menyampaikan duka cita atas meninggalnya lelaki kelahiran Boyolali, 7 Oktober 1969 itu. “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Turut berduka atas berpulangnya ke Rahmatullah, Bapak Sutopo Purwo Nugroho di Guangzhou, menjelang dini hari tadi,” demikian tulis Presiden Jokowi.
Menurut Jokowi, Sutopo adalah sosok yang hidupnya didedikasikan untuk orang banyak. “Sampai menjelang akhir hayatnya sebagai Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dia mengabarkan dengan cepat kejadian bencana alam gempa bumi, longsor, tsunami, atau kebakaran yang terjadi di pelosok negeri agar kita waspada dan tidak kebingungan,” tuturnya.
Jokowi pernah mengundang khusus Sutopo pada 5 Oktober 2018 lalu di Istana Kepresidenan Bogor. Sutopo pun mengaku bahwa salah satu impiannya adalah dapat bersalaman dengan Presiden Jokowi.
Dengan kalangan wartawan, Sutopo juga sangat dekat. Bahkan Sutopo dikenal sosok humas yang tak irit memberikan data. Pertanyaaan wartawan sebisa mungkin dia jawab langsung melalui sambungan telepon, SMS atau whatsapp. Bahkan dia selalu melayani wartawan yang belum pernah dia kenal sekalipun. Untuk memudahkan tugasnya sebagai Humas dan juga wartawan dalam mencari informasi kebencanaan, Sutopo membuat grup wartawan yang diberi nama Medkom Bencana. Saking banyaknya wartawan yang dia jangka se-Indonesia, Sutopo pun membuat 5 grup serupa dengan Medkom Bencana.
Tak ayal, doa dari ribuan wartawan se-Indonesia yang terhimpun di sejumlah grup whatsapp mengiringi kepergiannya. Sejak kemarin hingga tadi malam grup-grup itu dibanjiri dengan kabar duka dan doa.
Kepala BNPB Letjen Doni Monardo mengakui, Sutopo adalah pekerja keras dan tak pernah mengeluh. Sutopo justru sering memberikan banyak informasi mengenai kebencanaan dari hasil potongan kliping berita yang dilakukannya sendiri. “Beliau selalu ingin belajar dan semangatnya untuk memberikan informasi kepada publik luar biasa,” kata Doni di rumah duka.
Doni pun menilai almarhum adalah Pahlawan Kemanusiaan yang membesarkan nama BNPB sejak dibentuk 2008 lalu. Sutopo juga telah mengharumkan nama Indonesia dalam sejumlah karyanya antara lain Bidang Inovasi Kebencanaan tentang Peta Bencana yang meraih penghargaan tertinggi dari PBB.
Jenazah Sutopo tadi malam telah tiba di Indonesia. Jenazah kemudian dibawa ke rumah duka di Perumahan Raffles Hill, Harjamukti, Cimanggis, Depok, Jawa Barat untuk disemayamkan. Usai subuh hari ini, jenazah diterbangkan ke Solo untuk kemudian dimakamkan di Boyolali, Jawa Tengah.
Rangking 1 dari SD hingga SMA
Kepergian Sutopo juga membuat keluarga, sanak saudara, teman, kerabat dan orang orang yang mengenal merasa kehilangan. Di tanah kelahirannya di Boyolali, anak pasangan Suharsono dan Sri Roosmandari itu dikenal sebagai sosok yang cerdas, dan bersahaja.
Semasa duduk di bangku SD hingga SMA, Sutopo dikenal sebagai anak yang sangat cerdas. Rangking satu selalu diduduki ketika bersekolah di SDN 1 Boyolali, SMPN 1 Boyolali dan SMAN 1 Boyolali. Bahkan ketika kuliah S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan S2 serta S3 di Institut Pertanian Bogor (IPB), nilai cumlaude selalu didapatkan ketika lulus. “Dari cerita orangtua dan istri saya, orangnya memang kutu buku,” kata Achmad Jadmiko, adik ipar Sutopo saat ditemui rumah duka di Jalan Jambu, Kampung Surodadi, RT 03/IX, Kelurahan Siswodipuran, Kecamatan Boyolali Kota, Kabupaten Boyolali, kemarin.
Anak pertama dari dua bersaudara itu semasa kecil hingga remaja memang jarang bermain keluar. Hari harinya selalu diisi dengan belajar untuk meraih ilmu sebanyak-banyaknya. Meski demikian, ketika remaja, dia giat menjadi aktivis Karang Taruna di kampung, dan pengurus OSIS.
Ayah Sutopo pernah menjadi kepala SD. Sedangkan ibunya, Sri Roosmandari sebagai pegawai di Pengadilan Negeri (PN) Boyolali. “Hobinya menyanyi dengan adiknya. Kadang juga usil ke adiknya, namun kalau sudah urusan pekerjaan, sikapnya profesional,” ujar Achmad.
Sejak muda, Sutopo memang orang yang penuh tanggung jawab dan perhatian terhadap orangtua. Sosoknya sangat idealis sebagaimana karakter orangtuanya. Meski sudah memiliki rumah sendiri di Jakarta, Sutopo pun tetap baik dengan para tetangga di tanah kelahirannya di Boyolali. “Kalau silaturahmi dengan tetangga, selalu jalan kaki, nggak pernah pakai motor,” kenangnya. Terakhir kali, Sutopo pulang ke Boyolali sekitar tiga bulan lalu. Saat itu, dia mampir ke rumah orangtuanya di sela sela perjalanan dinasnya ke Yogyakarta.
Rasa kehilangan dan kesedihan juga dirasakan oleh Kabid Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Boyolal, Kurniawan Fajar Prasetyo. Dia adalah teman sebangku Sutopo semasa SMP. “Dia orang yang cerdas, tak banyak canda, bergerak dinamis,” ungkap Kurniawan.
Rasa duka juga sangat dirasakan Sri Suwarti,78, guru almarhum semasa di SDN 1 Boyolali. “Anaknya memang cerdas, tidak nakal, dan lomba sekolah selalu diikutkan dan juara,” kata Suwarti. Sutopo dalam mengerjakan soal jarang sekali salah. Kalau salah satu saja, Sutopo nampak kecewa dan telinganya kelihatan memerah. Saat didekati dan ditanya yang salah apa, mata Sutopo terlihat mau menangis.
Muhammad Ivanka Rizaldy Nugroho, anak Sutopo mengaku kaget atas kematian ayahnya. “Kami sangat berduka karena selama kemarin berobat ke China banyak kemajuan. Pak Sutopo udah bisa jalan, bisa ngomong, bahkan kemarin pagi sempat video call sama saya,” kata Ivan di rumah duka.
Dia menceritakan, ayahya sempat mengalami penurunan karena flu. Ayahnya sempat diberi obat flu yang mengandung adrenalin sehingga tidak bisa tidur. Video call pada Sabtu pagi kemarin, kata dia, adalah yang terakhir kallinya. Karena pada Minggu dini hari keluarga mendapat kabar duka kepergian Sutopo. “Malam harinya, sekitar pukul 01.00 WIB ada kabar ayah sudah tiada,” ungkapnya.
Tepat di usia 50 tahun, Sutopo akhirnya meninggalkan dunia ini. Sesuai cuitannya di twitter 2 Oktober 2018 lalu, usianya memang benar tidak panjang. Namun, bantuan, kiprah dan pengabdiannya kepada bangsa selama ini membuktikan bahwa kebaikannya tak lagi bisa dihitung dengan angka-angka lagi. (R Ratna/Kiswondari/Dita Angga/ Ary Wibowo)
Penggalan kalimat di atas adalah kata-kata yang ditulis Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, melalui akun twitter-nya sembilan bulan silam. Di tengah perawatan akibat serangan kanker paru stadium 4B yang terus menggerogotinya, Sutopo berupaya tegar. Diagnosa kanker paru baru diketahui pada awal 2017.
Rasa sakit hebat yang dideritanya seolah tak dia rasakan. Sutopo terus bergerak dan tak mau berhenti bekerja. Dia menyampaikan informasi kebencanaan ke seluruh pelosok negeri ini hingga sering tak mengenal jam kerja. Informasinya yang cepat, akurat dan dikemas dengan bahasa-bahasa sederhana membuat data tentang kebencanaan begitu mudah dipahami. Di tangan Sutopo, BNPB pun kian dikenal dan menjadi rujukan utama masyarakat Indonesia.
Namun kehangatan dan kebersahajaan itu kini tinggal kenangan. Dini hari kemarin sekitar pukul 02.20 waktu Guangzhou atau 01.20 WIB, Sutopo meninggal dunia ketika tengah menjalani pengobatan di St Stamford Modern Cancer Hospital, Guangzhou, China.
Kepergiannya tak pelak membuat banyak orang merasa sangat kehilangan. Keramahan Sutopo yang menembus batas berbagai kalangan pun menyisakan kepedihan mendalam. Sebagai ungkapan rasa duka mendalam, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan mengunggah foto bersama Sutopo melalui media sosial instagram, dan twitter-nya. Pada unggahannya tersebut Presiden Jokowi menyampaikan duka cita atas meninggalnya lelaki kelahiran Boyolali, 7 Oktober 1969 itu. “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Turut berduka atas berpulangnya ke Rahmatullah, Bapak Sutopo Purwo Nugroho di Guangzhou, menjelang dini hari tadi,” demikian tulis Presiden Jokowi.
Menurut Jokowi, Sutopo adalah sosok yang hidupnya didedikasikan untuk orang banyak. “Sampai menjelang akhir hayatnya sebagai Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dia mengabarkan dengan cepat kejadian bencana alam gempa bumi, longsor, tsunami, atau kebakaran yang terjadi di pelosok negeri agar kita waspada dan tidak kebingungan,” tuturnya.
Jokowi pernah mengundang khusus Sutopo pada 5 Oktober 2018 lalu di Istana Kepresidenan Bogor. Sutopo pun mengaku bahwa salah satu impiannya adalah dapat bersalaman dengan Presiden Jokowi.
Dengan kalangan wartawan, Sutopo juga sangat dekat. Bahkan Sutopo dikenal sosok humas yang tak irit memberikan data. Pertanyaaan wartawan sebisa mungkin dia jawab langsung melalui sambungan telepon, SMS atau whatsapp. Bahkan dia selalu melayani wartawan yang belum pernah dia kenal sekalipun. Untuk memudahkan tugasnya sebagai Humas dan juga wartawan dalam mencari informasi kebencanaan, Sutopo membuat grup wartawan yang diberi nama Medkom Bencana. Saking banyaknya wartawan yang dia jangka se-Indonesia, Sutopo pun membuat 5 grup serupa dengan Medkom Bencana.
Tak ayal, doa dari ribuan wartawan se-Indonesia yang terhimpun di sejumlah grup whatsapp mengiringi kepergiannya. Sejak kemarin hingga tadi malam grup-grup itu dibanjiri dengan kabar duka dan doa.
Kepala BNPB Letjen Doni Monardo mengakui, Sutopo adalah pekerja keras dan tak pernah mengeluh. Sutopo justru sering memberikan banyak informasi mengenai kebencanaan dari hasil potongan kliping berita yang dilakukannya sendiri. “Beliau selalu ingin belajar dan semangatnya untuk memberikan informasi kepada publik luar biasa,” kata Doni di rumah duka.
Doni pun menilai almarhum adalah Pahlawan Kemanusiaan yang membesarkan nama BNPB sejak dibentuk 2008 lalu. Sutopo juga telah mengharumkan nama Indonesia dalam sejumlah karyanya antara lain Bidang Inovasi Kebencanaan tentang Peta Bencana yang meraih penghargaan tertinggi dari PBB.
Jenazah Sutopo tadi malam telah tiba di Indonesia. Jenazah kemudian dibawa ke rumah duka di Perumahan Raffles Hill, Harjamukti, Cimanggis, Depok, Jawa Barat untuk disemayamkan. Usai subuh hari ini, jenazah diterbangkan ke Solo untuk kemudian dimakamkan di Boyolali, Jawa Tengah.
Rangking 1 dari SD hingga SMA
Kepergian Sutopo juga membuat keluarga, sanak saudara, teman, kerabat dan orang orang yang mengenal merasa kehilangan. Di tanah kelahirannya di Boyolali, anak pasangan Suharsono dan Sri Roosmandari itu dikenal sebagai sosok yang cerdas, dan bersahaja.
Semasa duduk di bangku SD hingga SMA, Sutopo dikenal sebagai anak yang sangat cerdas. Rangking satu selalu diduduki ketika bersekolah di SDN 1 Boyolali, SMPN 1 Boyolali dan SMAN 1 Boyolali. Bahkan ketika kuliah S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan S2 serta S3 di Institut Pertanian Bogor (IPB), nilai cumlaude selalu didapatkan ketika lulus. “Dari cerita orangtua dan istri saya, orangnya memang kutu buku,” kata Achmad Jadmiko, adik ipar Sutopo saat ditemui rumah duka di Jalan Jambu, Kampung Surodadi, RT 03/IX, Kelurahan Siswodipuran, Kecamatan Boyolali Kota, Kabupaten Boyolali, kemarin.
Anak pertama dari dua bersaudara itu semasa kecil hingga remaja memang jarang bermain keluar. Hari harinya selalu diisi dengan belajar untuk meraih ilmu sebanyak-banyaknya. Meski demikian, ketika remaja, dia giat menjadi aktivis Karang Taruna di kampung, dan pengurus OSIS.
Ayah Sutopo pernah menjadi kepala SD. Sedangkan ibunya, Sri Roosmandari sebagai pegawai di Pengadilan Negeri (PN) Boyolali. “Hobinya menyanyi dengan adiknya. Kadang juga usil ke adiknya, namun kalau sudah urusan pekerjaan, sikapnya profesional,” ujar Achmad.
Sejak muda, Sutopo memang orang yang penuh tanggung jawab dan perhatian terhadap orangtua. Sosoknya sangat idealis sebagaimana karakter orangtuanya. Meski sudah memiliki rumah sendiri di Jakarta, Sutopo pun tetap baik dengan para tetangga di tanah kelahirannya di Boyolali. “Kalau silaturahmi dengan tetangga, selalu jalan kaki, nggak pernah pakai motor,” kenangnya. Terakhir kali, Sutopo pulang ke Boyolali sekitar tiga bulan lalu. Saat itu, dia mampir ke rumah orangtuanya di sela sela perjalanan dinasnya ke Yogyakarta.
Rasa kehilangan dan kesedihan juga dirasakan oleh Kabid Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Boyolal, Kurniawan Fajar Prasetyo. Dia adalah teman sebangku Sutopo semasa SMP. “Dia orang yang cerdas, tak banyak canda, bergerak dinamis,” ungkap Kurniawan.
Rasa duka juga sangat dirasakan Sri Suwarti,78, guru almarhum semasa di SDN 1 Boyolali. “Anaknya memang cerdas, tidak nakal, dan lomba sekolah selalu diikutkan dan juara,” kata Suwarti. Sutopo dalam mengerjakan soal jarang sekali salah. Kalau salah satu saja, Sutopo nampak kecewa dan telinganya kelihatan memerah. Saat didekati dan ditanya yang salah apa, mata Sutopo terlihat mau menangis.
Muhammad Ivanka Rizaldy Nugroho, anak Sutopo mengaku kaget atas kematian ayahnya. “Kami sangat berduka karena selama kemarin berobat ke China banyak kemajuan. Pak Sutopo udah bisa jalan, bisa ngomong, bahkan kemarin pagi sempat video call sama saya,” kata Ivan di rumah duka.
Dia menceritakan, ayahya sempat mengalami penurunan karena flu. Ayahnya sempat diberi obat flu yang mengandung adrenalin sehingga tidak bisa tidur. Video call pada Sabtu pagi kemarin, kata dia, adalah yang terakhir kallinya. Karena pada Minggu dini hari keluarga mendapat kabar duka kepergian Sutopo. “Malam harinya, sekitar pukul 01.00 WIB ada kabar ayah sudah tiada,” ungkapnya.
Tepat di usia 50 tahun, Sutopo akhirnya meninggalkan dunia ini. Sesuai cuitannya di twitter 2 Oktober 2018 lalu, usianya memang benar tidak panjang. Namun, bantuan, kiprah dan pengabdiannya kepada bangsa selama ini membuktikan bahwa kebaikannya tak lagi bisa dihitung dengan angka-angka lagi. (R Ratna/Kiswondari/Dita Angga/ Ary Wibowo)
(nfl)