Pembentukan Kabinet Indonesia Kerja Jilid II Jadi Ujian Terberat Jokowi
A
A
A
JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Kelompok Diskusi Kajian Opini Publik (KedaiKOPI) berpandangan bahwa setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK), ujian terberat bagi calon presiden (Capres) terpilih Joko Widodo (Jokowi) adalah pembentukan Kabinet Indonesia Kerja (KIK) jilid ke-2. Pasalnya, di akhir periode ini Jokowi ingin meninggalkan legacy namun terlalu banyak negosiasi dan kompromi.
“Ujian terbesar dari pemerintahan jokowi pasca putusan MK adalah pembentukan kabinet karena apa? Pak Jokowi mengatakan saya sekarang tidak punya beban, di mana-mana periode kedua tantangannya adalah legacy apa yang ditinggalkan di akhir kepemimpinan, ini sama dengan Pak SBY,” ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dalam Polemik Trijaya FM yang bertajuk “Endgame: Peta Politik Pasca Putusan MK” di d’Consulate Resto Menteng, Jakarta, Sabtu (29/6/2019).
Kemudian, lanjut Titi, tantangan lainnya adalah kepercayaan publik. Meskipun, Jokowi relatif tidak memiliki beban seperti janji politik, merangkul semua kelompok, tata kelola pemerintahan yang inklusif dan antikorupsi dan sebagainya.
Soal tambahan koalisi, menurutnya yang paling penting adalah komunikasi dengan parpol dalam koalisi dan yang seharusnya mendapatkan insentif adalah parpol koalisi yang telah mendukung sejak awal apalagi ada efek elektoral yang menimpa sejumlah parpol pendukung Jokowi.
“Ada disinsentif elektoral, PPP kehilangan 20 kursi dari Pemilu 2019, sekarang hanya 19, yang begini harus dikasih insentif. Hanura terlempar keluar. Golkar juga kurangnya banyak. Jadi bagaimana dia (Jokowi) harus menjawab ada fenomena internal koalisi yang mendapatkan disinsentif tapi tidak terlalu vulgar,” sarannya.
Senada, Direktur Eksekutif KedaKOPI, Hendri Satrio mengakui bahwa jika Jokowi hendak mengakomodasi parpol dalam Kubu 02 ke dalam koalisi pemerintah maka Jokowi harus bisa mengharmonisasikan parpol yang memang sudah ada dalam barisan 01 dan juga 02 karena ada banyak parpol di dalamnya. Jokowi juga harus selektif dalam memilih parpol yang akan masuk dalam koalisi.
“Apakah koalisi 01 akan bubar karena terjadi gesekan-gesekan, biasanya 2 tahun terakhir sudah kelihatan, apakah bibit-bibit itu bisa dibaca? Saya rasa bisa. Biasanya, partai yang amunisinya kecil tapi omongnya besar,” kata Hendri dalam kesempatan sama.
Kemudian, lanjut Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina itu menyampaikan bahwa ada keinginan Jokowi untuk meninggalkan legacy dan apakah berbagai infrastruktur yang sudah dibangun selama ini cukup. Belum lagi kelompok Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan pengusung utama Ma’ruf Amin, tentu harus dilayani.
“Dia (Jokowi) paham betul bahwa jalan menuju presiden periode kedua penuh dengan negosiasi dan kompromi,” tandasnya.
“Ujian terbesar dari pemerintahan jokowi pasca putusan MK adalah pembentukan kabinet karena apa? Pak Jokowi mengatakan saya sekarang tidak punya beban, di mana-mana periode kedua tantangannya adalah legacy apa yang ditinggalkan di akhir kepemimpinan, ini sama dengan Pak SBY,” ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dalam Polemik Trijaya FM yang bertajuk “Endgame: Peta Politik Pasca Putusan MK” di d’Consulate Resto Menteng, Jakarta, Sabtu (29/6/2019).
Kemudian, lanjut Titi, tantangan lainnya adalah kepercayaan publik. Meskipun, Jokowi relatif tidak memiliki beban seperti janji politik, merangkul semua kelompok, tata kelola pemerintahan yang inklusif dan antikorupsi dan sebagainya.
Soal tambahan koalisi, menurutnya yang paling penting adalah komunikasi dengan parpol dalam koalisi dan yang seharusnya mendapatkan insentif adalah parpol koalisi yang telah mendukung sejak awal apalagi ada efek elektoral yang menimpa sejumlah parpol pendukung Jokowi.
“Ada disinsentif elektoral, PPP kehilangan 20 kursi dari Pemilu 2019, sekarang hanya 19, yang begini harus dikasih insentif. Hanura terlempar keluar. Golkar juga kurangnya banyak. Jadi bagaimana dia (Jokowi) harus menjawab ada fenomena internal koalisi yang mendapatkan disinsentif tapi tidak terlalu vulgar,” sarannya.
Senada, Direktur Eksekutif KedaKOPI, Hendri Satrio mengakui bahwa jika Jokowi hendak mengakomodasi parpol dalam Kubu 02 ke dalam koalisi pemerintah maka Jokowi harus bisa mengharmonisasikan parpol yang memang sudah ada dalam barisan 01 dan juga 02 karena ada banyak parpol di dalamnya. Jokowi juga harus selektif dalam memilih parpol yang akan masuk dalam koalisi.
“Apakah koalisi 01 akan bubar karena terjadi gesekan-gesekan, biasanya 2 tahun terakhir sudah kelihatan, apakah bibit-bibit itu bisa dibaca? Saya rasa bisa. Biasanya, partai yang amunisinya kecil tapi omongnya besar,” kata Hendri dalam kesempatan sama.
Kemudian, lanjut Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina itu menyampaikan bahwa ada keinginan Jokowi untuk meninggalkan legacy dan apakah berbagai infrastruktur yang sudah dibangun selama ini cukup. Belum lagi kelompok Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan pengusung utama Ma’ruf Amin, tentu harus dilayani.
“Dia (Jokowi) paham betul bahwa jalan menuju presiden periode kedua penuh dengan negosiasi dan kompromi,” tandasnya.
(kri)