Jaksa Dakwa Sofyan Basir Fasilitasi Suap Terkait Proyek PLTU Riau-1
A
A
A
JAKARTA - Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif Sofyan Basir terancam pidana penjara minimal selama empat tahun berdasarkan pasal-pasal yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perbuatan pidana, proses pertemuan, hingga pasal-pasal yang didakwakan tercantum dalam surat dakwaan Nomor: 66/ TUT.01.04/24/06/2019 atas nama Sofyan Basir.
Dakwaan dibacakan secara bergantian oleh JPU pada KPK yang dipimpin Lie Putra Setiawan dan Ronald Ferdinand Worotikan dengan anggota Nanang Suryadi, Nurul Widiasih, dan Budhi Sarumpaet di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (24/6/2019).
Dalam dakwaan pertama, JPU menegaskan perbuatan Sofyan Basir merupakan tindak pidana korupsi (tipikor) sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 56 ke-2 KUHP. Pada dakwaan kedua, JPU menggunakan Pasal 11 jo Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
Pasal 12 huruf a tersebut berbunyi, "Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya".
Sedangkan Pasal 15 berbunyi, "Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14."
Ketua JPU Lie Putra Setiawan mengatakan, Sofyan Basir selaku Direktur Utama PT PLN (Persero) telah melakukan perbuatan pidana kurun 2016 hingga 2018 di sejumlah tempat di antaranya Kantor Pusat PT PLN (Persero), rumah pribadi Sofyan, rumah pribadi Setya Novanto selaku Ketua Fraksi dan Ketua DPR saat itu, Restoran Arcadia di Jalan New Delhi Nomor 9, Gelora Bung Karno, Tanah Abang, Jakarta Pusat hingga Lounge BRI Prioritas, Jalan Jenderal Sudirman Kavling 44-46, Jakarta Pusat.
Lie mengatakan, Sofyan dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan, yakni dengan memfasilitasi pertemuan antara terpidana pemberi suap Rp4,75 miliar pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (divonis 4 tahun 6 bulan penjara), terpidana penerima suap Rp4,75 miliar Eni Maulani Saragih (divonis 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar dan mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar sekaligus mantan plt Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Menteri Sosial era Kabinet Kerja kurun 17 Januari-24 Agustus 2018 Idrus Marham (divonis 3 tahun, saat ini sedang tahap banding) dengan jajaran Direksi PT PLN (Persero).
Perbantuan pidana yang dilakukan Sofyan guna mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) yang tenar dengan nama proyek IPP PLTU Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan BlackGold Natural Resources (BNR) Limited dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC, Ltd) yang dibawa oleh Kotjo.
Bahkan Sofyan juga memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penunjukan langsung perusahaan yang dibawa Kotjo mendapatkan proyek IPP PLTU Riau-1.
"Padahal Terdakwa mengetahui Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Johanes Budisutrisno Kotjo, sehingga Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp4,75 miliar dari Johanes Budisutrisno Kotjo," tegas JPU Lie saat membacakan surat dakwaan atas nama Sofyan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam sidang yang sama, Sofyan bersama tim penasihat hukumnya yang dipimpin Soesilo Aribowo menyatakan langsung mengajukan nota keberatan (eksepsi). Eksepsi langsung dibacakan Soesilo.
Soesilo Aribowo menyatakan, secara umum pihaknya menerima surat dakwaan JPU terhadap Sofyan Basir harus dinyatakan batal demi hukum. Ada delapan alasan yang dikemukakan Soesilo. Pertama, penerapan Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor yang dihubungkan dengan Pasal 56 ke-2 KUHP adalah berlebihan sehingga membuat surat dakwaan kabur (obscuur libel). Kedua, penerapan Pasal 56 ke-2 KUHP adalah keliru karena tindak pidana korupsi telah terjadi (voltooid) sebelum dugaan kejahatan pembantuan dituduhkan kepada terdakwa Sofyan.
Ketiga, konstruksi surat dakwaan tidak cermat terkait dengan kualitas terdakwa yang diduga telah memfasilitasi untuk mempercepat proses kesepakatan Proyek IPP PLTU Riau-1 atau memfasilitasi pertemuan-pertemuan. Keempat, surat dakwaan tidak menguraikan unsur kesengajaan (unsur subyektif) dan unsur obyektif (memberi bantuan) sebagai prasyarat Pasal 56 ke-2 KUHP dan sikap batin pelaku (niat jahat) sebagai prasyarat pertanggungjawaban pidana.
Kelima, surat dakwaan tidak jelas terkait dengan pihak-pihak yang diduga telah melakukan tindak pidana suap dalam kedudukannya sebagai peserta tindak pidana. Keenam, terdapat kekaburan di dalam surat dakwaan terkait dengan kuantitas/jumlah pertemuan-pertemuan terdakwa dengan pihak lain diduga sebagai membantu kejahatan guna mempercepat proses kesepakatan Proyek IPP PLTU Riau-1 atau memfasilitasi pertemuan pihak-pihak yang terkait dengan kejahatan.
Ketujuh, JPU telah menerapkan pasal yang berbeda di dalam penyidikan dan penuntutan sehingga surat dakwaan melanggar KUHAP dan UU sehingga menjadi tidak cermat dan kabur. Terakhir, surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas atau tidak lengkap terkait dengan perbuatan kejahatan pembantuan yaitu 'mempercepat proses kesepakatan' atau 'memuluskan perusahaan' yang tidak ada kepastian hukumnya.
Perbuatan pidana, proses pertemuan, hingga pasal-pasal yang didakwakan tercantum dalam surat dakwaan Nomor: 66/ TUT.01.04/24/06/2019 atas nama Sofyan Basir.
Dakwaan dibacakan secara bergantian oleh JPU pada KPK yang dipimpin Lie Putra Setiawan dan Ronald Ferdinand Worotikan dengan anggota Nanang Suryadi, Nurul Widiasih, dan Budhi Sarumpaet di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (24/6/2019).
Dalam dakwaan pertama, JPU menegaskan perbuatan Sofyan Basir merupakan tindak pidana korupsi (tipikor) sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 56 ke-2 KUHP. Pada dakwaan kedua, JPU menggunakan Pasal 11 jo Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
Pasal 12 huruf a tersebut berbunyi, "Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya".
Sedangkan Pasal 15 berbunyi, "Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14."
Ketua JPU Lie Putra Setiawan mengatakan, Sofyan Basir selaku Direktur Utama PT PLN (Persero) telah melakukan perbuatan pidana kurun 2016 hingga 2018 di sejumlah tempat di antaranya Kantor Pusat PT PLN (Persero), rumah pribadi Sofyan, rumah pribadi Setya Novanto selaku Ketua Fraksi dan Ketua DPR saat itu, Restoran Arcadia di Jalan New Delhi Nomor 9, Gelora Bung Karno, Tanah Abang, Jakarta Pusat hingga Lounge BRI Prioritas, Jalan Jenderal Sudirman Kavling 44-46, Jakarta Pusat.
Lie mengatakan, Sofyan dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan, yakni dengan memfasilitasi pertemuan antara terpidana pemberi suap Rp4,75 miliar pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (divonis 4 tahun 6 bulan penjara), terpidana penerima suap Rp4,75 miliar Eni Maulani Saragih (divonis 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar dan mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar sekaligus mantan plt Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Menteri Sosial era Kabinet Kerja kurun 17 Januari-24 Agustus 2018 Idrus Marham (divonis 3 tahun, saat ini sedang tahap banding) dengan jajaran Direksi PT PLN (Persero).
Perbantuan pidana yang dilakukan Sofyan guna mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) yang tenar dengan nama proyek IPP PLTU Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan BlackGold Natural Resources (BNR) Limited dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC, Ltd) yang dibawa oleh Kotjo.
Bahkan Sofyan juga memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penunjukan langsung perusahaan yang dibawa Kotjo mendapatkan proyek IPP PLTU Riau-1.
"Padahal Terdakwa mengetahui Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Johanes Budisutrisno Kotjo, sehingga Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp4,75 miliar dari Johanes Budisutrisno Kotjo," tegas JPU Lie saat membacakan surat dakwaan atas nama Sofyan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam sidang yang sama, Sofyan bersama tim penasihat hukumnya yang dipimpin Soesilo Aribowo menyatakan langsung mengajukan nota keberatan (eksepsi). Eksepsi langsung dibacakan Soesilo.
Soesilo Aribowo menyatakan, secara umum pihaknya menerima surat dakwaan JPU terhadap Sofyan Basir harus dinyatakan batal demi hukum. Ada delapan alasan yang dikemukakan Soesilo. Pertama, penerapan Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor yang dihubungkan dengan Pasal 56 ke-2 KUHP adalah berlebihan sehingga membuat surat dakwaan kabur (obscuur libel). Kedua, penerapan Pasal 56 ke-2 KUHP adalah keliru karena tindak pidana korupsi telah terjadi (voltooid) sebelum dugaan kejahatan pembantuan dituduhkan kepada terdakwa Sofyan.
Ketiga, konstruksi surat dakwaan tidak cermat terkait dengan kualitas terdakwa yang diduga telah memfasilitasi untuk mempercepat proses kesepakatan Proyek IPP PLTU Riau-1 atau memfasilitasi pertemuan-pertemuan. Keempat, surat dakwaan tidak menguraikan unsur kesengajaan (unsur subyektif) dan unsur obyektif (memberi bantuan) sebagai prasyarat Pasal 56 ke-2 KUHP dan sikap batin pelaku (niat jahat) sebagai prasyarat pertanggungjawaban pidana.
Kelima, surat dakwaan tidak jelas terkait dengan pihak-pihak yang diduga telah melakukan tindak pidana suap dalam kedudukannya sebagai peserta tindak pidana. Keenam, terdapat kekaburan di dalam surat dakwaan terkait dengan kuantitas/jumlah pertemuan-pertemuan terdakwa dengan pihak lain diduga sebagai membantu kejahatan guna mempercepat proses kesepakatan Proyek IPP PLTU Riau-1 atau memfasilitasi pertemuan pihak-pihak yang terkait dengan kejahatan.
Ketujuh, JPU telah menerapkan pasal yang berbeda di dalam penyidikan dan penuntutan sehingga surat dakwaan melanggar KUHAP dan UU sehingga menjadi tidak cermat dan kabur. Terakhir, surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas atau tidak lengkap terkait dengan perbuatan kejahatan pembantuan yaitu 'mempercepat proses kesepakatan' atau 'memuluskan perusahaan' yang tidak ada kepastian hukumnya.
(dam)