Palestina di Asia Tenggara, ACT Konsisten Bantu Jutaan Warga Rohingya
A
A
A
COX’S BAZAR - ‘Palestina di Asia Tenggara’, istilah tersebut pernah ditulis tahun 1992 oleh salah satu media ternama Indonesia, Tempo. Ketidakjelasan nasib etnis keturunan Bengali itu memang telah menjadi perhatian dunia sejak lama.
Berdasarkan data PBB dan Pemerintah Bangladesh per Juni 2019, lebih dari 200 ribu rumah tangga atau hampir setara dengan satu juta jiwa Rohingya terdaftar menjadi pengungsi. Jumlah tersebut kian bertambah ketika dibandingkan dengan jumlah orang Rohingya yang bereksodus dari Rakhine ke Bangladesh dua tahun lalu.
Sebagai respons terhadap kondisi yang ada, Aksi Cepat Tanggap (ACT) hingga kini terus membantu melalui program-program reguler untuk masyarakat Rohingya. Hal ini dilakukan karena kondisi masyarakat Rohingya sama sekali tidak membaik, justru tertindas dan terancam penghapusan etnis, serta tidak mendapat hak-hak warga negara seperti etnis-etnis lain di Myanmar.
“Kami orang-orang Rohingya tinggal di kamp pengungsian. Sungguh, sangat sulit hidup sebagai kami dan kami tidak tahan lagi dengan situasi seperti ini. Ada begitu banyak etnis yang hidup selayaknya manusia di Myanmar, mengapa Rohingya tidak bisa seperti itu?” ujar Kadera Mia kepada TRT World sebagaimana dirilis, Kamis (20/6/2019).
Kadera Mia adalah pria paruh baya yang menjadi salah satu dari ratusan ribu pengungsi yang ada. Ia beserta delapan anaknya pergi mencari tempat yang lebih aman ke Bangladesh.
“Saya sungguh tidak ingin datang ke sini (Kamp pengungsian Kutupalong). Saya meninggalkan rumah dan lima bulan pertama terpaksa tinggal di rumah kerabat,” ungkap Mia.
Selama ini Mia dan anak-anaknya tinggal di bilik bambu beratap jerami. “Kekerasan dan kekejaman yang terjadi tanpa henti memaksa kami pindah ke sini satu setengah tahun lalu. Banyak yang telah kami korbankan,” jelasnya.
Pada masa pelarian itu ia pun terpisah dengan istrinya yang, menurutnya besar kemungkinannya telah dibunuh oleh militer Myanmar. Untuk mencari tempat aman, mereka rela menembus Pegunungan Buthidaung dan menyusuri Sungai Naf, menuju sebuah wilayah di bagian paling selatan negara Bangladesh: Cox's Bazar, tempat yang mereka anggap lebih aman dari Arakan.
Selasa lalu, sebuah kapal yang mengangkut 65 muslim Rohingya dikabarkan terdampar dalam kondisi nyaris karam di Perairan Thailand Selatan. Sebanyak 29 laki-laki dan 31 perempuan berkebangsaan Myanmar ditemukan di Pulau Rawi, Provinsi Satun, Thailand.
Berdasarkan pengakuan salah seorang muslim Rohingya, mereka sudah menumpangi kapal tersebut selama beberapa bulan terakhir untuk mencapai Malaysia. Kejadian serupa memanggil kembali ingatan masyarakat Indonesia tentang tragedi 20 April 2018 lalu.
Kala itu, kapal yang ditumpangi muslim Rohingya juga pernah terdampar di kawasan Kuala Raja, Bireuen, Aceh. Selama lebih kurang satu pekan sebanyak 79 muslim Rohingya terombang-ambing di tengah lautan, nasib mereka sama tidak menentunya seperti hidup mereka di Myanmar maupun di negara tujuan berikutnya.
Berdasarkan data PBB dan Pemerintah Bangladesh per Juni 2019, lebih dari 200 ribu rumah tangga atau hampir setara dengan satu juta jiwa Rohingya terdaftar menjadi pengungsi. Jumlah tersebut kian bertambah ketika dibandingkan dengan jumlah orang Rohingya yang bereksodus dari Rakhine ke Bangladesh dua tahun lalu.
Sebagai respons terhadap kondisi yang ada, Aksi Cepat Tanggap (ACT) hingga kini terus membantu melalui program-program reguler untuk masyarakat Rohingya. Hal ini dilakukan karena kondisi masyarakat Rohingya sama sekali tidak membaik, justru tertindas dan terancam penghapusan etnis, serta tidak mendapat hak-hak warga negara seperti etnis-etnis lain di Myanmar.
“Kami orang-orang Rohingya tinggal di kamp pengungsian. Sungguh, sangat sulit hidup sebagai kami dan kami tidak tahan lagi dengan situasi seperti ini. Ada begitu banyak etnis yang hidup selayaknya manusia di Myanmar, mengapa Rohingya tidak bisa seperti itu?” ujar Kadera Mia kepada TRT World sebagaimana dirilis, Kamis (20/6/2019).
Kadera Mia adalah pria paruh baya yang menjadi salah satu dari ratusan ribu pengungsi yang ada. Ia beserta delapan anaknya pergi mencari tempat yang lebih aman ke Bangladesh.
“Saya sungguh tidak ingin datang ke sini (Kamp pengungsian Kutupalong). Saya meninggalkan rumah dan lima bulan pertama terpaksa tinggal di rumah kerabat,” ungkap Mia.
Selama ini Mia dan anak-anaknya tinggal di bilik bambu beratap jerami. “Kekerasan dan kekejaman yang terjadi tanpa henti memaksa kami pindah ke sini satu setengah tahun lalu. Banyak yang telah kami korbankan,” jelasnya.
Pada masa pelarian itu ia pun terpisah dengan istrinya yang, menurutnya besar kemungkinannya telah dibunuh oleh militer Myanmar. Untuk mencari tempat aman, mereka rela menembus Pegunungan Buthidaung dan menyusuri Sungai Naf, menuju sebuah wilayah di bagian paling selatan negara Bangladesh: Cox's Bazar, tempat yang mereka anggap lebih aman dari Arakan.
Selasa lalu, sebuah kapal yang mengangkut 65 muslim Rohingya dikabarkan terdampar dalam kondisi nyaris karam di Perairan Thailand Selatan. Sebanyak 29 laki-laki dan 31 perempuan berkebangsaan Myanmar ditemukan di Pulau Rawi, Provinsi Satun, Thailand.
Berdasarkan pengakuan salah seorang muslim Rohingya, mereka sudah menumpangi kapal tersebut selama beberapa bulan terakhir untuk mencapai Malaysia. Kejadian serupa memanggil kembali ingatan masyarakat Indonesia tentang tragedi 20 April 2018 lalu.
Kala itu, kapal yang ditumpangi muslim Rohingya juga pernah terdampar di kawasan Kuala Raja, Bireuen, Aceh. Selama lebih kurang satu pekan sebanyak 79 muslim Rohingya terombang-ambing di tengah lautan, nasib mereka sama tidak menentunya seperti hidup mereka di Myanmar maupun di negara tujuan berikutnya.
(kri)