Menteri LHK Paparkan Kebijakan Alokasi Hutan untuk Rakyat di APFW 2019
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah terkait penundaan pemberian izin baru atau moratorium untuk pengelolaan hutan alam dan lahan gambut, mendapat perhatian dan apresiasi dari para peserta Asia Pacific Forestry Week (APFW) 2019 di Incheon, Korea Selatan, Selasa (18/6/2019).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar mengungkapkan hal itu usai menyampaikan paparannya sebagai salah satu panelis pada sesi diskusi interaktif bertajuk Forest for Peace and Well-Being: Towards a Brighter Future.
Menteri Siti menyatakan bahwa kebijakan moratorium dapat dilaksanakan dalam jangka waktu lama dan sampai diperpanjang beberapa kali, bBahkan ada wacana untuk menjadikannya permanen. Sebab, kebijakan tersebut efektif sebagai pintu masuk untuk menata kembali pengelolaan hutan dan kehutanan Indonesia, termasuk dalam pengelolaan konflik, pencegahan kebakaran hutan, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Pada kesempatan tersebut moderator dan panelis lainnya, serta beberapa peserta ikut menyatakan bahwa kebijakan moratorium, di samping memiliki dampak nasional dan lokal, juga memberikan dampak global.
"Kebijakan moratorium merupakan salah satu bagian dari pendekatan lanskap dalam pengelolaan hutan Indonesia yang menempatkan interaksi antara ekosistem dan manusia sebagai sebuah kesatuan yang penting," ujar Menteri Siti.
Menurutnya, pendekatan lanskap sangat sesuai dengan kebijakan perhutanan sosial untuk mendukung fungsi hutan sebagai medium mencapai perdamaian dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana tema acara.
Peace atau perdamaian, dalam pemahaman dan konsep pengelolaan hutan Indonesia adalah bagaimana mengatur dan mencegah konflik lahan (tenurial conflicts) dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Sementara well-being, kesejahteraan, terkait dengan bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ramah lingkungan.
Dalam mengatasi kedua hal tersebut, Pemerintah Indonesia melaksanakan kebijakan yang didasarkan pada 3 pilar yaitu akses pada lahan; fasilitasi; dan peningkatan kapasitas.
"Hingga 2014, data menunjukkan bahwa alokasi untuk perusahaan swasta yang memiliki konsesi adalah 98,53%, hanya 1,35% untuk masyarakat. Dari 2015-2019 angkanya berubah secara signifikan, di mana masyarakat dialokasikan lebih dari 13,8% (5,8 juta hektare) melalui reformasi agraria dari lahan hutan (2,4 juta hektare) dan kehutanan sosial (3,4 juta hektare)," ujar Menteri Siti.
Rencana pemerintah, reformasi agraria akan mencakup 4,1 juta ha dan kehutanan sosial akan mencakup 12,7 juta hektare. Data hingga Mei 2019 menunjukkan bahwa ada 472.000 hutan adat dan akan mencapai 6,3 juta hektare.
Kehadiran Menteri Siti dalam APFC/APFW menunjukkan bahwa Indonesia sangat tegas dalam menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya hutan agar dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar mengungkapkan hal itu usai menyampaikan paparannya sebagai salah satu panelis pada sesi diskusi interaktif bertajuk Forest for Peace and Well-Being: Towards a Brighter Future.
Menteri Siti menyatakan bahwa kebijakan moratorium dapat dilaksanakan dalam jangka waktu lama dan sampai diperpanjang beberapa kali, bBahkan ada wacana untuk menjadikannya permanen. Sebab, kebijakan tersebut efektif sebagai pintu masuk untuk menata kembali pengelolaan hutan dan kehutanan Indonesia, termasuk dalam pengelolaan konflik, pencegahan kebakaran hutan, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Pada kesempatan tersebut moderator dan panelis lainnya, serta beberapa peserta ikut menyatakan bahwa kebijakan moratorium, di samping memiliki dampak nasional dan lokal, juga memberikan dampak global.
"Kebijakan moratorium merupakan salah satu bagian dari pendekatan lanskap dalam pengelolaan hutan Indonesia yang menempatkan interaksi antara ekosistem dan manusia sebagai sebuah kesatuan yang penting," ujar Menteri Siti.
Menurutnya, pendekatan lanskap sangat sesuai dengan kebijakan perhutanan sosial untuk mendukung fungsi hutan sebagai medium mencapai perdamaian dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana tema acara.
Peace atau perdamaian, dalam pemahaman dan konsep pengelolaan hutan Indonesia adalah bagaimana mengatur dan mencegah konflik lahan (tenurial conflicts) dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Sementara well-being, kesejahteraan, terkait dengan bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ramah lingkungan.
Dalam mengatasi kedua hal tersebut, Pemerintah Indonesia melaksanakan kebijakan yang didasarkan pada 3 pilar yaitu akses pada lahan; fasilitasi; dan peningkatan kapasitas.
"Hingga 2014, data menunjukkan bahwa alokasi untuk perusahaan swasta yang memiliki konsesi adalah 98,53%, hanya 1,35% untuk masyarakat. Dari 2015-2019 angkanya berubah secara signifikan, di mana masyarakat dialokasikan lebih dari 13,8% (5,8 juta hektare) melalui reformasi agraria dari lahan hutan (2,4 juta hektare) dan kehutanan sosial (3,4 juta hektare)," ujar Menteri Siti.
Rencana pemerintah, reformasi agraria akan mencakup 4,1 juta ha dan kehutanan sosial akan mencakup 12,7 juta hektare. Data hingga Mei 2019 menunjukkan bahwa ada 472.000 hutan adat dan akan mencapai 6,3 juta hektare.
Kehadiran Menteri Siti dalam APFC/APFW menunjukkan bahwa Indonesia sangat tegas dalam menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya hutan agar dapat meningkatkan kesejahteraannya.
(amm)