Pemilu Amerika dan Islamophobia
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
RASANYA sudah agak lama saya tidak menulis mengenai isu politik, khususnya politik Amerika. Hanya saja kunjungan saya ke New Zealand sebelum Ramadhan lalu menjadikan saya merasa terpanggil untuk kembali mengingatkan kita tentang isu yang pastinya akan menghangat memasuki tahun politik ini.
Hampir sama di mana saja di dunia ini. Isu agama menjadi salah satu isu hangat ketika sebuah negara itu memasuki musim politiknya. Tidak mengenal negara maju atau negara berkembang, bahkan negara yang sangat terbelakang sekalipun. Agama selalu menjadi pembahasan seksi di kalangan para politisi.
Amerika bukan pengecualian. Agama, dalam hal ini Islam dan Muslim serta segala yang terkait dengannya bahkan tidak jarang menjadi isu hangat dalam perdebatan-perdebatan politik.
Istilah-istilah agama (Islam) yang selama ini dikembangkan sedemikian rupa menyeramkan itu kembali menjadi obralan politik murahan. Kata jihad dan Syariah misalnya begitu populer di mulut-mulut para politisi.
Bahkan istilah-istilah sama sekali tidak dikenal dalam diskursus keilmuan Islam dipopulerkan sedemikian rupa untuk menjadi jualan politik tanpa malu. Kata jihadis dan Islamis misalnya yang tidak pernah kita temukan dalam kamus Islam, tiba-tiba menjadi sebuah kata yang seolah sangat populer dan baku pasca 9/11.
Yang lebih mengagumkan lagi, mayoritas jika tidak semuanya, para politisi itu memiliki keilmuan yang minim bahkan “zero” tentang Islam. Mereka tidak pernah mempelajari Islam dari sumber-sumber sahih (autentik). Umumnya mereka mengenal Islam dari media-media massa yang dari sononya memang bias terhadap agama ini.
Sikap politik terhadap Islam seperti ini dengan sendirinya menjadi salah satu penyulut terdahsyat bagi meningginya Islamophobia di negara ini. Masyarakat umum, khususnya mereka yang menjadi pendukung fanatis kandidat tertentu akan tersulut rasa takutnya dan terbakar sumbuh amarahnya kepada agama ini dan pemeluknya.
Itulah sebuah realita yang dihadapi oleh komunitas Muslim di negara-negara mayoritas non-Muslim seperti Amerika. Walaupun seringkali sikap itu justru menampilkan “kelucuan dan kedunguan” sekaligus.
Ambil satu contoh lucu. Bagi umat Islam, salat Jumat merupakan salah satu praktik syariah (hukum agama) yang mendasar. Berislam tanpa Jumatan berarti sebuah pelanggaran besar terhadap hukum agama.
Sekitar akhir 90-an, komunitas Muslim yang menjadi bagian dari Capitol Hill atau gedung Kongres Amerika meminta ruangan khusus untuk mereka melaksanakan slat Jumat. Umumnya adalah staf atau pegawai yang bekerja di gedung itu.
Kebetulan Speaker (Ketua Kongress) ketika itu adalah Newt Gingrich. Dialah yang memberikan izin kepada komunitas Muslim untuk melaksanakan salat Jumat di gedung Capitol Hill.
Lucunya, beberapa tahun setelah Gingrich memberikan izin Jumatan di Capitol Hill, mantan Speaker itu ikut mencalonkan diri untuk menjadi presiden Amerika dari Partai Republik. Di saat itulah ia dengan segala daya menyerang Islam dan syariah.
Sang pemberi izin praktik syariah di Capitol Hill itu tiba-tiba menjadikan syariah sebagai sesuatu yang antitesis dengan nilai-nilai Amerika (American values). Syariah dianggap racun bagi Amerika.
Lucu kan? Tapi itulah realitanya. Kelucuan itu semakin menjadi-jadi dan dipertontonkan oleh banyak politisi dari masa ke masa. Khususnya ketika memasuki musim-musim kampanye seperti tahun 2020 mendatang.
Kini bangsa Amerika kembali bersiap-siap memasuki pesta demokrasi 4 tahunan mereka. Sejak terpilihnya Donald Trump mengalahkan Hilary Clinton pada pemilu lalu, Islamophobia semakin menjadi-jadi.
Di masa lalu Islamphoboa adalah case by case (kasus per kasus) di pinggir-pinggir jalan. Kini Islamophobia itu seolah menjadi mainstream. Terasa Islamophobia menjadi bagian dari sistem itu sendiri.
Donald Trump dengan ideologi ekstrem “right wing” telah menjadi penyulut kebangkitan radikalisme dan terorisme kaum putih yang disebut “white supremacy”. Mereka dengan dengan berani dan tanpa malu lagi mempertontonkan kebencian kepada semua warga non-white, khususnya kepada komunitas Muslim.
Kebangkitan kaum radikal dan teroris putih ini bahkan telah diakui sebagai ancamam terhadap keamanan global yang berbahaya. Bahkan lebih berbahaya dari ISIS dan Al-Qaeda itu sendiri.
ISIS dan Al-Qaeda jelas wajahnya. Mereka sudah berhasil dibentuk sebagai musuh bersama. Tapi white supremacy justru masih dianggap bagian dari mereka yang mengaku lebih beradab (civilized). Sehingga bagi sebagian bahayanya masih remang-remang.
Karenanya bagi komunitas Muslim Amerika, Pemilu 2020 mendatang menjadi salah satu arena pertarungan yang menentukan. Menentukan wajah Amerika dalam memandang komunitas Muslim minimal 4 tahun ke depan.
Oleh karena itu umat Islam Amerika akan all out dalam mengambil partisipasi politiknya di Amerika. Partisipasi politik bagi Muslim Amerika bukan sekedar civic right (hak sipil) semata. Partisipasi politik bagi umat Muslim Amerika menjadi kewajiban amar ma’uf, khususnya pada aspek nahi mungkar.
Menangkal kemungkinan memburuknya Islamophobia yang semakin menjadi-jadi. Mengalahkan tendensi “evil” (setan) yang bersifat historis itu. Dan di sinilah letak urgensi partisipasi politik umat.
Dan ini pulalah salah satu kewajiban saya sebagai seorang Imam di negara ini. Menyadarkan umat bahwa politik jangan ditabukan, apalagi dikotorkan. Tergantung bagaimana melaksanakan dan untuk tujuan apa.
Mungkin tidak berlebihan jika saya katakan, partisipasi politik bagi komunitas Muslim Amerika saat ini menjadi salah satu bentuk jihad besar. Tapi sadarkah umat ini? Wallahu a'lam!
New York City, 12 Juni 2019
Presiden Nusantara Foundation
RASANYA sudah agak lama saya tidak menulis mengenai isu politik, khususnya politik Amerika. Hanya saja kunjungan saya ke New Zealand sebelum Ramadhan lalu menjadikan saya merasa terpanggil untuk kembali mengingatkan kita tentang isu yang pastinya akan menghangat memasuki tahun politik ini.
Hampir sama di mana saja di dunia ini. Isu agama menjadi salah satu isu hangat ketika sebuah negara itu memasuki musim politiknya. Tidak mengenal negara maju atau negara berkembang, bahkan negara yang sangat terbelakang sekalipun. Agama selalu menjadi pembahasan seksi di kalangan para politisi.
Amerika bukan pengecualian. Agama, dalam hal ini Islam dan Muslim serta segala yang terkait dengannya bahkan tidak jarang menjadi isu hangat dalam perdebatan-perdebatan politik.
Istilah-istilah agama (Islam) yang selama ini dikembangkan sedemikian rupa menyeramkan itu kembali menjadi obralan politik murahan. Kata jihad dan Syariah misalnya begitu populer di mulut-mulut para politisi.
Bahkan istilah-istilah sama sekali tidak dikenal dalam diskursus keilmuan Islam dipopulerkan sedemikian rupa untuk menjadi jualan politik tanpa malu. Kata jihadis dan Islamis misalnya yang tidak pernah kita temukan dalam kamus Islam, tiba-tiba menjadi sebuah kata yang seolah sangat populer dan baku pasca 9/11.
Yang lebih mengagumkan lagi, mayoritas jika tidak semuanya, para politisi itu memiliki keilmuan yang minim bahkan “zero” tentang Islam. Mereka tidak pernah mempelajari Islam dari sumber-sumber sahih (autentik). Umumnya mereka mengenal Islam dari media-media massa yang dari sononya memang bias terhadap agama ini.
Sikap politik terhadap Islam seperti ini dengan sendirinya menjadi salah satu penyulut terdahsyat bagi meningginya Islamophobia di negara ini. Masyarakat umum, khususnya mereka yang menjadi pendukung fanatis kandidat tertentu akan tersulut rasa takutnya dan terbakar sumbuh amarahnya kepada agama ini dan pemeluknya.
Itulah sebuah realita yang dihadapi oleh komunitas Muslim di negara-negara mayoritas non-Muslim seperti Amerika. Walaupun seringkali sikap itu justru menampilkan “kelucuan dan kedunguan” sekaligus.
Ambil satu contoh lucu. Bagi umat Islam, salat Jumat merupakan salah satu praktik syariah (hukum agama) yang mendasar. Berislam tanpa Jumatan berarti sebuah pelanggaran besar terhadap hukum agama.
Sekitar akhir 90-an, komunitas Muslim yang menjadi bagian dari Capitol Hill atau gedung Kongres Amerika meminta ruangan khusus untuk mereka melaksanakan slat Jumat. Umumnya adalah staf atau pegawai yang bekerja di gedung itu.
Kebetulan Speaker (Ketua Kongress) ketika itu adalah Newt Gingrich. Dialah yang memberikan izin kepada komunitas Muslim untuk melaksanakan salat Jumat di gedung Capitol Hill.
Lucunya, beberapa tahun setelah Gingrich memberikan izin Jumatan di Capitol Hill, mantan Speaker itu ikut mencalonkan diri untuk menjadi presiden Amerika dari Partai Republik. Di saat itulah ia dengan segala daya menyerang Islam dan syariah.
Sang pemberi izin praktik syariah di Capitol Hill itu tiba-tiba menjadikan syariah sebagai sesuatu yang antitesis dengan nilai-nilai Amerika (American values). Syariah dianggap racun bagi Amerika.
Lucu kan? Tapi itulah realitanya. Kelucuan itu semakin menjadi-jadi dan dipertontonkan oleh banyak politisi dari masa ke masa. Khususnya ketika memasuki musim-musim kampanye seperti tahun 2020 mendatang.
Kini bangsa Amerika kembali bersiap-siap memasuki pesta demokrasi 4 tahunan mereka. Sejak terpilihnya Donald Trump mengalahkan Hilary Clinton pada pemilu lalu, Islamophobia semakin menjadi-jadi.
Di masa lalu Islamphoboa adalah case by case (kasus per kasus) di pinggir-pinggir jalan. Kini Islamophobia itu seolah menjadi mainstream. Terasa Islamophobia menjadi bagian dari sistem itu sendiri.
Donald Trump dengan ideologi ekstrem “right wing” telah menjadi penyulut kebangkitan radikalisme dan terorisme kaum putih yang disebut “white supremacy”. Mereka dengan dengan berani dan tanpa malu lagi mempertontonkan kebencian kepada semua warga non-white, khususnya kepada komunitas Muslim.
Kebangkitan kaum radikal dan teroris putih ini bahkan telah diakui sebagai ancamam terhadap keamanan global yang berbahaya. Bahkan lebih berbahaya dari ISIS dan Al-Qaeda itu sendiri.
ISIS dan Al-Qaeda jelas wajahnya. Mereka sudah berhasil dibentuk sebagai musuh bersama. Tapi white supremacy justru masih dianggap bagian dari mereka yang mengaku lebih beradab (civilized). Sehingga bagi sebagian bahayanya masih remang-remang.
Karenanya bagi komunitas Muslim Amerika, Pemilu 2020 mendatang menjadi salah satu arena pertarungan yang menentukan. Menentukan wajah Amerika dalam memandang komunitas Muslim minimal 4 tahun ke depan.
Oleh karena itu umat Islam Amerika akan all out dalam mengambil partisipasi politiknya di Amerika. Partisipasi politik bagi Muslim Amerika bukan sekedar civic right (hak sipil) semata. Partisipasi politik bagi umat Muslim Amerika menjadi kewajiban amar ma’uf, khususnya pada aspek nahi mungkar.
Menangkal kemungkinan memburuknya Islamophobia yang semakin menjadi-jadi. Mengalahkan tendensi “evil” (setan) yang bersifat historis itu. Dan di sinilah letak urgensi partisipasi politik umat.
Dan ini pulalah salah satu kewajiban saya sebagai seorang Imam di negara ini. Menyadarkan umat bahwa politik jangan ditabukan, apalagi dikotorkan. Tergantung bagaimana melaksanakan dan untuk tujuan apa.
Mungkin tidak berlebihan jika saya katakan, partisipasi politik bagi komunitas Muslim Amerika saat ini menjadi salah satu bentuk jihad besar. Tapi sadarkah umat ini? Wallahu a'lam!
New York City, 12 Juni 2019
(poe)