Jimly: MK Harus Berpihak kepada Kebenaran dan Keadilan Konstitusional
A
A
A
JAKARTA - Sidang perdana sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 di Mahkamah Kontitusi (MK) akan berlangsung besok, Jumat (13/6/2019). Tentunya sidang ini akan menyedot perhatian publik. KPU bertindak sebagai tergugat, sementara penggugat ialah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Bagaimana pendapat mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie terhadap sidang perdana gugatan pilpres tersebut? Berikut petikan wawancara Reporter SINDOnews, Rico Afrido Simanjuntak melalu sambungan telepon hari ini, Kamis (13/6/2019):
Bagaimana penilaian Bapak mengenai sengketa PHPU Pilpres 2019 di MK?
Ya jadi serahkan pada MK. Percayakan aja. Nanti kalau you mau tanya, tanya kepada kedua pihak. Satu, kepada pihak KPU. Kedua, kepada pihak yang mengajukan gugatan. Paling nanti tanya pihak ketiga yang saling terkait kepentingannya yaitu kubu yang satu lagi. Orang luar sebaiknya jangan dilibatkan dan melibatkan diri. Itu malah nambahin masalah aja.
Bedanya apa demo di udara dengan demo di darat, sama. Demo di udara itu ialah pembentukan opini, lalu saling serang di medsos, itu persis sama dengan demo di Monas, sama itu, tidak mengambil keputusan malah mempertegang keadaan. Sama itu statusnya, tidak bermanfaat, sebaliknya banyak mudharatnya.
Kalau misalnya demo di Monas, ini lagi mau demo nih, enam hari mau demo terus menerus. Pertanyaannya simple aja gunanya apa? Demo itu biasanya banyak-banyakan jumlah, mau menunjukkan jumlahnya banyak. Sebanyak apa yang dikumpulin di Monas itu, apa bisa lebih banyak dari yang kumpul di TPS yang ingin ganti presiden, jumlahnya 68 juta. 68 juta orang Indonesia ingin ganti presiden, itu kalau dikumpulin jumlah penduduk Malaysia, Singapura, Brunei dijadikan satu, baru separuh jumlahnya. You tambahin lagi Laos, Myanmar, Kamboja, masih tetap banyak orang yang ingin ganti presiden di Indonesia, banyak sekali, mana yang bisa mengumpulkan lebih banyak dari itu, di Monas itu.
Jadi kalau tujuannnya umtuk menunjukkan banyak-banyakan jumlah, enggak ada gunanya. Demo kekecewaan kepada pemilihan umum dengan demo ekspresi unjuk rasa pendapat, beda. Kalau orang kumpul unjuk rasa misalnya menolak PHK, itu masih bisa dialog. Tapi kalau orang yang kalah pemilu itu sudah membabi buta, pokoe enggak ada diskusi. Maka demo di darat tidak ada gunanya, sama dengan demo di udara. Misalnya you tanya pakar, sok-sok tahu, pakar itu kan dari perguruan tinggi belum tentu tahu masalah, dia hanya baca buku, bukunya yang sudah ketinggalan jaman, lalu menganalisa-menganalisa, apalagi pakar politik, misalnya ilmu kira-kira, kiralogi.
Kalau ditanya wartawan, baru dua menit ditanya langsung dia tahu semua padahal kan dia enggak ngerti juga karena peristiwanya baru terjadi. Jadi itu menambah masalah aja, maka sebaiknya sebagai negara hukum kita percayakan kepada proses hukum. Beri kesempatan MK menilainya, nah bagi para pihak silakan bekerja profesional di pihaknya masing-masing untuk mencari bukti dan kontra bukti. Jadi perdebatannya rasional dalam ruang sidang dan ada keputusan.
Di luar ruang sidang tidak ada keputusan. Nah itu lah cara negara modern menyelesaikan masalah. Bukan melalui cara di jalanan baik di darat maupun di udara, nah tambah lagi sekarang teknologi pasca modern post truth, kacau gara-gara medsos ini. Jadi semua orang kalau membaca medsos itu baper, bawa Perasaan, ya rusak semua. Berita yang 10 tahun dibuka lagi, foto-foto lama dibuka lagi dengan konteks baru. Sehingga yang benar jadi salah, yang salah jadi benar.
Kadang-kadang yang kejadian benar pun kita tepis, ah ini pasti enggak benar, padahal benar. Jadi sekarang ini era post truth namanya gara-gara perkembangan medsos ini. Maka sekali lagi mari kita lembagakan sistem demokrasi kita melalui jalan konstitusional di MK. Beri kepercayaan kepada MK. Lah kita rakyat Indonesia kembalilah ke urusan kita masing-masing, kita kan sudah bersikap di TPS, sudah cukup sekali, nah selebihnya pihak partai, pihak Paslon dan tim suksesnya bekerja.
Jadi kita ngurusin yang lain dong. Pemilu sudah selesai, seandainya keputusan MK itu membalikkan apa yang diputuskan oleh KPU, ya memang itu aturannya begitu. Jadi kita juga musti siap kalau yang dimenangkan oleh KPU ternyata dikalahkan oleh MK. Ya prosedurnya memang begitu, kita musti siap, jangan kaget.
Maka sekarang jangan dulu menikmati ucapan selamat. Orang ucapkan selamat jangan dulu dipasang di Istana dong, itu bunga-bunga itu, alhamdulillah sekarang sudah enggak ada lagi, sudah dibersihin. Tapi pernah kurang lebih satu minggu dinikmati, ingat itu bukan rumah pribadi, itu Istana Negara. Jadi belum selesai ini proses, tunggu dulu. Nah alhamdulillah sudah bersih, supaya apa, kalau nanti MK memutuskan bertentangan dengan keputusan KPU, semua orang musti siap.
Sebaliknya kalau nanti MK memutuskan membenarkan KPU, yang mengajukan permohonan juga musti siap. Itu jalan terakhir dan harus dibuka seterbuka-bukanya apa yang kita tuduhkan curang dan sebagainya kita buka. Biar rakyat menonton, tahu mana yang benar antara dua versi. Tidak mungkin dong dua kubu hitung sendiri-sendiri atau KPU menghitung, kubu 01 menghitung, kubu 02 menghitung, masa ada tiga kebenaran, enggak mungkin, yang benar itu pasti cuma satu. Nah yang satu apa? Yang diputusan MK, itu kesepakatan tertinggi sistem konstitusi kita. Semua musti siap.
Apa tantangan berat bagi hakim dalam menangani sebuah perkara sengketa pilpres?
Ya dia harus profesional, independen, dan tidak berpihak untuk kepentingan siapapun, kecuali hanya untuk kebenaran dan keadilan konstitusional. Itu berat-berat gampang, enggak sulit itu.
Apakah hakim konstitusi akan independen dan profesional?
Menurut saya independen semua. Kalau ditanya masih ada, emangnya enggak ada lagi, itu kan pertanyaan penuh kecurigaan, emangnya wartawan sempurna semua, jangan gitu dong. Tapi sebagai negara, kita harus memberi kepercayaan kepada semua kelompok, semua ingin baik, jangan ditekan-tekan. Termasuk jangan ditekan dengan opini.
Bisa diceritakan pengalaman Bapak saat memutus sebuah perkara sengketa pilpres?
Itu 2004 waktu itu pertama kali kan pemilu pertama, pilpres pertama itu kan 2004. MK berdiri 2003, ya itu pertama kali 2004, semua orang harus ingat itu. Tanggal 5 Oktober keputusan final ronde kedua piilpres itu ditetapkan oleh KPU, tanggal 5 Oktober, sedangkan tanggal 20 Oktober itu akan ada pelantikan, waktunya pendek sekali, tanggal 4 sudah ada quick count.
SBY sebagai Calon Presiden melawan incumbent Megawati sudah tahu dia bakal menang, maka dia bikin konferensi pers. Besok tanggal 5 saya akan mengumumkan rancangan kabinet, untuk mendapat tanggapan dari masyarakat luas, masukan-masukan saya, menerima masukan dari mana saja, untuk mengenai susunan kabinet. Gaya dia karena sudah merasa menang, saya bikin rapat langsung bikin statement, konferensi pers resmi melarang pengumuman kabinet tanggal 5 karena tanggal 5 Oktober itu baru keputusan KPU yang belum final.
Seseorang di Indonesia dalam sistem konstitusi kita ditetapkan menjadi presiden yang berhak menyusun kabinet adalah Presiden Republik Indonesia. Presiden RI baru akan ada yang baru tanggal 20 Oktober 2004, ialah sesudah pelantikan. Sebelum itu itu masih Presiden Megawati, Presiden RI itu belum ada, maka 15 hari sebelumnya tiba-tiba ada seseorang yang merasa sudah menang lalu menyusun dan mengumumkan kabinet, ya itu tidak benar.
Saya larang. Kita tidak boleh mendahului Tuhan, karena kalau tanggal 19 malam ada bom meledak, perang dunia ketiga, Gedung MPR/DPR hancur lebur, semua anggotanya meninggal dunia, ya kita doakan tidak terjadi, dan memang tidak terjadi, tapi kita tidak boleh mendahului Allah. Kalau itu terjadi maka tidak akan pernah ada pelantikan presiden tanggal 20. Maka demi bangsa dan negara Presiden RI harus terus Megawati, itu saya sampaikan, kita tidak boleh mendahului kehendak Allah, ada jadwalnya.
Maka kita harus rendah hati, jangan dulu merasa sudah jadi presiden. Belum, manggil-manggilin orang susun kabinet, nanti dulu. Sesudah penetapan oleh KPU, itu masih ada waktu untuk berperkara di MK. Saya bilang saya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru setahun bertanggung jawab menjelaskan kepada masyarakat luas, sekarang ini ada MK. MK itu tugasnya bisa membalikkan keputusan KPU.
Apakah Bapak punya pengalaman mendapat intimidasi dan intervensi dari pihak lain saat menangani perkara sengketa pilpres?
Kita jangan ikut campur. Biar aja lah dipercayakan kepada MK. Yang penting sekarang ini rekonsiliasi, jangan dibikin ribut gitu lho. You kalau mau pertentangan ada saja, demo kan waktu tahun 2004 kan ada, PDIP kan demo waktu Wiranto mengajukan perkara, waktu ronde pertama, demo juga besar, karena mereka takut kalau nanti MK mengabulkan Wiranto. Wiranto calon dapat nomer 3, Megawati dapat nomer 2, kalau Wiranto dimenangkan, ya berarti persaingan antara Wiranto dengan SBY. Ronde kedua. Ah itu sudah pernah terjadi, waktu ronde pertama pun ada demo. Biasa aja lah.
Lantas apa harapan Bapak terhadap persidangan sengketa Pilpres 2019?
Udah kita percayakan aja kepada MK, ya.
Bagaimana pendapat mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie terhadap sidang perdana gugatan pilpres tersebut? Berikut petikan wawancara Reporter SINDOnews, Rico Afrido Simanjuntak melalu sambungan telepon hari ini, Kamis (13/6/2019):
Bagaimana penilaian Bapak mengenai sengketa PHPU Pilpres 2019 di MK?
Ya jadi serahkan pada MK. Percayakan aja. Nanti kalau you mau tanya, tanya kepada kedua pihak. Satu, kepada pihak KPU. Kedua, kepada pihak yang mengajukan gugatan. Paling nanti tanya pihak ketiga yang saling terkait kepentingannya yaitu kubu yang satu lagi. Orang luar sebaiknya jangan dilibatkan dan melibatkan diri. Itu malah nambahin masalah aja.
Bedanya apa demo di udara dengan demo di darat, sama. Demo di udara itu ialah pembentukan opini, lalu saling serang di medsos, itu persis sama dengan demo di Monas, sama itu, tidak mengambil keputusan malah mempertegang keadaan. Sama itu statusnya, tidak bermanfaat, sebaliknya banyak mudharatnya.
Kalau misalnya demo di Monas, ini lagi mau demo nih, enam hari mau demo terus menerus. Pertanyaannya simple aja gunanya apa? Demo itu biasanya banyak-banyakan jumlah, mau menunjukkan jumlahnya banyak. Sebanyak apa yang dikumpulin di Monas itu, apa bisa lebih banyak dari yang kumpul di TPS yang ingin ganti presiden, jumlahnya 68 juta. 68 juta orang Indonesia ingin ganti presiden, itu kalau dikumpulin jumlah penduduk Malaysia, Singapura, Brunei dijadikan satu, baru separuh jumlahnya. You tambahin lagi Laos, Myanmar, Kamboja, masih tetap banyak orang yang ingin ganti presiden di Indonesia, banyak sekali, mana yang bisa mengumpulkan lebih banyak dari itu, di Monas itu.
Jadi kalau tujuannnya umtuk menunjukkan banyak-banyakan jumlah, enggak ada gunanya. Demo kekecewaan kepada pemilihan umum dengan demo ekspresi unjuk rasa pendapat, beda. Kalau orang kumpul unjuk rasa misalnya menolak PHK, itu masih bisa dialog. Tapi kalau orang yang kalah pemilu itu sudah membabi buta, pokoe enggak ada diskusi. Maka demo di darat tidak ada gunanya, sama dengan demo di udara. Misalnya you tanya pakar, sok-sok tahu, pakar itu kan dari perguruan tinggi belum tentu tahu masalah, dia hanya baca buku, bukunya yang sudah ketinggalan jaman, lalu menganalisa-menganalisa, apalagi pakar politik, misalnya ilmu kira-kira, kiralogi.
Kalau ditanya wartawan, baru dua menit ditanya langsung dia tahu semua padahal kan dia enggak ngerti juga karena peristiwanya baru terjadi. Jadi itu menambah masalah aja, maka sebaiknya sebagai negara hukum kita percayakan kepada proses hukum. Beri kesempatan MK menilainya, nah bagi para pihak silakan bekerja profesional di pihaknya masing-masing untuk mencari bukti dan kontra bukti. Jadi perdebatannya rasional dalam ruang sidang dan ada keputusan.
Di luar ruang sidang tidak ada keputusan. Nah itu lah cara negara modern menyelesaikan masalah. Bukan melalui cara di jalanan baik di darat maupun di udara, nah tambah lagi sekarang teknologi pasca modern post truth, kacau gara-gara medsos ini. Jadi semua orang kalau membaca medsos itu baper, bawa Perasaan, ya rusak semua. Berita yang 10 tahun dibuka lagi, foto-foto lama dibuka lagi dengan konteks baru. Sehingga yang benar jadi salah, yang salah jadi benar.
Kadang-kadang yang kejadian benar pun kita tepis, ah ini pasti enggak benar, padahal benar. Jadi sekarang ini era post truth namanya gara-gara perkembangan medsos ini. Maka sekali lagi mari kita lembagakan sistem demokrasi kita melalui jalan konstitusional di MK. Beri kepercayaan kepada MK. Lah kita rakyat Indonesia kembalilah ke urusan kita masing-masing, kita kan sudah bersikap di TPS, sudah cukup sekali, nah selebihnya pihak partai, pihak Paslon dan tim suksesnya bekerja.
Jadi kita ngurusin yang lain dong. Pemilu sudah selesai, seandainya keputusan MK itu membalikkan apa yang diputuskan oleh KPU, ya memang itu aturannya begitu. Jadi kita juga musti siap kalau yang dimenangkan oleh KPU ternyata dikalahkan oleh MK. Ya prosedurnya memang begitu, kita musti siap, jangan kaget.
Maka sekarang jangan dulu menikmati ucapan selamat. Orang ucapkan selamat jangan dulu dipasang di Istana dong, itu bunga-bunga itu, alhamdulillah sekarang sudah enggak ada lagi, sudah dibersihin. Tapi pernah kurang lebih satu minggu dinikmati, ingat itu bukan rumah pribadi, itu Istana Negara. Jadi belum selesai ini proses, tunggu dulu. Nah alhamdulillah sudah bersih, supaya apa, kalau nanti MK memutuskan bertentangan dengan keputusan KPU, semua orang musti siap.
Sebaliknya kalau nanti MK memutuskan membenarkan KPU, yang mengajukan permohonan juga musti siap. Itu jalan terakhir dan harus dibuka seterbuka-bukanya apa yang kita tuduhkan curang dan sebagainya kita buka. Biar rakyat menonton, tahu mana yang benar antara dua versi. Tidak mungkin dong dua kubu hitung sendiri-sendiri atau KPU menghitung, kubu 01 menghitung, kubu 02 menghitung, masa ada tiga kebenaran, enggak mungkin, yang benar itu pasti cuma satu. Nah yang satu apa? Yang diputusan MK, itu kesepakatan tertinggi sistem konstitusi kita. Semua musti siap.
Apa tantangan berat bagi hakim dalam menangani sebuah perkara sengketa pilpres?
Ya dia harus profesional, independen, dan tidak berpihak untuk kepentingan siapapun, kecuali hanya untuk kebenaran dan keadilan konstitusional. Itu berat-berat gampang, enggak sulit itu.
Apakah hakim konstitusi akan independen dan profesional?
Menurut saya independen semua. Kalau ditanya masih ada, emangnya enggak ada lagi, itu kan pertanyaan penuh kecurigaan, emangnya wartawan sempurna semua, jangan gitu dong. Tapi sebagai negara, kita harus memberi kepercayaan kepada semua kelompok, semua ingin baik, jangan ditekan-tekan. Termasuk jangan ditekan dengan opini.
Bisa diceritakan pengalaman Bapak saat memutus sebuah perkara sengketa pilpres?
Itu 2004 waktu itu pertama kali kan pemilu pertama, pilpres pertama itu kan 2004. MK berdiri 2003, ya itu pertama kali 2004, semua orang harus ingat itu. Tanggal 5 Oktober keputusan final ronde kedua piilpres itu ditetapkan oleh KPU, tanggal 5 Oktober, sedangkan tanggal 20 Oktober itu akan ada pelantikan, waktunya pendek sekali, tanggal 4 sudah ada quick count.
SBY sebagai Calon Presiden melawan incumbent Megawati sudah tahu dia bakal menang, maka dia bikin konferensi pers. Besok tanggal 5 saya akan mengumumkan rancangan kabinet, untuk mendapat tanggapan dari masyarakat luas, masukan-masukan saya, menerima masukan dari mana saja, untuk mengenai susunan kabinet. Gaya dia karena sudah merasa menang, saya bikin rapat langsung bikin statement, konferensi pers resmi melarang pengumuman kabinet tanggal 5 karena tanggal 5 Oktober itu baru keputusan KPU yang belum final.
Seseorang di Indonesia dalam sistem konstitusi kita ditetapkan menjadi presiden yang berhak menyusun kabinet adalah Presiden Republik Indonesia. Presiden RI baru akan ada yang baru tanggal 20 Oktober 2004, ialah sesudah pelantikan. Sebelum itu itu masih Presiden Megawati, Presiden RI itu belum ada, maka 15 hari sebelumnya tiba-tiba ada seseorang yang merasa sudah menang lalu menyusun dan mengumumkan kabinet, ya itu tidak benar.
Saya larang. Kita tidak boleh mendahului Tuhan, karena kalau tanggal 19 malam ada bom meledak, perang dunia ketiga, Gedung MPR/DPR hancur lebur, semua anggotanya meninggal dunia, ya kita doakan tidak terjadi, dan memang tidak terjadi, tapi kita tidak boleh mendahului Allah. Kalau itu terjadi maka tidak akan pernah ada pelantikan presiden tanggal 20. Maka demi bangsa dan negara Presiden RI harus terus Megawati, itu saya sampaikan, kita tidak boleh mendahului kehendak Allah, ada jadwalnya.
Maka kita harus rendah hati, jangan dulu merasa sudah jadi presiden. Belum, manggil-manggilin orang susun kabinet, nanti dulu. Sesudah penetapan oleh KPU, itu masih ada waktu untuk berperkara di MK. Saya bilang saya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru setahun bertanggung jawab menjelaskan kepada masyarakat luas, sekarang ini ada MK. MK itu tugasnya bisa membalikkan keputusan KPU.
Apakah Bapak punya pengalaman mendapat intimidasi dan intervensi dari pihak lain saat menangani perkara sengketa pilpres?
Kita jangan ikut campur. Biar aja lah dipercayakan kepada MK. Yang penting sekarang ini rekonsiliasi, jangan dibikin ribut gitu lho. You kalau mau pertentangan ada saja, demo kan waktu tahun 2004 kan ada, PDIP kan demo waktu Wiranto mengajukan perkara, waktu ronde pertama, demo juga besar, karena mereka takut kalau nanti MK mengabulkan Wiranto. Wiranto calon dapat nomer 3, Megawati dapat nomer 2, kalau Wiranto dimenangkan, ya berarti persaingan antara Wiranto dengan SBY. Ronde kedua. Ah itu sudah pernah terjadi, waktu ronde pertama pun ada demo. Biasa aja lah.
Lantas apa harapan Bapak terhadap persidangan sengketa Pilpres 2019?
Udah kita percayakan aja kepada MK, ya.
(kri)