Pemerintah Tutup Akses 2.184 Akun Medsos dan Website
A
A
A
JAKARTA - Sebelum dan selama pembatasan akses sebagian fitur platform media sosial dan percakapan instan berupa fitur image dan video, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) telah menutup ribuan akun media sosial dan situs website.
Sebanyak 551 akun Facebook telah diblokir. Kemudian akun Twitter 848 akun, Instagram 640 akun, Youtube 143 akun, serta masing-masing satu untuk url website dan LinkedIn. Total ada 2.184 akun dan website yang telah diblokir.
Kemkominfo juga bekerja sama dengan penyedia platform digital. “Itu juga ditempuh. Misalnya, saya telah berkomunikasi dengan pimpinan WhatsApp, yang hanya dalam seminggu sebelum kerusuhan 22 Mei lalu telah menutup sekitar 61.000 akun aplikasi WhatsApp yang melanggar aturan,” ungkap Menteri Kominfo, Rudiantara, seperti dikutip dari setkab.go.id, Senin (27/5/2019).
Rudiantara menilai semua itu perlu dilakukan agar sebaran konten hoaks, fitnah maupun provokasi dapat diminimalkan. Bahkan, Rudiantara mengajak semua kalangan untuk memulai dari sendiri agar tidak menyebarkan konten yang melanggar aturan atau hukum.
“Jangan lelah untuk mengimbau agar masyarakat dan teman-teman di sekitar kita berhenti menyebarkan konten yang mengandung hoaks, fitnah, maupun provokasi untuk melanggar aturan atau hukum. Tentu saja harus kita mulai dari diri sendiri,” tuturnya.
Dia mengungkapkan, pemerintah berupaya mengurangi dampak hoaks dan ujaran kebencian yang disebarluaskan melalui platform media sosial (medsos) dan percakapan instan.
Upaya itu ditujukan untuk meminimalisasi dan menghindarkan konflik sebagai akibat tindakan kekerasan yang dipicu oleh informasi hoaks.
Rudiantara mengatakan, hoaks yang tidak dikendalikan akan berpotensi memicu aksi massa dan kekerasan yang berdampak pada jatuhnya korban.
“Satu hoaks saja sudah cukup untuk memicu aksi massa yang berujung penghilangan nyawa, seperti salah satunya yang menimpa Mohammad Azam di India pada tahun 2018. Padahal, ada banyak hoaks sejenis itu lalu-lalang di Indonesia setiap hari, apalagi sekitar 22 Mei lalu,” tuturnya.
Dia menjelaskan, ada tiga langkah yang diambil pemerintah berdasarkan tingkat kegentingan peredaran konten hoaks. Langkah itu lazim dan kerap diambil oleh Pemerintah di negara lain untuk mencegah meluasnya kerusuhan.
Pertama, menutup akses tautan konten atau akun yang terindikasi menyebarkan hoaks. Kedua, bekerja sama dengan penyedia platform digital untuk menutup akun. Ketiga, pembatasan akses terhadap sebagian fitur platform digital atau berbagi file.
“Pembatasan akses merupakan salah satu dari alternatif-alternatif terakhir yang ditempuh seiring dengan tingkat kegentingan. Pemerintah negara-negara lain di dunia telah membuktikan efektivitasnya untuk mencegah meluasnya kerusuhan,” tuturnya.
Sebanyak 551 akun Facebook telah diblokir. Kemudian akun Twitter 848 akun, Instagram 640 akun, Youtube 143 akun, serta masing-masing satu untuk url website dan LinkedIn. Total ada 2.184 akun dan website yang telah diblokir.
Kemkominfo juga bekerja sama dengan penyedia platform digital. “Itu juga ditempuh. Misalnya, saya telah berkomunikasi dengan pimpinan WhatsApp, yang hanya dalam seminggu sebelum kerusuhan 22 Mei lalu telah menutup sekitar 61.000 akun aplikasi WhatsApp yang melanggar aturan,” ungkap Menteri Kominfo, Rudiantara, seperti dikutip dari setkab.go.id, Senin (27/5/2019).
Rudiantara menilai semua itu perlu dilakukan agar sebaran konten hoaks, fitnah maupun provokasi dapat diminimalkan. Bahkan, Rudiantara mengajak semua kalangan untuk memulai dari sendiri agar tidak menyebarkan konten yang melanggar aturan atau hukum.
“Jangan lelah untuk mengimbau agar masyarakat dan teman-teman di sekitar kita berhenti menyebarkan konten yang mengandung hoaks, fitnah, maupun provokasi untuk melanggar aturan atau hukum. Tentu saja harus kita mulai dari diri sendiri,” tuturnya.
Dia mengungkapkan, pemerintah berupaya mengurangi dampak hoaks dan ujaran kebencian yang disebarluaskan melalui platform media sosial (medsos) dan percakapan instan.
Upaya itu ditujukan untuk meminimalisasi dan menghindarkan konflik sebagai akibat tindakan kekerasan yang dipicu oleh informasi hoaks.
Rudiantara mengatakan, hoaks yang tidak dikendalikan akan berpotensi memicu aksi massa dan kekerasan yang berdampak pada jatuhnya korban.
“Satu hoaks saja sudah cukup untuk memicu aksi massa yang berujung penghilangan nyawa, seperti salah satunya yang menimpa Mohammad Azam di India pada tahun 2018. Padahal, ada banyak hoaks sejenis itu lalu-lalang di Indonesia setiap hari, apalagi sekitar 22 Mei lalu,” tuturnya.
Dia menjelaskan, ada tiga langkah yang diambil pemerintah berdasarkan tingkat kegentingan peredaran konten hoaks. Langkah itu lazim dan kerap diambil oleh Pemerintah di negara lain untuk mencegah meluasnya kerusuhan.
Pertama, menutup akses tautan konten atau akun yang terindikasi menyebarkan hoaks. Kedua, bekerja sama dengan penyedia platform digital untuk menutup akun. Ketiga, pembatasan akses terhadap sebagian fitur platform digital atau berbagi file.
“Pembatasan akses merupakan salah satu dari alternatif-alternatif terakhir yang ditempuh seiring dengan tingkat kegentingan. Pemerintah negara-negara lain di dunia telah membuktikan efektivitasnya untuk mencegah meluasnya kerusuhan,” tuturnya.
(dam)