Bangun Literasi Digital, Bukan Membatasi Medsos
A
A
A
PEMERINTAH akhirnya kembali membuka akses media sosial dan fitur layanan pesan singkat pada Sabtu (25/5). Pembatasan akses media sosial berlangsung sejak Rabu (22/5), bertepatan dengan berlangsungnya aksi unjuk rasa massa yang diwarnai kerusuhan di Jakarta. Pembatasan berlaku pada media sosial seperti Facebook dan Instagram, serta fitur layanan pesan singkat seperti WhatsApp dan Line. Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) beralasan layanan media sosial dinonaktifkan sementara untuk menghindari penyebaran berita bohong atau hoaks pada saat unjuk rasa massa menolak hasil pemilihan presiden (pilpres) berlangsung .
Pembatasan akses terhadap media sosial, terutama untuk pengiriman gambar dan video, sejatinya bertujuan baik. Dalam situasi ibu kota Jakarta yang "genting" saat unjuk rasa berlangsung, penyebaran berita bohong atau hoaks memang bisa menimbulkan ancaman yang berlipat ganda. Dalam situasi seperti itu, masyarakat sangat gampang tersulut emosinya oleh sebuah informasi yang belum tentu valid atau akurat. Demi mencegah kerusuhan meluas akibat penyebaran informasi hoaks, itulah alasan "shutdown " terhadap berbagai platform media sosial dan aplikasi percakapan dilakukan selama tiga hari.
Namun, kebijakan ini juga banyak dikritik. Pemerintah dinilai melanggar hak publik, terutama untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi. Langkah pemerintah dinilai sebagai internet throttling atau pencekikan terhadap akses internet. Belum lagi efektivitas pembatasan selama tiga hari tersebut yang banyak dipertanyakan. Pembatasan tersebut lantas dianggap melanggar konstitusi, khususnya Pasal 28 huruf F Undang-Undang Dasar 1945.
Terlepas dari polemik pemblokiran, dampak yang ditimbulkan kebijakan tersebut memang tidak kecil, terutama terhadap ekonomi. Pembatasan akses ke media sosial nyaris melumpuhkan aktivitas pelaku ekonomi digital. Kita tahu, belanja lewat daring (online ) juga telah menjadi keseharian masyarakat kita. Saat pembatasan media sosial dan aplikasi pesan singkat berlangsung, penggunaan foto dan video sebagai alat pertukaran informasi untuk transaksi nyaris lumpuh. Kerugian yang timbul pun tidak sedikit. Selama tiga hari pemblokiran kerugian ditaksir mencapai Rp681 miliar. Angka ini masuk akal karena hasil riset menunjukkan 66% transaksi jual beli daring dilakukan melalui Instagram, Facebook, dan WhatsApp. Sedangkan hanya 16% transaksi dilakukan lewat marketplace .
Kita bisa memahami langkah pemerintah melakukan pemblokiran akses media sosial demi mencegah hoaks yang faktanya memang kian merajalela. Apalagi, pada situasi tertentu, pembatasan informasi memang dipandang perlu. Namun, di sisi lain, ketika melihat dampak kerugian yang ditimbulkan, kita berharap kejadian pembatasan akses media sosial ini tidak sering-sering terjadi, bahkan kalau perlu tidak perlu terulang lagi.
Apalagi, masyarakat kita terkenal kreatif, mereka kerap mencari sendiri cara dalam menyiasati situasi yang dianggap tidak menguntungkan. Dalam kasus pembatasan akses media sosial ini, masyarakat langsung mencari akses lain demi tetap bisa menggunakan media sosialnya. Dipilihlah akses virtual private number (VPN). Celakanya, VPN ini, terutama yang gratisan, ternyata tidak aman dari peretasan. Penggunaan akses ini rawan penjebolan data pribadi termasuk akun bank. Dan, benar saja, kita membaca pengakuan sejumlah orang yang menyebut saldo rekeningnya terkuras hingga tandas setelah menggunakan akses VPN.
Dalam memberantas hoaks, termasuk konten yang bisa membahayakan keamanan negara, penegakan hukum yang adil tetap harus dikedepankan. Selama ini kepolisian cukup sigap memidanakan pihak-pihak yang menyebarkan hoaks dengan menjeratnya menggunakan UU ITE. Langkah tegas seperti itu tetap diperlukan agar timbul efek jera. Namun, dengan catatan, penegakan hukum harus adil, tidak tebang pilih, atau hanya menyasar pihak-pihak yang selama ini diketahui sering mengkritik pemerintah.
Selain itu, senjata utama dalam melawan hoaks adalah meningkatkan budaya literasi digital masyarakat. Perlu kerja sama lintas sektor untuk mengedukasi masyarakat secara terus-menerus agar mereka mampu membedakan mana informasi yang benar mana yang hoaks, mana sumber informasi yang bisa dirujuk dan mana yang tidak. Literasi digital ini berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat dalam mengonsumsi bahan bacaan, terutama buku. Ini memang bukan pekerjaan mudah karena saat ini peringkat literasi Indonesia ada di urutan ke-60 dari 61 negara berdasarkan data The World Most Literate Nation Study atau urutan ke-64 dari 72 negara berdasarkan data PISA. Namun, semua bisa diwujudkan dengan kerja keras pemerintah dan partisipasi masyarakat. Satu-satunya kunci menciptakan dunia digital yang sehat dan bebas hoaks adalah meningkatkan kapasitas masyarakat dalam hal literasi.
Pembatasan akses terhadap media sosial, terutama untuk pengiriman gambar dan video, sejatinya bertujuan baik. Dalam situasi ibu kota Jakarta yang "genting" saat unjuk rasa berlangsung, penyebaran berita bohong atau hoaks memang bisa menimbulkan ancaman yang berlipat ganda. Dalam situasi seperti itu, masyarakat sangat gampang tersulut emosinya oleh sebuah informasi yang belum tentu valid atau akurat. Demi mencegah kerusuhan meluas akibat penyebaran informasi hoaks, itulah alasan "shutdown " terhadap berbagai platform media sosial dan aplikasi percakapan dilakukan selama tiga hari.
Namun, kebijakan ini juga banyak dikritik. Pemerintah dinilai melanggar hak publik, terutama untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi. Langkah pemerintah dinilai sebagai internet throttling atau pencekikan terhadap akses internet. Belum lagi efektivitas pembatasan selama tiga hari tersebut yang banyak dipertanyakan. Pembatasan tersebut lantas dianggap melanggar konstitusi, khususnya Pasal 28 huruf F Undang-Undang Dasar 1945.
Terlepas dari polemik pemblokiran, dampak yang ditimbulkan kebijakan tersebut memang tidak kecil, terutama terhadap ekonomi. Pembatasan akses ke media sosial nyaris melumpuhkan aktivitas pelaku ekonomi digital. Kita tahu, belanja lewat daring (online ) juga telah menjadi keseharian masyarakat kita. Saat pembatasan media sosial dan aplikasi pesan singkat berlangsung, penggunaan foto dan video sebagai alat pertukaran informasi untuk transaksi nyaris lumpuh. Kerugian yang timbul pun tidak sedikit. Selama tiga hari pemblokiran kerugian ditaksir mencapai Rp681 miliar. Angka ini masuk akal karena hasil riset menunjukkan 66% transaksi jual beli daring dilakukan melalui Instagram, Facebook, dan WhatsApp. Sedangkan hanya 16% transaksi dilakukan lewat marketplace .
Kita bisa memahami langkah pemerintah melakukan pemblokiran akses media sosial demi mencegah hoaks yang faktanya memang kian merajalela. Apalagi, pada situasi tertentu, pembatasan informasi memang dipandang perlu. Namun, di sisi lain, ketika melihat dampak kerugian yang ditimbulkan, kita berharap kejadian pembatasan akses media sosial ini tidak sering-sering terjadi, bahkan kalau perlu tidak perlu terulang lagi.
Apalagi, masyarakat kita terkenal kreatif, mereka kerap mencari sendiri cara dalam menyiasati situasi yang dianggap tidak menguntungkan. Dalam kasus pembatasan akses media sosial ini, masyarakat langsung mencari akses lain demi tetap bisa menggunakan media sosialnya. Dipilihlah akses virtual private number (VPN). Celakanya, VPN ini, terutama yang gratisan, ternyata tidak aman dari peretasan. Penggunaan akses ini rawan penjebolan data pribadi termasuk akun bank. Dan, benar saja, kita membaca pengakuan sejumlah orang yang menyebut saldo rekeningnya terkuras hingga tandas setelah menggunakan akses VPN.
Dalam memberantas hoaks, termasuk konten yang bisa membahayakan keamanan negara, penegakan hukum yang adil tetap harus dikedepankan. Selama ini kepolisian cukup sigap memidanakan pihak-pihak yang menyebarkan hoaks dengan menjeratnya menggunakan UU ITE. Langkah tegas seperti itu tetap diperlukan agar timbul efek jera. Namun, dengan catatan, penegakan hukum harus adil, tidak tebang pilih, atau hanya menyasar pihak-pihak yang selama ini diketahui sering mengkritik pemerintah.
Selain itu, senjata utama dalam melawan hoaks adalah meningkatkan budaya literasi digital masyarakat. Perlu kerja sama lintas sektor untuk mengedukasi masyarakat secara terus-menerus agar mereka mampu membedakan mana informasi yang benar mana yang hoaks, mana sumber informasi yang bisa dirujuk dan mana yang tidak. Literasi digital ini berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat dalam mengonsumsi bahan bacaan, terutama buku. Ini memang bukan pekerjaan mudah karena saat ini peringkat literasi Indonesia ada di urutan ke-60 dari 61 negara berdasarkan data The World Most Literate Nation Study atau urutan ke-64 dari 72 negara berdasarkan data PISA. Namun, semua bisa diwujudkan dengan kerja keras pemerintah dan partisipasi masyarakat. Satu-satunya kunci menciptakan dunia digital yang sehat dan bebas hoaks adalah meningkatkan kapasitas masyarakat dalam hal literasi.
(wib)