Tarif Maskapai (Enggan) Turun?

Jum'at, 17 Mei 2019 - 07:07 WIB
Tarif Maskapai (Enggan)...
Tarif Maskapai (Enggan) Turun?
A A A
SEJAK tahun lalu, pengguna jasa transportasi udara harus mengeluarkan dana ekstra. Penyebabnya, tarif maskapai penerbangan untuk rute domestik naik tajam. Tak tanggung-tanggung, kenaikan tarifnya mencapai 100%. Tak hanya itu, masyarakat masih dibebankan dengan tarif bagasi. Jika sebelumnya ada layanan bagasi cuma-cuma 20 kilogram per penumpang, kini layanan itu ditiadakan. Gantinya, penumpang hanya bisa membawa barang ke dalam kabin dengan bobot maksimal 7 kilogram per penumpang.

Maskapai penerbangan nasional beralasan, kenaikan tarif penerbangan tersebut tak lain karena mahalnya harga avtur di dalam negeri. Namun, alasan tersebut terbantahkan dengan diturunkannya harga avtur oleh PT Pertamina (persero). Saat harga minyak dunia menyentuh level USD100 per barel beberapa tahun lalu, maskapai penerbangan nasional masih bisa memberikan pelayanan dengan tiket terjangkau.

Sejumlah hal yang disinyalir menjadi alasan naiknya harga tiket adalah biaya lainnya seperti leasing pesawat, maintenance, ground handling , dan asuransi pesawat. Hal ini cukup masuk akal mengingat banyak insiden yang dialami oleh maskapai penerbangan nasional beberapa tahun terakhir. Selain itu, era low cost carrier (LCC) yang berlangsung sejak 2001 silam sudah meredup. Seperti diketahui, bisnis model baru tersebut membuat maskapai penerbangan nasional berguguran. Sebut saja Mandala Airlines, Bouraq, Batavia Air, Star Air, Bali Air, Jatayu, Indonesia Airlines, dan beberapa maskapai penerbangan lainnya.

Praktis, saat ini tinggal dua grup besar yang menguasai penerbangan nasional yakni Grup Lion Air (Lion Air, Wings Air, Batik Air) milik pengusaha Rusdi Kirana, yang kini juga menjabat duta besar Republik Indonesia untuk Malaysia, dan Grup Garuda Indonesia (Citilink, Garuda Indonesia, Sriwijaya Air) yang berstatus badan usaha milik negara (BUMN) sekaligus perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Lalu, apa yang menyebabkan tarif pesawat naik? Sejumlah pengamat penerbangan menilai hal ini karena di era LCC, maskapai penerbangan melakukan perang tarif untuk menarik banyak penumpang. Maskapai penerbangan mengejar tingkat keterisian (load factor ) meskipun dengan margin yang kecil.

Hal itu berlangsung cukup lama, sehingga tentu saja berpengaruh terhadap cash flow perusahaan. Pada periode 2008-2012 misalnya, di tengah guncangan perekonomian akibat pengaruh ekonomi global, maskapai penerbangan nasional masih mematok tarif sangat terjangkau bagi masyarakat. Padahal dengan nilai tukar yang menanjak, biaya sewa pesawat, biaya perawatan juga ikut melonjak, sebab penghitungan komponen-komponen biaya penerbangan kebanyakan menggunakan kurs dolar Amerika Serikat (USD).

Kini, dengan hanya dikuasai oleh dua grup besar, tak heran jika tarif pesawat bisa naik-turun sesuai dengan perhitungan dari maskapai penerbangan. Seperti halnya ojek online yang hanya dikuasai oleh dua aplikator, yakni GoJek dan Grab.

Jika tiga tahun lalu tarif paling rendah untuk tiket rute Jakarta-Surabaya hanya Rp400.000, sekarang batas terendahnya sekitar Rp900.000-an. Bahkan pada hari-hari tertentu dan jam-jam tertentu, perbedaan antara tarif penebangan LCC dan full service hanya Rp200.000 hingga Rp300.000 dengan tarif terendah Rp1,3 juta sekali jalan.

Pemerintah pun terkesan kurang tanggap atas fenomena yang memukul industri pariwisata, logistik, dan industri leisure lainnya itu. Tarif maskapai penerbangan pun terlihat seperti ditentukan dengan sistem “kartel”. Kebijakan menurunkan tarif batas atas tiket pesawat sebesar 12-16% dengan payung hukum Permenhub Nomor 20 Tahun 2019, belum efektif menurunkan tarif tiket pesawat.

Ditambah lagi, dalam waktu dekat karena pada periode Mei hingga Juli 2019 merupakan periode peak season musim mudik lebaran dan liburan sekolah. Dalam kondisi seperti ini, maskapai penerbangan cenderung berupaya meraup untung.

Dalam industri penerbangan, mungkin ada yang percaya walaupun harga tiket mahal, tetap ada yang membeli. Namun, maskapai seharusnya sadar kalau tiket mahal, pembeli juga sepi dan akan memengaruhi sektor lainnya. Pemerintah pun harus lebih serius lagi mewujudkan tarif yang terjangkau bagi masyarakat. Di sini memang dibutuhkan win win solution , di mana masyarakat dan industri pariwisata tidak dirugikan, tapi maskapai juga bisa menangguk untung.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0849 seconds (0.1#10.140)