Wapres Jusuf Kalla: Tuduhan KPPS Tewas Diracun Berlebihan
A
A
A
JAKARTA - Fenomena meninggalnya para petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) hingga mencapai 500 orang lebih sampai kini masih menjadi teka-teki. Berbagai pihak mendorong agar segera dilakukan penyelidikan guna mengungkap jelas kasus ini. Namun, upaya pengungkapan juga perlu hati-hati, termasuk dengan persetujuan keluarga korban jika harus dilakukan visum atau autopsi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai, meninggalnya ratusan petugas KPPS akibat rumitnya sistem pemilu serentak 2019. Petugas yang meninggal umumnya kelelahan karena harus bekerja optimal menyukseskan pemilu serentak pertama di Indonesia ini. Para ketua KPPS yang kebanyakan di desa, ungkap JK, umumnya juga belum memahami betul sistem pemilu saat ini yang begitu rumit.
Hal ini tentu kian membuat mereka bingung dan terkuras tenaga serta pikirannya. "Kerumitan sistem pemilu, kecapaian, tanpa istirahat, dan di ruangan terbuka serta jangan lupa, stres itu,” ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, kemarin.
JK mendorong agar penyebab meninggalnya para KPPS ini diusut dengan tuntas. Namun demikian, pengusutan dengan melakukan visum seperti diusulkan calon presiden No 02 Prabowo Subianto juga harus mempertimbangkan persetujuan keluarga korban. "Itu terserah keluarganya. Visum ini harus izin keluarga," tandas JK.
JK juga mempertanyakan adanya isu kematian petugas KPPS karena diracun. Menurutnya, isu yang mencuat tersebut sangat berlebihan dan tidak berdasar motifnya. "Mungkin, tuduhan bahwa itu diracun berlebihan. Motifnya apa? Mau dapat suara? Mana mungkin, jadi tidak begitu. Segala sesuatu harus kita periksa motifnya," jelasnya.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek juga menilai visum atau autopsi bisa dilakukan sebagai upaya untuk mengetahui penyebab kematian para KPPS. Meski demikian, langkah itu tak bisa dilakukan sembarangan. Autopsi hanya bisa dilakukan atas permintaan keluarga atau rekomendasi dari kepolisian. "Kalaupun tidak wajar atas permintaan keluarga melihat ini tidak wajar dan harus melalui polisi. Polisi menentukan diautopsi atau tidak," kata Nila di Denpasar kemarin.
Nila juga menegaskan, autopsi bisa tak perlu digelar jika memang korban telah diketahui memiliki riwayat penyakit yang kronis. ”Kalau memang ada riwayat sakit jantung, kemudian umurnya sudah tua, memang kerjanya keras, kemudian kita lihat dia kelelahan dan sebagainya, pemicunya ada ya mungkin tidak perlu," terang Nila.
Bukan Kelelahan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga siap terlibat dalam penyelidikan kematian KPPS. Namun dari pendataan awal, Ketua Umum Pengurus Besar IDI M Faqih menilai kematian petugas KPPS bukan karena kelelahan, melainkan penyakit yang sudah dideritanya.
Indikasi ini dilihat dari kematian mendadak KPPS dalam jumlah besar dalam kurun waktu yang singkat. “IDI berpendapat bahwa kelelahan bukanlah penyebab langsung kematian, namun dapat jadi salah satu faktor pemicu atau pemberat sebab kematian,” kata Daeng.
Dia menerangkan bahwa petugas KPPS yang meninggal telah memiliki penyakit sebelumnya, sehingga saat mendapatkan pekerjaan yang berat membuat sangat kelelahan dan memperberat untuk menjadi penyakit tertentu.
“Kelelahan yang memicu penyakit tertentu, penyakit itu yang menyebabkan kematian. Salah satu ya, kelelahan hanya salah satu faktor risiko saja yang memicu atau memperberat menjadi suatu penyakit, jadi bukan karena kelelahan,” kata Daeng.
Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan, Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Tri Hesty Widyastoeti menjelaskan, kematian KPPS paling banyak disebabkan oleh penyakit jantung dan stroke.
Ahli penyakit dalam Prof Zubairi Djoerban SpPD, KHOM menyebutkan faktor kelelahan, dehidrasi, dan stres dapat memicu terjadinya serangan jantung dan stroke yang bisa menyebabkan kematian. Namun, Prof Zubairi menegaskan hal tersebut bukanlah faktor tunggal, melainkan ada faktor-faktor lainnya yang memperparah penyakit. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih mendalam untuk memastikan apa penyebab kematian petugas KPPS.
Daeng Faqih menegaskan, IDI sebagai organisasi profesi siap membantu semua pihak yang berwenang dan bertanggung jawab untuk melakukan penelitian mendalam, dan atau investigasi yang objektif dan berbasis keilmuan terhadap kejadian kematian petugas KPPS tersebut.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai, meninggalnya ratusan petugas KPPS akibat rumitnya sistem pemilu serentak 2019. Petugas yang meninggal umumnya kelelahan karena harus bekerja optimal menyukseskan pemilu serentak pertama di Indonesia ini. Para ketua KPPS yang kebanyakan di desa, ungkap JK, umumnya juga belum memahami betul sistem pemilu saat ini yang begitu rumit.
Hal ini tentu kian membuat mereka bingung dan terkuras tenaga serta pikirannya. "Kerumitan sistem pemilu, kecapaian, tanpa istirahat, dan di ruangan terbuka serta jangan lupa, stres itu,” ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, kemarin.
JK mendorong agar penyebab meninggalnya para KPPS ini diusut dengan tuntas. Namun demikian, pengusutan dengan melakukan visum seperti diusulkan calon presiden No 02 Prabowo Subianto juga harus mempertimbangkan persetujuan keluarga korban. "Itu terserah keluarganya. Visum ini harus izin keluarga," tandas JK.
JK juga mempertanyakan adanya isu kematian petugas KPPS karena diracun. Menurutnya, isu yang mencuat tersebut sangat berlebihan dan tidak berdasar motifnya. "Mungkin, tuduhan bahwa itu diracun berlebihan. Motifnya apa? Mau dapat suara? Mana mungkin, jadi tidak begitu. Segala sesuatu harus kita periksa motifnya," jelasnya.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek juga menilai visum atau autopsi bisa dilakukan sebagai upaya untuk mengetahui penyebab kematian para KPPS. Meski demikian, langkah itu tak bisa dilakukan sembarangan. Autopsi hanya bisa dilakukan atas permintaan keluarga atau rekomendasi dari kepolisian. "Kalaupun tidak wajar atas permintaan keluarga melihat ini tidak wajar dan harus melalui polisi. Polisi menentukan diautopsi atau tidak," kata Nila di Denpasar kemarin.
Nila juga menegaskan, autopsi bisa tak perlu digelar jika memang korban telah diketahui memiliki riwayat penyakit yang kronis. ”Kalau memang ada riwayat sakit jantung, kemudian umurnya sudah tua, memang kerjanya keras, kemudian kita lihat dia kelelahan dan sebagainya, pemicunya ada ya mungkin tidak perlu," terang Nila.
Bukan Kelelahan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga siap terlibat dalam penyelidikan kematian KPPS. Namun dari pendataan awal, Ketua Umum Pengurus Besar IDI M Faqih menilai kematian petugas KPPS bukan karena kelelahan, melainkan penyakit yang sudah dideritanya.
Indikasi ini dilihat dari kematian mendadak KPPS dalam jumlah besar dalam kurun waktu yang singkat. “IDI berpendapat bahwa kelelahan bukanlah penyebab langsung kematian, namun dapat jadi salah satu faktor pemicu atau pemberat sebab kematian,” kata Daeng.
Dia menerangkan bahwa petugas KPPS yang meninggal telah memiliki penyakit sebelumnya, sehingga saat mendapatkan pekerjaan yang berat membuat sangat kelelahan dan memperberat untuk menjadi penyakit tertentu.
“Kelelahan yang memicu penyakit tertentu, penyakit itu yang menyebabkan kematian. Salah satu ya, kelelahan hanya salah satu faktor risiko saja yang memicu atau memperberat menjadi suatu penyakit, jadi bukan karena kelelahan,” kata Daeng.
Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan, Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Tri Hesty Widyastoeti menjelaskan, kematian KPPS paling banyak disebabkan oleh penyakit jantung dan stroke.
Ahli penyakit dalam Prof Zubairi Djoerban SpPD, KHOM menyebutkan faktor kelelahan, dehidrasi, dan stres dapat memicu terjadinya serangan jantung dan stroke yang bisa menyebabkan kematian. Namun, Prof Zubairi menegaskan hal tersebut bukanlah faktor tunggal, melainkan ada faktor-faktor lainnya yang memperparah penyakit. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih mendalam untuk memastikan apa penyebab kematian petugas KPPS.
Daeng Faqih menegaskan, IDI sebagai organisasi profesi siap membantu semua pihak yang berwenang dan bertanggung jawab untuk melakukan penelitian mendalam, dan atau investigasi yang objektif dan berbasis keilmuan terhadap kejadian kematian petugas KPPS tersebut.
(don)