Syarat Sehat untuk Menjadi KPPS Perlu Diperketat
A
A
A
JAKARTA - Proses seleksi aspek kesehatan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) ke depan perlu lebih diperketat. Longgarnya syarat sehat dan beban kerja yang berlebih pada Pemilu serentak kali ini menjadi faktor utama pemicu tingginya kematian mereka.
Hingga kemarin, jumlah KPPS yang meninggal setelah bertugas pada pemungutan suara 17 April lalu telah mencapai angka 500 lebih orang. Terus bertambahnya petugas yang meninggal ini sangat memprihatinkan.
Pemerintah bersama-sama penyelenggara pemilu dan pihak-pihak terkait perlu segera mengevaluasi serta merumuskan standar kesehatan yang memadai untuk petugas KPPS ke depan. Dengan standar baik, maka penyelenggaraan pemilu akan lebih berkualitas dan terhindar dari upaya delegitimasi dari kelompok-kelompok yang tidak puas.
Rekomendari agar standar kesehatan petugas KPPS diperbaiki muncul dari berbagai pihak, antara lain dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), DPR, KPU, Bawaslu dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kemenkes menyatakan, kematian para petugas KPPS selama ini akibat terserang 13 jenis penyakit dan satu kasus lantaran kecelakaan. Penyakit-penyakit yang menyerang para korban adalah infarct myocard, gagal jantung, koma hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes mellitus, gagal ginjal, TBC dan kegagalan multiorgan.
Data tersebut didapatkan Kemenkes dari penyelidikan atas penyebab kematian petugas KPPS di 15 provinsi. Berdasarkan data lapangan, korban rata-rata yang meninggal berada di usia 50-59 tahun. Sekretaris Jenderal Kemenkes Oscar Primadi mengatakan, pihaknya akan membahas penyebab meninggalkan petugas KPPS ini bersama KPU dalam waktu dekat ini. “Nantinya kita akan bahas bersama KPU untuk perencanaan Pemilu mendatang," kata Oscar dalam keterangan tertulisnya, kemarin.
Oscar berharap, petugas Pemilu yang dipekerjakan nantinya diupayakan mempunyai kondisi kesehatan yang baik dan lingkungan pekerjaan yang sehat. Selain itu, petugas juga tidak merokok dan tidak terpapar oleh asap rokok, ruangan yang cukup luas, dan ritme kerja atau jam kerja yang diatur dengan baik. “Rekomendasi lain adalah perlunya porsi istirahat yang cukup,” jelas Oscar.
Lemah Deteksi
Di luar faktor kelelahan, banyaknya KPPS ini juga diduga diakibatkan lemahnya deteksi riwayat penyakit yang dimiliki sebagian petugas. KPU dan Bawaslu tak mengelak dari investigas awal, banyak petugas meninggal lantaran sebelumnya sudah memiliki riwayat sakit.
Namun pada Pemilu 2019 belum memungkinkan dilakukan seleksi KPPS dengan mendasarkan syarat rekam medis. "Agak susah mendeteksi rekam medis para petugas ketika rekrutmen. Karena biayanya juga besar," terang Komisioner Bawaslu Rahmat Bagja.
Atas munculnya tragedi ini, Bawaslu akan melakukan evaluasi terhadap proses rekrutmen petugas pemilu ad hoc baik KPPS dan pengawas tempat pemungutan suara (PTPS) agar tidak terjadi hal serupa pada pemilu selanjutnya. Bawaslu juga sudah banyak diminta kerja sama dengan berbagai pihak agar melakukan investigasi terkait banyaknya petugas pemilu ad hoc yang menjadi korban dalam pemilu.
Ketua KPU Arief Budiman juga mengungkapkan faktor kelelahan menjadi salah satu penyebab banyaknya jatuh korban pada Pemilu kali ini. Faktor lain adalah adanya riwayat sakit para petugas. “Ada yang jantung, hipertensi. Tapi saya bukan dokter ya, saya enggak bisa menyimpulkan sampai sejauh itu," ujarnya.
Dengan tegas Arief juga membantah kabar viral adanya anggota KPPS yang meninggal karena diracun. Menurutnya, sejauh ini tidak ada laporan yang menyebut petugas KPPS meninggal karena diracun.
Untuk mengatasi kelelahan, KPU sebenarnya sudah mengantisipasi dengan mengurangi jumlah pemilih di tiap TPS yang awalnya 500 orang menjadi 300 orang. "KPU melakukan simulasi dan KPU melihat ada kemungkinan itu. Jadi kami antisipasi," katanya.
Soal evaluasi, Komisioner KPU Ilham Sahputra menyatakan, pihaknya siap bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengantisipasi agar kasus serupa tidak terjadi lagi. "Kami tidak ingin bilang bahwa ada rekayasa dan sebagainya, karena memang kami tidak melakukan apapun. Tapi mari kita evaluasi bersama-sama nanti setelah pemilu ini tahapannya selesai," tandas dia.
Kejadian Luar Biasa
Kalangan kampus juga memberikan perhatian atas banyak petugas KPPS yang meninggal. UGM misalnya saat ini tengah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Kajian Pemilu yang bertugas khusus menyelidiki kasus ini. Tim pokja ini melibatkan tiga fakultas, yakni Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Psikologi dan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK). Saat ini, tim sudah turun ke lapangan. Sebelumnya tim juga menggelar diskusi dengan melibatkan berbagai akademisi.
Dalam diskusi awal muncul dugaan adanya beban kerja berlebih yang dibebankan kepada petugas Pemilu. UGM juga menemukan indikasi suatu persoalan dalam proses perekrutan petugas KPPS. "Misalnya tim dokter mengatakan surat keterangan sehat itu sering kali dibuat secara borongan dan tidak didasarkan pada pemeriksaan kesehatan yang memadai," kata Abdul Gaffar Karim, dosen Fisipol UGM selaku Koordinator Pokja Kajian Pemilu UGM, Kamis (10/5).
Tak hanya itu ada sejumlah dugaan lain mengenai penyebab kasus tersebut antara lain tekanan dari elite politik. “Tapi kami akan pastikan hasil kajian lapangan lebih dulu," katanya.
Gaffar juga menyatakan bahwa banyaknya kasus kematian petugas KPPS ini tergolong kejadian luar biasa. Toh begitu, pihaknya menilai kasus ini tidak ada kaitan dengan upaya delegitimasi pemilu.
Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta kasus ini segera dicari tahu penyebab dan solusinya. Sebenarnya bukan hanya di Pemilu 2019 ini saja yang memakan banyak korban petugas penyelenggara. Saat Pemilu 2014 yang tidak serumit sekarang jumlah kematian petugas KPPS juga ada. Berdasarkan data KPU yang meninggal (saat itu) mencapai 144 orang dan tanpa ada santunan.
Data itu sebenarnya sudah diantisipasi oleh KPU dan DPR bersama pemerintah dalam setiap pembahasan di Komisi II. Itulah sebabnya mengapa beban jumlah pemilih di setiap TPS pada Pemilu 2019 ini dikurangi atau dibatasi maksimum 300 orang. “Dari berbagai informasi yang kami peroleh, selain faktor umur, riwayat kesehatan, beban kerja serta tekanan psikologis di mana semua pihak ingin menang juga ikut memberi andil salah satu penyebab petugas di lapangan meninggal dunia,” terangnya.
Pihaknya juga mendorong Komnas HAM untuk tidak terpengaruh adanya teori konspirasi dari pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu.
Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria mengatakan, sejak awal dalam penyusunan UU Pemilu, pihaknya mengusulkan agar adanya asuransi untuk petugas pemilu. Namun dua kali rapat dengan KPU, pengajuan asuransi tidak disetujui pemerintah. (Abdul Rochim/Mula Akmal/Ainun Najib/iNews.id)
Hingga kemarin, jumlah KPPS yang meninggal setelah bertugas pada pemungutan suara 17 April lalu telah mencapai angka 500 lebih orang. Terus bertambahnya petugas yang meninggal ini sangat memprihatinkan.
Pemerintah bersama-sama penyelenggara pemilu dan pihak-pihak terkait perlu segera mengevaluasi serta merumuskan standar kesehatan yang memadai untuk petugas KPPS ke depan. Dengan standar baik, maka penyelenggaraan pemilu akan lebih berkualitas dan terhindar dari upaya delegitimasi dari kelompok-kelompok yang tidak puas.
Rekomendari agar standar kesehatan petugas KPPS diperbaiki muncul dari berbagai pihak, antara lain dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), DPR, KPU, Bawaslu dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kemenkes menyatakan, kematian para petugas KPPS selama ini akibat terserang 13 jenis penyakit dan satu kasus lantaran kecelakaan. Penyakit-penyakit yang menyerang para korban adalah infarct myocard, gagal jantung, koma hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes mellitus, gagal ginjal, TBC dan kegagalan multiorgan.
Data tersebut didapatkan Kemenkes dari penyelidikan atas penyebab kematian petugas KPPS di 15 provinsi. Berdasarkan data lapangan, korban rata-rata yang meninggal berada di usia 50-59 tahun. Sekretaris Jenderal Kemenkes Oscar Primadi mengatakan, pihaknya akan membahas penyebab meninggalkan petugas KPPS ini bersama KPU dalam waktu dekat ini. “Nantinya kita akan bahas bersama KPU untuk perencanaan Pemilu mendatang," kata Oscar dalam keterangan tertulisnya, kemarin.
Oscar berharap, petugas Pemilu yang dipekerjakan nantinya diupayakan mempunyai kondisi kesehatan yang baik dan lingkungan pekerjaan yang sehat. Selain itu, petugas juga tidak merokok dan tidak terpapar oleh asap rokok, ruangan yang cukup luas, dan ritme kerja atau jam kerja yang diatur dengan baik. “Rekomendasi lain adalah perlunya porsi istirahat yang cukup,” jelas Oscar.
Lemah Deteksi
Di luar faktor kelelahan, banyaknya KPPS ini juga diduga diakibatkan lemahnya deteksi riwayat penyakit yang dimiliki sebagian petugas. KPU dan Bawaslu tak mengelak dari investigas awal, banyak petugas meninggal lantaran sebelumnya sudah memiliki riwayat sakit.
Namun pada Pemilu 2019 belum memungkinkan dilakukan seleksi KPPS dengan mendasarkan syarat rekam medis. "Agak susah mendeteksi rekam medis para petugas ketika rekrutmen. Karena biayanya juga besar," terang Komisioner Bawaslu Rahmat Bagja.
Atas munculnya tragedi ini, Bawaslu akan melakukan evaluasi terhadap proses rekrutmen petugas pemilu ad hoc baik KPPS dan pengawas tempat pemungutan suara (PTPS) agar tidak terjadi hal serupa pada pemilu selanjutnya. Bawaslu juga sudah banyak diminta kerja sama dengan berbagai pihak agar melakukan investigasi terkait banyaknya petugas pemilu ad hoc yang menjadi korban dalam pemilu.
Ketua KPU Arief Budiman juga mengungkapkan faktor kelelahan menjadi salah satu penyebab banyaknya jatuh korban pada Pemilu kali ini. Faktor lain adalah adanya riwayat sakit para petugas. “Ada yang jantung, hipertensi. Tapi saya bukan dokter ya, saya enggak bisa menyimpulkan sampai sejauh itu," ujarnya.
Dengan tegas Arief juga membantah kabar viral adanya anggota KPPS yang meninggal karena diracun. Menurutnya, sejauh ini tidak ada laporan yang menyebut petugas KPPS meninggal karena diracun.
Untuk mengatasi kelelahan, KPU sebenarnya sudah mengantisipasi dengan mengurangi jumlah pemilih di tiap TPS yang awalnya 500 orang menjadi 300 orang. "KPU melakukan simulasi dan KPU melihat ada kemungkinan itu. Jadi kami antisipasi," katanya.
Soal evaluasi, Komisioner KPU Ilham Sahputra menyatakan, pihaknya siap bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengantisipasi agar kasus serupa tidak terjadi lagi. "Kami tidak ingin bilang bahwa ada rekayasa dan sebagainya, karena memang kami tidak melakukan apapun. Tapi mari kita evaluasi bersama-sama nanti setelah pemilu ini tahapannya selesai," tandas dia.
Kejadian Luar Biasa
Kalangan kampus juga memberikan perhatian atas banyak petugas KPPS yang meninggal. UGM misalnya saat ini tengah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Kajian Pemilu yang bertugas khusus menyelidiki kasus ini. Tim pokja ini melibatkan tiga fakultas, yakni Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Psikologi dan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK). Saat ini, tim sudah turun ke lapangan. Sebelumnya tim juga menggelar diskusi dengan melibatkan berbagai akademisi.
Dalam diskusi awal muncul dugaan adanya beban kerja berlebih yang dibebankan kepada petugas Pemilu. UGM juga menemukan indikasi suatu persoalan dalam proses perekrutan petugas KPPS. "Misalnya tim dokter mengatakan surat keterangan sehat itu sering kali dibuat secara borongan dan tidak didasarkan pada pemeriksaan kesehatan yang memadai," kata Abdul Gaffar Karim, dosen Fisipol UGM selaku Koordinator Pokja Kajian Pemilu UGM, Kamis (10/5).
Tak hanya itu ada sejumlah dugaan lain mengenai penyebab kasus tersebut antara lain tekanan dari elite politik. “Tapi kami akan pastikan hasil kajian lapangan lebih dulu," katanya.
Gaffar juga menyatakan bahwa banyaknya kasus kematian petugas KPPS ini tergolong kejadian luar biasa. Toh begitu, pihaknya menilai kasus ini tidak ada kaitan dengan upaya delegitimasi pemilu.
Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta kasus ini segera dicari tahu penyebab dan solusinya. Sebenarnya bukan hanya di Pemilu 2019 ini saja yang memakan banyak korban petugas penyelenggara. Saat Pemilu 2014 yang tidak serumit sekarang jumlah kematian petugas KPPS juga ada. Berdasarkan data KPU yang meninggal (saat itu) mencapai 144 orang dan tanpa ada santunan.
Data itu sebenarnya sudah diantisipasi oleh KPU dan DPR bersama pemerintah dalam setiap pembahasan di Komisi II. Itulah sebabnya mengapa beban jumlah pemilih di setiap TPS pada Pemilu 2019 ini dikurangi atau dibatasi maksimum 300 orang. “Dari berbagai informasi yang kami peroleh, selain faktor umur, riwayat kesehatan, beban kerja serta tekanan psikologis di mana semua pihak ingin menang juga ikut memberi andil salah satu penyebab petugas di lapangan meninggal dunia,” terangnya.
Pihaknya juga mendorong Komnas HAM untuk tidak terpengaruh adanya teori konspirasi dari pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu.
Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria mengatakan, sejak awal dalam penyusunan UU Pemilu, pihaknya mengusulkan agar adanya asuransi untuk petugas pemilu. Namun dua kali rapat dengan KPU, pengajuan asuransi tidak disetujui pemerintah. (Abdul Rochim/Mula Akmal/Ainun Najib/iNews.id)
(nfl)