Transportasi Massal di Kota- kota Penyangga
A
A
A
SALAH satu persoalan di wilayah Jabodetabek adalah transportasi, baik transportasi pribadi maupun transportasi massal. Akibatnya kemacetan yang disebabkan arena volume kendaraan, sistem transportasi massal yang tidak terintegrasi, dan perilaku berkendara terus menjadi persoalan yang seolah sulit untuk dipecahkan. Bak penyakit, kemacetan bagi wilayah Jabodetabek masuk stadium akut. Penanganan ini butuh waktu yang lama dan keseriusan dari semua stakeholder . Bukan hanya persoalan pemerintahan daerah, tetapi juga pihak swasta dan masyarakatnya.
Bahkan rencana pemindahan ibu kota DKI Jakarta juga dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan ini. Mau tak mau, pemindahan ibu kota dari DKI ke wilayah lain (konon ke luar Pulau Jawa) adalah cara menyerah dalam mengatasi kemacetan di Jabodetabek. Tentu ada persoalan lain yang juga menjadi pertimbangan, di antaranya banjir, polusi, dan pemerataan ekonomi. Bisa jadi, dengan memindahkan ibu kota ke luar Jakarta, Jabodetabek akan jadi tidak terlalu macet. Karena mungkin Jakarta dan sekitarnya akan menjadi pusat ekonomi bagi bangsa ini.
Namun sepatutnya kita memberikan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi DKI maupun pemerintah pusat. Keberadaan commuter line dalam beberapa tahun ini bisa menjadi wajah baru sistem transportasi massal yang baik. TransJakarta yang ada saat ini pun sudah memberikan pelayanan yang baik juga bagi masyarakat. MRT yang baru saja hadir, juga bagian dari solusi untuk menata Jabodetabek sebagai wilayah yang tidak terbebani dengan persoalan kemacetan. Rencana pengoperasian LRT juga tampaknya akan semakin membuat wajak Jabodetabek lebih baik lagi. Rencana baru yaitu menghidupkan Trem dengan menggunakan jalur TransJakarta (busway ) juga bisa menjadi jalan keluar. Belum lagi penambahan ruas jalan tol di Jabodetabek.
Dalam delapan tahun terakhir harus diakui, sistem transportasi massal di Jabodetabek telah menunjukkan perkembangan yang cukup siginifikan. Kehadiran transportasi massal di atas dan tidak adanya lagi bus-bus kota yang tak layak, menunjukkan bahwa Jaboedatek melawan kemacetan. Salah satu yang belum dilakukan secara optimal adalah pengintegrasian moda transportasi massal dan pengintegrasian daerah. Dua hal soal pengintegrasian di atas memang membutuhkan kedewasaan para pimpinan wilayah Jabodetabek. Peran pemerintah pusat pun harus dioptimalkan agar ego sektoral tidak terjadi. Mobilisasi penduduk di Jakarta adalah karena adanya kota-kota penyangga seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor. Semestinya mereka intens untuk mengatasi persoalan ini.
Tidak bisa lagi dikatakan kemacetan hanya ada di DKI. Coba dilihat ketika akhir pekan (Sabtu dan Minggu). Justru kemacetan ada di wilayah kota-kota penyangga. Artinya kota-kota penyangga mempunyai persoalan yang sama seperti DKI dan solusinya harus benar-benar terintegrasi dengan DKI. Bayangkan, wilayah kesemrawutan jalan-jalan di Bogor dan Depok akibat angkutan umum yang tidak tertata dengan baik. Bukankah DKI Jakarta bisa menjadi contoh dengan mampu pelan-pelan menghilangkan bus-bus umum tak layak dan sulit diatur dalam sistem transportasi massal yang baik.
Kota-kota penyangga semestinya bisa melihat wajah DKI Jakarta yang saat ini mulai tertata cukup rapi untuk persoalan sistem transportasi massal. Memang akan menghadapi tantangan yang cukup berat untuk menata sistem transportasi massal. Namun harus dilakukan sekarang. Karena kalau tidak sekarang, persoalan ini akan menumpuk. Ketika persoalan ini terus menumpuk, akan terjadi pembiaran karena sulit diurai dan akhirnya akan menjadi kota yang tidak layak dan nyaman dihuni.
Saat ini belum telat untuk membenahi transportasi massal di Bogor, Depok, Bekasi maupun Tangerang. Kota-kota penyangga ini memiliki persoalan yang hampir sama dengan DKI. Jika DKI sudah berbenah, kota-kota penyangga harus mulai berbenah dari sekarang.
Bahkan rencana pemindahan ibu kota DKI Jakarta juga dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan ini. Mau tak mau, pemindahan ibu kota dari DKI ke wilayah lain (konon ke luar Pulau Jawa) adalah cara menyerah dalam mengatasi kemacetan di Jabodetabek. Tentu ada persoalan lain yang juga menjadi pertimbangan, di antaranya banjir, polusi, dan pemerataan ekonomi. Bisa jadi, dengan memindahkan ibu kota ke luar Jakarta, Jabodetabek akan jadi tidak terlalu macet. Karena mungkin Jakarta dan sekitarnya akan menjadi pusat ekonomi bagi bangsa ini.
Namun sepatutnya kita memberikan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi DKI maupun pemerintah pusat. Keberadaan commuter line dalam beberapa tahun ini bisa menjadi wajah baru sistem transportasi massal yang baik. TransJakarta yang ada saat ini pun sudah memberikan pelayanan yang baik juga bagi masyarakat. MRT yang baru saja hadir, juga bagian dari solusi untuk menata Jabodetabek sebagai wilayah yang tidak terbebani dengan persoalan kemacetan. Rencana pengoperasian LRT juga tampaknya akan semakin membuat wajak Jabodetabek lebih baik lagi. Rencana baru yaitu menghidupkan Trem dengan menggunakan jalur TransJakarta (busway ) juga bisa menjadi jalan keluar. Belum lagi penambahan ruas jalan tol di Jabodetabek.
Dalam delapan tahun terakhir harus diakui, sistem transportasi massal di Jabodetabek telah menunjukkan perkembangan yang cukup siginifikan. Kehadiran transportasi massal di atas dan tidak adanya lagi bus-bus kota yang tak layak, menunjukkan bahwa Jaboedatek melawan kemacetan. Salah satu yang belum dilakukan secara optimal adalah pengintegrasian moda transportasi massal dan pengintegrasian daerah. Dua hal soal pengintegrasian di atas memang membutuhkan kedewasaan para pimpinan wilayah Jabodetabek. Peran pemerintah pusat pun harus dioptimalkan agar ego sektoral tidak terjadi. Mobilisasi penduduk di Jakarta adalah karena adanya kota-kota penyangga seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor. Semestinya mereka intens untuk mengatasi persoalan ini.
Tidak bisa lagi dikatakan kemacetan hanya ada di DKI. Coba dilihat ketika akhir pekan (Sabtu dan Minggu). Justru kemacetan ada di wilayah kota-kota penyangga. Artinya kota-kota penyangga mempunyai persoalan yang sama seperti DKI dan solusinya harus benar-benar terintegrasi dengan DKI. Bayangkan, wilayah kesemrawutan jalan-jalan di Bogor dan Depok akibat angkutan umum yang tidak tertata dengan baik. Bukankah DKI Jakarta bisa menjadi contoh dengan mampu pelan-pelan menghilangkan bus-bus umum tak layak dan sulit diatur dalam sistem transportasi massal yang baik.
Kota-kota penyangga semestinya bisa melihat wajah DKI Jakarta yang saat ini mulai tertata cukup rapi untuk persoalan sistem transportasi massal. Memang akan menghadapi tantangan yang cukup berat untuk menata sistem transportasi massal. Namun harus dilakukan sekarang. Karena kalau tidak sekarang, persoalan ini akan menumpuk. Ketika persoalan ini terus menumpuk, akan terjadi pembiaran karena sulit diurai dan akhirnya akan menjadi kota yang tidak layak dan nyaman dihuni.
Saat ini belum telat untuk membenahi transportasi massal di Bogor, Depok, Bekasi maupun Tangerang. Kota-kota penyangga ini memiliki persoalan yang hampir sama dengan DKI. Jika DKI sudah berbenah, kota-kota penyangga harus mulai berbenah dari sekarang.
(pur)