KPK Buka Penyelidikan Baru Kasus Dugaan Suap Kemenpora
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka penyelidikan baru kasus dugaan suap pengurusan pengesahan dan pencairan dana hibah yang sebelumnya diajukan KONI Pusat kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, ada sejumlah fakta yang muncul dalam persidangan dua terdakwa pemberi suap terkait pengajuan dan pengesahan hingga pencairan dana hibah tahun anggaran 2018 dari Kemenpora ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Dua terdakwa itu adalah Sekretaris Jenderal KONI Pusat Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Pusat Jhony E Awuy.
Fakta-fakta yang muncul di antaranya sudah ada kesepakatan antara pejabat Kemenpora salah satunya Asisten Pribadi Menpora Miftahul Ulum dengan KONI Pusat untuk penyediaan fee berupa cashback, alokasi disertai penyerahan uang untuk para pejabat Kemenpora termasuk Rp11,5 miliar ke Miftahul Ulum dengan di antaranya untuk Menpora Imam Nahrawi.
Nahrawi selaku menpora juga memberikan disposisi ke staf ahlinya dan Ulum untuk menindaklanjuti dua proposal yang diajukan KONI Pusat, tidak adanya pengawasan dan evaluasi menpora terhadap total lebih Rp47,971 miliar yang dicairkan Kemenpora ke KONI Pusat, hingga adanya kesepakatan setiap tahun untuk pemberian fee ke para pejabat Kemenpora atas dana hibah sebelum 2018.
Febri mengatakan, fakta-fakta tersebut telah diungkap dan disampaikan sejumlah saksi baik dari unsur pejabat dan pegawai Kemenpora maupun pejabat dan pegawai KONI Pusat, diakui dan dipastikan terdakwa Hamidy dan Jhony, dan didukung dengan bukti-bukti yang dihadirkan dan dibuka Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK dalam persidangan.
Febri membenarkan, saat disinggung penyelidikan baru terkait dugaan keterlibatan dan penerimaan Imam Nahrawi dan Miftahul Ulum setelah mencermati fakta-fakta persidangan. “Untuk penyelidikan itu, saya kira belum bisa disampaikan dan dibuka ke publik. Jadi, kami belum bicara tentang tersangka baru. Karena poses persidangan masih berjalan, kami cermati dan tindaklanjuti fakta-fakta persidangan,” ungkap Febri saat dikonfirmasi, kemarin.
Mantan pegawai fungsional pada Direktorat Gratifikasi KPK ini menyatakan, KPK mempersilakan Imam Nahrawi dan Miftahul Ulum membantah terlibat dan membantah menerima uang dari KONI Pusat serta menggunakannya. Yang pasti, semua fakta yang muncul telah mengonfirmasi apa yang sebenarnya terjadi.
Selain itu, dalam berbagai kasus atau perkara yang ditangani KPK sering kali tidak hanya bergantung pada pengakuan atau bantahan saksi. “Saat ini saya belum bisa bicara unsur delik pidananya. Saya kira fakta-faktanya tidak mungkin saya sampaikan di sini karena sudah muncul dan dibuka di muka proses persidangan,” tandasnya.
Febri melanjutkan, KPK tidak mau berkomentar banyak tentang informasi tentang rencana pengunduran diri Nahrawi dari jabatan menpora setelah menjadi saksi dalam persidangan terdakwa Hamidy dan Jhony di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (29/4) malam. Bagi KPK, silakan saja jika ada seorang pejabat publik atau penyelenggara negara yang mau mengundurkan diri.
Di sisi lain, ketika pejabat pejabat publik atau penyelenggara negara sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, maka sebaiknya mengundurkan diri. “Beberapa tersangka di KPK memang ada yang mengundurkan diri dari jabatannya. Pengunduran diri itu domain pribadi masing-masing,” ujarnya.
Sebelumnya, Imam Nahrawi menjadi saksi dalam persidangan terdakwa Sekretaris Jenderal KONI Pusat Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Pusat Jhony E Awuy di Pengadilan Tipikor, Senin (29/4) malam. Nahrawi mengatakan, ada dua proposal yang diajukan KONI Pusat ke Kemenpora pada 2018. Surat dan proposal ditujukan ke Imam selaku menpora.
Setelah menerimanya, Imam memberikan disposisi ke Mulyana selaku deputi IV dan tim verifikasi. Selain itu ada juga yang didisposisikan ke beberapa pihak termasuk Miftahul Ulum sebagai aspri menpora. Karenanya, Nahrawi mengaku tidak mengetahui semua terkait proses verifikasi hingga jumlah dana hibah untuk KONI Pusat yang disetujui dan dicairkan serta pendantanganan MoU (nota kesepakatan).
Nahrawi membenarkan, sampai saat ini dia selaku menpora tidak melakukan pengawasan, evaluasi, dan meminta pertanggungjawaban penggunaan uang dana hibah yang diterima KONI Pusat. “Saya tidak tahu. Memang saya juga tidak pernah melakukan pengawasan, karena saya sudah mendelegasikan kewenangan. Untuk pengawasan dan pertanggungjawaban itu oleh APIP, evaluasi kemudian sekarang dilakukan oleh BPK,” ungkap Nahrawi di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Politikus PKB ini memastikan tahu dan kenal staf protokoler menpora bernama Arief Susanto. Nahrawi mengklaim tidak tahu menahu tentang kesepakatan fee cash back dan penerimaan uang oleh para pejabat Kemenpora dari KONI termasuk Rp3 miliar yang diterima Ulum melalui Arief Susanto.
JPU lantas membuka catatan alokasi dan penyerahan uang milik Ending Fuad Hamidy termasuk angka Rp1,5 miliar untuk “M” sebagai perujuk menpora dan Rp500 juta untuk “Ul” yakni Ulum. Nahrawi mengklaim tidak mengetahui total penyerahan dan penerimaan uang-uang tersebut.
“Saya tidak tahu. Saya juga tidak pernah menerima uang. Untuk kesaksian sebelumnya tentang Rp300 juta yang kata saksi untuk Muktamar NU, saya sudah bertanya ke Panitia Muktamar setelah saya baca beritanya. Panitia Muktamar memastikan tidak ada itu. Karena faktanya Muktamar itu tahun 2015 bukan 2016. Saya juga tidak tahu terdakwa Pak Hamidy ke Muktamar atau tidak,” tandasnya.
Nahrawi mengungkapkan, Ulum dan Arief memang ikut umrah pada sekitar November 2018 yang dirangkai dengan memenuhi undangan Federasi Asia Paralayang di Arab Saudi dan kepentingan bidding. Tapi, Nahrawi mengakui tidak mengetahui penerimaan kartu ATM oleh Ulum dan penggunaan uangnya.
Untuk biaya umrah berasal dari Sekretariat Jenderal Kemenpora dan ada juga dari kedeputian. “Untuk undangan federasi itu perjalanan dinas. Jadi menggunakan anggaran Kemenpora. Tapi sekalian sebagai muslim juga melaksanakan ibadah umrah,” ungkapnya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, ada sejumlah fakta yang muncul dalam persidangan dua terdakwa pemberi suap terkait pengajuan dan pengesahan hingga pencairan dana hibah tahun anggaran 2018 dari Kemenpora ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Dua terdakwa itu adalah Sekretaris Jenderal KONI Pusat Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Pusat Jhony E Awuy.
Fakta-fakta yang muncul di antaranya sudah ada kesepakatan antara pejabat Kemenpora salah satunya Asisten Pribadi Menpora Miftahul Ulum dengan KONI Pusat untuk penyediaan fee berupa cashback, alokasi disertai penyerahan uang untuk para pejabat Kemenpora termasuk Rp11,5 miliar ke Miftahul Ulum dengan di antaranya untuk Menpora Imam Nahrawi.
Nahrawi selaku menpora juga memberikan disposisi ke staf ahlinya dan Ulum untuk menindaklanjuti dua proposal yang diajukan KONI Pusat, tidak adanya pengawasan dan evaluasi menpora terhadap total lebih Rp47,971 miliar yang dicairkan Kemenpora ke KONI Pusat, hingga adanya kesepakatan setiap tahun untuk pemberian fee ke para pejabat Kemenpora atas dana hibah sebelum 2018.
Febri mengatakan, fakta-fakta tersebut telah diungkap dan disampaikan sejumlah saksi baik dari unsur pejabat dan pegawai Kemenpora maupun pejabat dan pegawai KONI Pusat, diakui dan dipastikan terdakwa Hamidy dan Jhony, dan didukung dengan bukti-bukti yang dihadirkan dan dibuka Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK dalam persidangan.
Febri membenarkan, saat disinggung penyelidikan baru terkait dugaan keterlibatan dan penerimaan Imam Nahrawi dan Miftahul Ulum setelah mencermati fakta-fakta persidangan. “Untuk penyelidikan itu, saya kira belum bisa disampaikan dan dibuka ke publik. Jadi, kami belum bicara tentang tersangka baru. Karena poses persidangan masih berjalan, kami cermati dan tindaklanjuti fakta-fakta persidangan,” ungkap Febri saat dikonfirmasi, kemarin.
Mantan pegawai fungsional pada Direktorat Gratifikasi KPK ini menyatakan, KPK mempersilakan Imam Nahrawi dan Miftahul Ulum membantah terlibat dan membantah menerima uang dari KONI Pusat serta menggunakannya. Yang pasti, semua fakta yang muncul telah mengonfirmasi apa yang sebenarnya terjadi.
Selain itu, dalam berbagai kasus atau perkara yang ditangani KPK sering kali tidak hanya bergantung pada pengakuan atau bantahan saksi. “Saat ini saya belum bisa bicara unsur delik pidananya. Saya kira fakta-faktanya tidak mungkin saya sampaikan di sini karena sudah muncul dan dibuka di muka proses persidangan,” tandasnya.
Febri melanjutkan, KPK tidak mau berkomentar banyak tentang informasi tentang rencana pengunduran diri Nahrawi dari jabatan menpora setelah menjadi saksi dalam persidangan terdakwa Hamidy dan Jhony di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (29/4) malam. Bagi KPK, silakan saja jika ada seorang pejabat publik atau penyelenggara negara yang mau mengundurkan diri.
Di sisi lain, ketika pejabat pejabat publik atau penyelenggara negara sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, maka sebaiknya mengundurkan diri. “Beberapa tersangka di KPK memang ada yang mengundurkan diri dari jabatannya. Pengunduran diri itu domain pribadi masing-masing,” ujarnya.
Sebelumnya, Imam Nahrawi menjadi saksi dalam persidangan terdakwa Sekretaris Jenderal KONI Pusat Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Pusat Jhony E Awuy di Pengadilan Tipikor, Senin (29/4) malam. Nahrawi mengatakan, ada dua proposal yang diajukan KONI Pusat ke Kemenpora pada 2018. Surat dan proposal ditujukan ke Imam selaku menpora.
Setelah menerimanya, Imam memberikan disposisi ke Mulyana selaku deputi IV dan tim verifikasi. Selain itu ada juga yang didisposisikan ke beberapa pihak termasuk Miftahul Ulum sebagai aspri menpora. Karenanya, Nahrawi mengaku tidak mengetahui semua terkait proses verifikasi hingga jumlah dana hibah untuk KONI Pusat yang disetujui dan dicairkan serta pendantanganan MoU (nota kesepakatan).
Nahrawi membenarkan, sampai saat ini dia selaku menpora tidak melakukan pengawasan, evaluasi, dan meminta pertanggungjawaban penggunaan uang dana hibah yang diterima KONI Pusat. “Saya tidak tahu. Memang saya juga tidak pernah melakukan pengawasan, karena saya sudah mendelegasikan kewenangan. Untuk pengawasan dan pertanggungjawaban itu oleh APIP, evaluasi kemudian sekarang dilakukan oleh BPK,” ungkap Nahrawi di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Politikus PKB ini memastikan tahu dan kenal staf protokoler menpora bernama Arief Susanto. Nahrawi mengklaim tidak tahu menahu tentang kesepakatan fee cash back dan penerimaan uang oleh para pejabat Kemenpora dari KONI termasuk Rp3 miliar yang diterima Ulum melalui Arief Susanto.
JPU lantas membuka catatan alokasi dan penyerahan uang milik Ending Fuad Hamidy termasuk angka Rp1,5 miliar untuk “M” sebagai perujuk menpora dan Rp500 juta untuk “Ul” yakni Ulum. Nahrawi mengklaim tidak mengetahui total penyerahan dan penerimaan uang-uang tersebut.
“Saya tidak tahu. Saya juga tidak pernah menerima uang. Untuk kesaksian sebelumnya tentang Rp300 juta yang kata saksi untuk Muktamar NU, saya sudah bertanya ke Panitia Muktamar setelah saya baca beritanya. Panitia Muktamar memastikan tidak ada itu. Karena faktanya Muktamar itu tahun 2015 bukan 2016. Saya juga tidak tahu terdakwa Pak Hamidy ke Muktamar atau tidak,” tandasnya.
Nahrawi mengungkapkan, Ulum dan Arief memang ikut umrah pada sekitar November 2018 yang dirangkai dengan memenuhi undangan Federasi Asia Paralayang di Arab Saudi dan kepentingan bidding. Tapi, Nahrawi mengakui tidak mengetahui penerimaan kartu ATM oleh Ulum dan penggunaan uangnya.
Untuk biaya umrah berasal dari Sekretariat Jenderal Kemenpora dan ada juga dari kedeputian. “Untuk undangan federasi itu perjalanan dinas. Jadi menggunakan anggaran Kemenpora. Tapi sekalian sebagai muslim juga melaksanakan ibadah umrah,” ungkapnya.
(don)