Evaluasi Sistem Pemilu Serentak
A
A
A
Januari Sihotang
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM Yogyakarta
Secara umum, pemilu serentak pada 17 April 2019 lalu berjalan dengan baik. Yang paling perlu disyukuri, riuh kampanye dan polarisasi yang begitu tajam di media sosial ternyata tidak terjadi ketika hari pencoblosan. Kini masyarakat Indonesia tinggal menunggu hasil penghitungan suara yang menurut jadwal akan ditetapkan KPU pada 22 Mei mendatang.
Pemilu kali ini menjadi sejarah bagi bangsa Indonesia. Untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu anggota legislatif secara bersama-sama.
Dalam pelaksanaan secara teknis memang masih terdapat berbagai kendala. Dari sekitar 813.350 TPS, kurang lebih di 1.000 TPS harus dilakukan pemilu lanjutan akibat keterlambatan dan ketidakakuratan distribusi kertas suara. Selain itu Bawaslu merekomendasikan pemilu ulang di beberapa TPS karena adanya dugaan pelanggaran.
Masalah yang tidak bisa dipandang sebelah mata adalah terkait dengan daftar pemilih. Masalah ini seolah sudah menjadi tradisi di setiap perhelatan pemilu. Selain karena buruknya data kependudukan kita, pemahaman masyarakat yang tidak komprehensif terhadap Putusan MK Nomor 20/PUU -XVII/ 2019 juga menjadi faktor penyebabnya. Putusan MK yang dikeluarkan beberapa hari menjelang pencoblosan itu mengakibatkan sosialisasi KPU tidak maksimal. Padahal putusan MK tersebut memberikan angin segar kepada warga yang ingin berpartisipasi menjadi pemilih melalui Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Evaluasi Sistem
Selain masalah teknis pelaksanaan, ada beberapa aspek yang perlu dievaluasi dalam sistem pemilu serentak kali ini. Pertama, perlu dikaji kembali apakah memang pemilu presiden/wakil presiden, DPR, DPD, DPR provinsi, dan DPRD kabupaten harus dilaksanakan secara bersama-sama. Pengalaman kali ini membuktikan bahwa secara prosedural, pemilu serentak lima kotak sangat melelahkan, baik bagi pemilih maupun penyelenggara pemilu. Bahkan hingga saat ini sudah lebih dari 200 orang petugas KPPS dikabarkan meninggal dunia karena kelelahan.
Tidak hanya itu, secara substantif, dominasi perhatian publik terhadap pilpres menyebabkan pemilihan anggota legislatif (pileg) menjadi seakan terlupakan. Kampanye caleg sekadar sayup-sayup di tengah ingar-bingar perdebatan dan diskursus kampanye pilpres.
Keadaan demikian menyebabkan banyak nama caleg yang terasa asing di telinga pemilih. Banyak pemilih yang buta rekam jejak caleg pilihannya dan akhirnya mengutamakan faktor dominasi primordial seperti agama, suku, marga, dan profesi dalam menentukan pilihan. Tentu hal ini tidak berimplikasi baik terhadap munculnya anggota legislatif yang berkualitas dan berintegritas. Padahal dalam sistem ketatanegaraan kita, lembaga eksekutif dan legislatif memiliki peran yang sama-sama vital.
Di tengah rendahnya kinerja dan minimnya kepercayaan publik terhadap DPR, momentum pemilu justru seharusnya dijadikan ajang paling tepat dan konstitusional untuk memilih kandidat yang mampu menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran, dan fungsi pengawasan dengan baik. Oleh karena itu perlu dikaji kembali bagaimana agar pemilu serentak sama-sama berkontribusi positif terhadap kandidasi dan rekrutmen eksekutif dan legislatif.
Untuk mencari solusinya mungkin pembentuk Undang-Undang Pemilu perlu merenungkan kembali makna Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Perlu dipahami, secara konstitusi, kekeliruan pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden yang dilaksanakan sebelum keluarnya putusan MK tersebut sesungguhnya tidak terletak pada jadwal pelaksanaan pemilu. Jika berkaca pada ketentuan Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Di era pilpres langsung sebelum Pemilu 2019, sesungguhnya pelaksanaan pemilu tetap dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Hanya saja yang jadi masalah adalah ketika hasil pemilu legislatif dijadikan sebagai dasar atau syarat untuk pencalonan presiden dan wakil presiden.
Ke depan sudah selayaknya dipikirkan redesain pemilu serentak yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan putusan MK. Salah satu alternatifnya adalah memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional serentak dilakukan untuk memilih capres/cawapres, anggota DPR, dan anggota DPD. Adapun pemilu daerah serentak dilakukan untuk memilih calon kepala/wakil kepala daerah, anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Secara finansial, pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak terlalu membebani keuangan negara karena biayanya hampir sama dengan yang ada saat ini. Pembiayaannya juga dapat digabung dengan pembiayaan pilkada. Secara substansial, pemisahan ini memiliki dampak positif. Selain memberikan kesempatan lebih besar kepada pemilih untuk mengenali calonnya, gaung isu permasalahan daerah akan dapat diangkat lebih maksimal.
Kedua, masa kampanye selama tujuh bulan terlalu panjang. Selain boros secara finansial, kampanye panjang ini juga mengakibatkan energi bangsa ini banyak terkuras akibat perbedaan pilihan. Masa kampanye tiga atau empat bulan dirasakan cukup untuk sosialisasi kandidat. Kemudahan informasi dan kecanggihan teknologi sudah dapat dimaksimalkan untuk mengenal rekam jejak para kandidat.
Ketiga, keberadaan presidential threshold (PT) juga sepertinya perlu dipertimbangkan kembali. MK dalam beberapa putusannya sudah mengukuhkan bahwa PT ini sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU. Oleh karena itu harapan penghapusan PT lebih banyak diamanatkan kepada Presiden dan DPR. Pada prinsipnya open legal policy bukanlah kertas kosong yang bisa ditulis apa saja oleh pembentuk UU. Harus ada dasarnya, motifnya, tujuan atau terdapat kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan-pilihan itu.
Open legal policy bagai pedang bermata dua. Di satu sisi konsep ini memberikan kesempatan yang luas bagi pembentuk UU untuk mengatur negara dan meminimalkan kekosongan hukum. Namun di sisi lain hal tersebut juga membuka peluang kesewenang-wenangan pembentuk UU. Penulis menilai bahwa keberadaan PT sebagai open legal policy masih berpotensi menjadi permasalahan baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Memang, secara formil, pembentuk UU tidak melampaui kewenangannya dalam membuat PT. Namun secara materiil, DPR dan presiden berpotensi melakukan tindakan sewenang-wenang. Misalnya, seandainya koalisi partai pendukung calon presiden/wakil presiden menjadi mayoritas di DPR, bisa saja angka PT menjadi 50% dengan tujuan agar partai lain kesulitan membentuk koalisi baru. Apakah angka PT sebesar 50% tersebut masih demokratis? Tentu akan muncul perdebatan dan tafsir yang berbeda.
Mengutip Mahfud MD, konfigurasi politik yang ada sangat memengaruhi karakteristik hukum/UU yang terbentuk. Tanpa konfigurasi politik yang proporsional, akan sangat sulit bagi pembentuk UU untuk menentukan angka PT secara proporsional dan memberikan perlindungan terhadap keberagaman politik.
Praktik-praktik seperti itu tentu akan merusak tatanan demokrasi dan cenderung menuju oligarki dan otoritarianisme. Potensi ini sangat terbuka, apalagi Pasal 235 UU No 7 Tahun 2017 memberikan peluang akan hadirnya capres tunggal. Padahal paham konstitusionalisme yang dibangun dalam UUD 1945 menghendaki terbentuknya sistem demokrasi partisipatoris yang berorientasi pada terpenuhinya kesejahteraan rakyat sebagai perwujudan dari kebebasan secara positif.
Oleh karena itu tidak ada alasan yuridis dan sosiologis yang dapat diterima logika sehat mengapa pembentuk UU menentukan angka PT harus 20% dari kursi DPR atau 25% dari suara sah secara nasional dalam pemilu sebelumnya. Jika pembentuk UU memiliki pertimbangan proporsionalitas keragaman politis, harusnya PT dihapuskan dan setiap partai politik diberi hak untuk mencalonkan presiden/wakil presiden sendiri.Bagaimanapun, dalam kontestasi pilpres, konkretisasi dari ukuran keragaman dan aspirasi politik menurut konstitusi adalah partai politik itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari wewenang istimewa yang diberikan oleh konstitusi kepada partai politik maupun gabungan partai politik untuk mengusulkan calon presiden/wakil presiden.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM Yogyakarta
Secara umum, pemilu serentak pada 17 April 2019 lalu berjalan dengan baik. Yang paling perlu disyukuri, riuh kampanye dan polarisasi yang begitu tajam di media sosial ternyata tidak terjadi ketika hari pencoblosan. Kini masyarakat Indonesia tinggal menunggu hasil penghitungan suara yang menurut jadwal akan ditetapkan KPU pada 22 Mei mendatang.
Pemilu kali ini menjadi sejarah bagi bangsa Indonesia. Untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu anggota legislatif secara bersama-sama.
Dalam pelaksanaan secara teknis memang masih terdapat berbagai kendala. Dari sekitar 813.350 TPS, kurang lebih di 1.000 TPS harus dilakukan pemilu lanjutan akibat keterlambatan dan ketidakakuratan distribusi kertas suara. Selain itu Bawaslu merekomendasikan pemilu ulang di beberapa TPS karena adanya dugaan pelanggaran.
Masalah yang tidak bisa dipandang sebelah mata adalah terkait dengan daftar pemilih. Masalah ini seolah sudah menjadi tradisi di setiap perhelatan pemilu. Selain karena buruknya data kependudukan kita, pemahaman masyarakat yang tidak komprehensif terhadap Putusan MK Nomor 20/PUU -XVII/ 2019 juga menjadi faktor penyebabnya. Putusan MK yang dikeluarkan beberapa hari menjelang pencoblosan itu mengakibatkan sosialisasi KPU tidak maksimal. Padahal putusan MK tersebut memberikan angin segar kepada warga yang ingin berpartisipasi menjadi pemilih melalui Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Evaluasi Sistem
Selain masalah teknis pelaksanaan, ada beberapa aspek yang perlu dievaluasi dalam sistem pemilu serentak kali ini. Pertama, perlu dikaji kembali apakah memang pemilu presiden/wakil presiden, DPR, DPD, DPR provinsi, dan DPRD kabupaten harus dilaksanakan secara bersama-sama. Pengalaman kali ini membuktikan bahwa secara prosedural, pemilu serentak lima kotak sangat melelahkan, baik bagi pemilih maupun penyelenggara pemilu. Bahkan hingga saat ini sudah lebih dari 200 orang petugas KPPS dikabarkan meninggal dunia karena kelelahan.
Tidak hanya itu, secara substantif, dominasi perhatian publik terhadap pilpres menyebabkan pemilihan anggota legislatif (pileg) menjadi seakan terlupakan. Kampanye caleg sekadar sayup-sayup di tengah ingar-bingar perdebatan dan diskursus kampanye pilpres.
Keadaan demikian menyebabkan banyak nama caleg yang terasa asing di telinga pemilih. Banyak pemilih yang buta rekam jejak caleg pilihannya dan akhirnya mengutamakan faktor dominasi primordial seperti agama, suku, marga, dan profesi dalam menentukan pilihan. Tentu hal ini tidak berimplikasi baik terhadap munculnya anggota legislatif yang berkualitas dan berintegritas. Padahal dalam sistem ketatanegaraan kita, lembaga eksekutif dan legislatif memiliki peran yang sama-sama vital.
Di tengah rendahnya kinerja dan minimnya kepercayaan publik terhadap DPR, momentum pemilu justru seharusnya dijadikan ajang paling tepat dan konstitusional untuk memilih kandidat yang mampu menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran, dan fungsi pengawasan dengan baik. Oleh karena itu perlu dikaji kembali bagaimana agar pemilu serentak sama-sama berkontribusi positif terhadap kandidasi dan rekrutmen eksekutif dan legislatif.
Untuk mencari solusinya mungkin pembentuk Undang-Undang Pemilu perlu merenungkan kembali makna Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Perlu dipahami, secara konstitusi, kekeliruan pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden yang dilaksanakan sebelum keluarnya putusan MK tersebut sesungguhnya tidak terletak pada jadwal pelaksanaan pemilu. Jika berkaca pada ketentuan Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Di era pilpres langsung sebelum Pemilu 2019, sesungguhnya pelaksanaan pemilu tetap dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Hanya saja yang jadi masalah adalah ketika hasil pemilu legislatif dijadikan sebagai dasar atau syarat untuk pencalonan presiden dan wakil presiden.
Ke depan sudah selayaknya dipikirkan redesain pemilu serentak yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan putusan MK. Salah satu alternatifnya adalah memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional serentak dilakukan untuk memilih capres/cawapres, anggota DPR, dan anggota DPD. Adapun pemilu daerah serentak dilakukan untuk memilih calon kepala/wakil kepala daerah, anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Secara finansial, pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak terlalu membebani keuangan negara karena biayanya hampir sama dengan yang ada saat ini. Pembiayaannya juga dapat digabung dengan pembiayaan pilkada. Secara substansial, pemisahan ini memiliki dampak positif. Selain memberikan kesempatan lebih besar kepada pemilih untuk mengenali calonnya, gaung isu permasalahan daerah akan dapat diangkat lebih maksimal.
Kedua, masa kampanye selama tujuh bulan terlalu panjang. Selain boros secara finansial, kampanye panjang ini juga mengakibatkan energi bangsa ini banyak terkuras akibat perbedaan pilihan. Masa kampanye tiga atau empat bulan dirasakan cukup untuk sosialisasi kandidat. Kemudahan informasi dan kecanggihan teknologi sudah dapat dimaksimalkan untuk mengenal rekam jejak para kandidat.
Ketiga, keberadaan presidential threshold (PT) juga sepertinya perlu dipertimbangkan kembali. MK dalam beberapa putusannya sudah mengukuhkan bahwa PT ini sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU. Oleh karena itu harapan penghapusan PT lebih banyak diamanatkan kepada Presiden dan DPR. Pada prinsipnya open legal policy bukanlah kertas kosong yang bisa ditulis apa saja oleh pembentuk UU. Harus ada dasarnya, motifnya, tujuan atau terdapat kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan-pilihan itu.
Open legal policy bagai pedang bermata dua. Di satu sisi konsep ini memberikan kesempatan yang luas bagi pembentuk UU untuk mengatur negara dan meminimalkan kekosongan hukum. Namun di sisi lain hal tersebut juga membuka peluang kesewenang-wenangan pembentuk UU. Penulis menilai bahwa keberadaan PT sebagai open legal policy masih berpotensi menjadi permasalahan baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Memang, secara formil, pembentuk UU tidak melampaui kewenangannya dalam membuat PT. Namun secara materiil, DPR dan presiden berpotensi melakukan tindakan sewenang-wenang. Misalnya, seandainya koalisi partai pendukung calon presiden/wakil presiden menjadi mayoritas di DPR, bisa saja angka PT menjadi 50% dengan tujuan agar partai lain kesulitan membentuk koalisi baru. Apakah angka PT sebesar 50% tersebut masih demokratis? Tentu akan muncul perdebatan dan tafsir yang berbeda.
Mengutip Mahfud MD, konfigurasi politik yang ada sangat memengaruhi karakteristik hukum/UU yang terbentuk. Tanpa konfigurasi politik yang proporsional, akan sangat sulit bagi pembentuk UU untuk menentukan angka PT secara proporsional dan memberikan perlindungan terhadap keberagaman politik.
Praktik-praktik seperti itu tentu akan merusak tatanan demokrasi dan cenderung menuju oligarki dan otoritarianisme. Potensi ini sangat terbuka, apalagi Pasal 235 UU No 7 Tahun 2017 memberikan peluang akan hadirnya capres tunggal. Padahal paham konstitusionalisme yang dibangun dalam UUD 1945 menghendaki terbentuknya sistem demokrasi partisipatoris yang berorientasi pada terpenuhinya kesejahteraan rakyat sebagai perwujudan dari kebebasan secara positif.
Oleh karena itu tidak ada alasan yuridis dan sosiologis yang dapat diterima logika sehat mengapa pembentuk UU menentukan angka PT harus 20% dari kursi DPR atau 25% dari suara sah secara nasional dalam pemilu sebelumnya. Jika pembentuk UU memiliki pertimbangan proporsionalitas keragaman politis, harusnya PT dihapuskan dan setiap partai politik diberi hak untuk mencalonkan presiden/wakil presiden sendiri.Bagaimanapun, dalam kontestasi pilpres, konkretisasi dari ukuran keragaman dan aspirasi politik menurut konstitusi adalah partai politik itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari wewenang istimewa yang diberikan oleh konstitusi kepada partai politik maupun gabungan partai politik untuk mengusulkan calon presiden/wakil presiden.
(rhs)