Diduga Langgar Kode Etik, Ketua Panwaslu Kuala Lumpur Dilaporkan ke DKPP
A
A
A
JAKARTA - Jaringan Advokat Pengawal NKRI (Japri) menduga adanya Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu berupa penerimaan laporan yang unprosedural yang dilakukan oleh Yaza Azzahara Ulyana (Terlapor) yang merupakan Ketua Panwaslu RI di Kuala Lumpur.
Direktur Eksekutif Japri Mellisa Anggraini mengatakan, terlapor dalam menerima sebuah laporan dugaan pelanggaran pemilu mengeluarkan pernyataan (Statement) secara instan, tanpa terlebih dahulu melakukan identifikasi dan analisa secara komprehensif terhadap penemuan pelanggaran pemilu yang terjadi.
Mellisa menegaskan, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dilakukan terjadi pada Kamis, 11 April 2019, dimana pada hari itu masyarakat dihebohkan dengan adanya berita diberbagai media online dan televisi bahwa telah ditemukannya surat suara yang sudah tercoblos di taman Universiti Sungai Tangkas Bangi 43000 Kajang, Selangor Malaysia, dan suarat suara yang tercoblos tersebut adalah Capres 01, dan surat suara legislatif pada caleg DKI Dapil II Nasdem Nomor Urut 02.
“Bahwa pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh saudari Yaza Azzahara Ulyana pada intinya adalah ; Penerimaan laporan Unprosedural, Pelanggaran Kode etik dalam menyempaikan informasi yang tidak sesuai data dan fakta serta diduga bohong, Melanggar kode etik dan mengakibatkan ketidakpastian hukum dan hadir dalam deklarasi dukungan salah satu paslon yakni paslon Capres 02,” tegas Mellisa, Senin (15/4/2019).
Japri menilai, pernyataan dan tindakan yang dilakukan Terlapor sangat tidak mencerminkan kode etik penyelenggara pemilu, dan hal tersebut merupakan pelanggaran kode etik dan pedoman prilaku penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud di dalam Peraturan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Peneyelenggara Pemilihan Umum Pasal 9 huruf a, Pasal 11 huruf c, Pasal 12 huruf d, dan Pasal 15 huruf f.
“Bahwa besar harapan kami, tidak terjadi lagi pelanggaran-pelanggaran kode etik peneyelenggara pemilu lainnya dalam bentuk apapun, karena akan berdampak negatif dan dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” terang Mellisa.
Direktur Eksekutif Japri Mellisa Anggraini mengatakan, terlapor dalam menerima sebuah laporan dugaan pelanggaran pemilu mengeluarkan pernyataan (Statement) secara instan, tanpa terlebih dahulu melakukan identifikasi dan analisa secara komprehensif terhadap penemuan pelanggaran pemilu yang terjadi.
Mellisa menegaskan, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dilakukan terjadi pada Kamis, 11 April 2019, dimana pada hari itu masyarakat dihebohkan dengan adanya berita diberbagai media online dan televisi bahwa telah ditemukannya surat suara yang sudah tercoblos di taman Universiti Sungai Tangkas Bangi 43000 Kajang, Selangor Malaysia, dan suarat suara yang tercoblos tersebut adalah Capres 01, dan surat suara legislatif pada caleg DKI Dapil II Nasdem Nomor Urut 02.
“Bahwa pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh saudari Yaza Azzahara Ulyana pada intinya adalah ; Penerimaan laporan Unprosedural, Pelanggaran Kode etik dalam menyempaikan informasi yang tidak sesuai data dan fakta serta diduga bohong, Melanggar kode etik dan mengakibatkan ketidakpastian hukum dan hadir dalam deklarasi dukungan salah satu paslon yakni paslon Capres 02,” tegas Mellisa, Senin (15/4/2019).
Japri menilai, pernyataan dan tindakan yang dilakukan Terlapor sangat tidak mencerminkan kode etik penyelenggara pemilu, dan hal tersebut merupakan pelanggaran kode etik dan pedoman prilaku penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud di dalam Peraturan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Peneyelenggara Pemilihan Umum Pasal 9 huruf a, Pasal 11 huruf c, Pasal 12 huruf d, dan Pasal 15 huruf f.
“Bahwa besar harapan kami, tidak terjadi lagi pelanggaran-pelanggaran kode etik peneyelenggara pemilu lainnya dalam bentuk apapun, karena akan berdampak negatif dan dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” terang Mellisa.
(pur)