Bentuk Nyata dari Pemikiran KH Ma'ruf Soal Berdayakan Masyarakat
A
A
A
JAKARTA - Kopi Abah bersama Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) menginisiasi forum sinergi komunitas hulu-hilir kopi (Fosko Huliko) yang diharapkan bisa menyinergikan seluruh enterpreneur kopi, dari petani, pengolah hingga penjual kopi di Indonesia.
Fosko Huliko itu terbentuk dalam diskusi bertajuk "Menata Hulu hingga Hilir Perkopian Indonesia Melalui Peningkatan Kesejahteraan Petani Kopi melalui Produktifitas Kebun" yang dihelat Santri Millenial Center (SIMAC) dan AEKI di Gedung Kopi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (12/4/2019).
Kopi Abah merupakan salah satu produk SiMAC, sebuah divisi pemberdayaan santri dari Master C 19 Portal KMA. Ketua Dewan Pembina Master C 19, Gus Syauqi Ma’ruf Amin, dalam diskusi tersebut mengungkapkan sinergi antar para petani, pengolah, industri hingga barista dan pedagang kopi itu, bisa menjadi tonggak kemandirian ekonomi Indonesia.
"Dalam pandangan saya enterpreuner itu ya dari petani sampai penjual cafe, semua dari hulu sampai hilir itu enterpreuner. Selama ini petani ini dipandangnya sebagai objek enterpreuner. Padahal petani ini juga enterprenuer," ujar Gus Syauqi.
Diskusi gayeng itu dihadiri oleh berbagai kalangan mulai dari asosiasi petani kopi, anak-anak muda barista, pengusaha kedai kopi, hingga pengamat kopi.
"Kehadiran mereka ini merupakan bentuk semangat kebersamaan untuk membangun sinergitas dari hulu hingga hilir perkopian di Indonesia," imbuh Gus Syauqi.
Sementara, Sekretaris AEKI Miftahul Kirom berharap, FOSKO HULIKO ini bisa membangun kesepahaman antar enterpreneur kopi, pemerintah dan industri dalam mengembangkan dunia perkopian di Indonesia.
"Persoalan kopi ini memang perlu ditata mulai mulai dari bagaimana produksi kopi di kebun. Salah satu yang menjadi masalah mengapa tidak banyak petani kopi yang mau menggarap kebunnya karena tingkat produktifitas rendah sehingga hasil panen tidak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga," ujar Kirom.
Di sisi lain, kata Kirom, data terkait impor biji kopi pada tahun 2018 sudah mencapai 77 ribu ton. Tentu jika ini tidak disikapi dengan baik ada kekhawatiran akan terjadi kelangkaan bahan baku kopi di Indonesia.
"Oleh sebab itu perlu ada pembenahan ulang terkait pengelolaan kebun kopi (hulu) terutama penggunaan pupuk organik," imbuhnya.
Sementara, salah satu petani kopi asal lereng gunung Bromo, Ibu Ida menuturkan, bahwa ada peningkatan kuantitas dan kualitas produksi kopi secara berkelanjutan, jika perawatan kebun dilakukan dengan benar.
"Maka saya sangat mendukung ketika Gus Syauqi menginisiasi Fosko Huliko bersama AEKI. Semoga bisa menjadi wadah silaturahmi sinergi antar elemen yang bergerak di bidang perkopian," harapnya.
Fosko Huliko itu terbentuk dalam diskusi bertajuk "Menata Hulu hingga Hilir Perkopian Indonesia Melalui Peningkatan Kesejahteraan Petani Kopi melalui Produktifitas Kebun" yang dihelat Santri Millenial Center (SIMAC) dan AEKI di Gedung Kopi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (12/4/2019).
Kopi Abah merupakan salah satu produk SiMAC, sebuah divisi pemberdayaan santri dari Master C 19 Portal KMA. Ketua Dewan Pembina Master C 19, Gus Syauqi Ma’ruf Amin, dalam diskusi tersebut mengungkapkan sinergi antar para petani, pengolah, industri hingga barista dan pedagang kopi itu, bisa menjadi tonggak kemandirian ekonomi Indonesia.
"Dalam pandangan saya enterpreuner itu ya dari petani sampai penjual cafe, semua dari hulu sampai hilir itu enterpreuner. Selama ini petani ini dipandangnya sebagai objek enterpreuner. Padahal petani ini juga enterprenuer," ujar Gus Syauqi.
Diskusi gayeng itu dihadiri oleh berbagai kalangan mulai dari asosiasi petani kopi, anak-anak muda barista, pengusaha kedai kopi, hingga pengamat kopi.
"Kehadiran mereka ini merupakan bentuk semangat kebersamaan untuk membangun sinergitas dari hulu hingga hilir perkopian di Indonesia," imbuh Gus Syauqi.
Sementara, Sekretaris AEKI Miftahul Kirom berharap, FOSKO HULIKO ini bisa membangun kesepahaman antar enterpreneur kopi, pemerintah dan industri dalam mengembangkan dunia perkopian di Indonesia.
"Persoalan kopi ini memang perlu ditata mulai mulai dari bagaimana produksi kopi di kebun. Salah satu yang menjadi masalah mengapa tidak banyak petani kopi yang mau menggarap kebunnya karena tingkat produktifitas rendah sehingga hasil panen tidak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga," ujar Kirom.
Di sisi lain, kata Kirom, data terkait impor biji kopi pada tahun 2018 sudah mencapai 77 ribu ton. Tentu jika ini tidak disikapi dengan baik ada kekhawatiran akan terjadi kelangkaan bahan baku kopi di Indonesia.
"Oleh sebab itu perlu ada pembenahan ulang terkait pengelolaan kebun kopi (hulu) terutama penggunaan pupuk organik," imbuhnya.
Sementara, salah satu petani kopi asal lereng gunung Bromo, Ibu Ida menuturkan, bahwa ada peningkatan kuantitas dan kualitas produksi kopi secara berkelanjutan, jika perawatan kebun dilakukan dengan benar.
"Maka saya sangat mendukung ketika Gus Syauqi menginisiasi Fosko Huliko bersama AEKI. Semoga bisa menjadi wadah silaturahmi sinergi antar elemen yang bergerak di bidang perkopian," harapnya.
(maf)