Lindungi Hak Pilih Anda
A
A
A
TIDAK sedikit masyarakat yang terancam kehilangan hak pilih lantaran harus meninggalkan tempat tinggal mereka saat pemungutan suara pemilu serentak digelar pada 17 April nanti. Alasan meninggalkan tempat tinggal ini bisa bermacam-macam, salah satunya karena sedang menjalankan tugas ke daerah lain.
Namun, saat ini seharusnya tidak perlu lagi ada kasus masyarakat kehilangan hak pilih hanya karena alasan tersebut. Sebab, aturan yang ada sudah sangat memudahkan masyarakat untuk bisa mencoblos kendati dia tidak berada di daerah tempatnya tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019.
Kemudahan bagi pemilih pindahan ini diperoleh setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan pada 28 Maret lalu. Putusan MK itu memperpanjang masa pendaftaran pemilih pindahan menjadi H-7 atau hingga 10 April 2019 pukul 16.00. Sebelumnya, dalam Pasal 210 ayat 1 Undang-Undang Pemilu waktu yang diberikan kepada pemilih pindahan untuk mendaftarkan diri hanya 30 hari sebelum hari H.
Pertimbangan MK yakni masa pendaftaran hanya 30 hari bisa memunculkan potensi tidak terlayaninya hak masyarakat karena memiliki kendala-kendala yang sifatnya tak terduga seperti sakit, terkena bencana, ataupun sedang menjalankan tugas. Tidak sulit untuk bisa terdaftar sebagai pemilih di tempat yang baru. Masyarakat hanya diminta mengurus form A5 di kantor KPU setempat dengan membawa fotokopi KTP dan Kartu Keluarga.
Nanti calon pemilih tersebut akan dimasukkan ke dalam daftar pemilih tambahan (DPTb). Namun, tetap ada kriteria yang harus dipenuhi untuk dilayani selain harus terdaftar dalam DPT di daerah asal. Kriteria tersebut yakni pindah karena mengalami sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, dan harus ditahan di kota lain, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara.
Putusan MK soal pemilih pindahan ini tentu sangat positif. Selain menjamin hak pilih warga, juga sekaligus mengurangi besarnya potensi masyarakat untuk menjadi golput. Apalagi, di pemilu kali ini wacana golput mengemuka lantaran sebagian orang merasa aspirasinya sulit terakomodasi oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang tersedia, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Padahal, penggunaan hak pilih atau menolak jadi golput penting karena pemilu adalah momentum bagi warga negara untuk menetapkan arah dan orientasi pembangunan nasionalnya hingga lima tahun ke depan. Pemilu juga momentum bagi semua warga negara dalam meningkatkan kualitas demokrasi yang dibangun sejak Reformasi 1998.
Jumlah pemilih pindahan ini tidak bisa dipandang remeh karena jumlahnya yang besar. Sebagai gambaran, DPTb yang tercatat di KPU DKI Jakarta per 3 April sebanyak 68.000 jiwa lebih, khusus untuk pemilih yang masuk ke wilayah Jakarta. Adapun pemilih keluar Jakarta sebanyak 52.000 lebih. Namun, esensi dari masalah ini sesungguhnya bukan pada besar atau kecilnya jumlah pemilih yang pindah.
Juga bukan pada persoalan apakah suara pemilih pindahan ini berpengaruh signifikan pada kemenangan calon atau tidak. Lebih dari itu, setiap warga negara yang namanya masuk DPT memang harus dilayani untuk bisa menggunakan hak pilihnya yang dijamin konstitusi.
Pemungutan suara pemilu serentak tinggal menyisakan sembilan hari lagi. Dengan begitu, hanya tersisa waktu tiga hari lagi untuk bisa terdaftar sebagai pemilih pindahan. Kesempatan ini seyogianya digunakan oleh masyarakat pemilih pindahan. KPU di sisa waktu yang ada perlu mengintensifkan sosialisasi ke jajarannya, tujuannya agar mengabarkan ke masyarakat luas mengenai kebijakan ini.
KPU juga harus segera membuat pemetaan untuk mengantisipasi besarnya jumlah pemilih di TPS akibat kebijakan DPTb ini. Misalnya, jika di satu TPS surat suara sebanyak 300 lembar bakal tidak mencukupi, maka KPU harus segera memutuskan membuat TPS tambahan. Ini memungkinkan karena MK dalam putusannya menyatakan KPU berhak membentuk TPS tambahan bagi pemilih pindahan.
KPU masih memiliki waktu untuk menentukan titik pendirian TPS tambahan bagi pemilih DPTb ini. KPU seharusnya memiliki data mengenai lokasi mana saja yang berpotensi ada pemilih pindahan dalam jumlah besar.
Namun, saat ini seharusnya tidak perlu lagi ada kasus masyarakat kehilangan hak pilih hanya karena alasan tersebut. Sebab, aturan yang ada sudah sangat memudahkan masyarakat untuk bisa mencoblos kendati dia tidak berada di daerah tempatnya tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019.
Kemudahan bagi pemilih pindahan ini diperoleh setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan pada 28 Maret lalu. Putusan MK itu memperpanjang masa pendaftaran pemilih pindahan menjadi H-7 atau hingga 10 April 2019 pukul 16.00. Sebelumnya, dalam Pasal 210 ayat 1 Undang-Undang Pemilu waktu yang diberikan kepada pemilih pindahan untuk mendaftarkan diri hanya 30 hari sebelum hari H.
Pertimbangan MK yakni masa pendaftaran hanya 30 hari bisa memunculkan potensi tidak terlayaninya hak masyarakat karena memiliki kendala-kendala yang sifatnya tak terduga seperti sakit, terkena bencana, ataupun sedang menjalankan tugas. Tidak sulit untuk bisa terdaftar sebagai pemilih di tempat yang baru. Masyarakat hanya diminta mengurus form A5 di kantor KPU setempat dengan membawa fotokopi KTP dan Kartu Keluarga.
Nanti calon pemilih tersebut akan dimasukkan ke dalam daftar pemilih tambahan (DPTb). Namun, tetap ada kriteria yang harus dipenuhi untuk dilayani selain harus terdaftar dalam DPT di daerah asal. Kriteria tersebut yakni pindah karena mengalami sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, dan harus ditahan di kota lain, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara.
Putusan MK soal pemilih pindahan ini tentu sangat positif. Selain menjamin hak pilih warga, juga sekaligus mengurangi besarnya potensi masyarakat untuk menjadi golput. Apalagi, di pemilu kali ini wacana golput mengemuka lantaran sebagian orang merasa aspirasinya sulit terakomodasi oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang tersedia, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Padahal, penggunaan hak pilih atau menolak jadi golput penting karena pemilu adalah momentum bagi warga negara untuk menetapkan arah dan orientasi pembangunan nasionalnya hingga lima tahun ke depan. Pemilu juga momentum bagi semua warga negara dalam meningkatkan kualitas demokrasi yang dibangun sejak Reformasi 1998.
Jumlah pemilih pindahan ini tidak bisa dipandang remeh karena jumlahnya yang besar. Sebagai gambaran, DPTb yang tercatat di KPU DKI Jakarta per 3 April sebanyak 68.000 jiwa lebih, khusus untuk pemilih yang masuk ke wilayah Jakarta. Adapun pemilih keluar Jakarta sebanyak 52.000 lebih. Namun, esensi dari masalah ini sesungguhnya bukan pada besar atau kecilnya jumlah pemilih yang pindah.
Juga bukan pada persoalan apakah suara pemilih pindahan ini berpengaruh signifikan pada kemenangan calon atau tidak. Lebih dari itu, setiap warga negara yang namanya masuk DPT memang harus dilayani untuk bisa menggunakan hak pilihnya yang dijamin konstitusi.
Pemungutan suara pemilu serentak tinggal menyisakan sembilan hari lagi. Dengan begitu, hanya tersisa waktu tiga hari lagi untuk bisa terdaftar sebagai pemilih pindahan. Kesempatan ini seyogianya digunakan oleh masyarakat pemilih pindahan. KPU di sisa waktu yang ada perlu mengintensifkan sosialisasi ke jajarannya, tujuannya agar mengabarkan ke masyarakat luas mengenai kebijakan ini.
KPU juga harus segera membuat pemetaan untuk mengantisipasi besarnya jumlah pemilih di TPS akibat kebijakan DPTb ini. Misalnya, jika di satu TPS surat suara sebanyak 300 lembar bakal tidak mencukupi, maka KPU harus segera memutuskan membuat TPS tambahan. Ini memungkinkan karena MK dalam putusannya menyatakan KPU berhak membentuk TPS tambahan bagi pemilih pindahan.
KPU masih memiliki waktu untuk menentukan titik pendirian TPS tambahan bagi pemilih DPTb ini. KPU seharusnya memiliki data mengenai lokasi mana saja yang berpotensi ada pemilih pindahan dalam jumlah besar.
(thm)