IFSR Tegaskan Agar Kejayaan Poros Maritim Dunia Dikembalikan

Rabu, 20 Maret 2019 - 07:17 WIB
IFSR Tegaskan Agar Kejayaan...
IFSR Tegaskan Agar Kejayaan Poros Maritim Dunia Dikembalikan
A A A
JAKARTA - Indonesia sejak dulu telah menjadi poros perdagangan rempah-rempah global Asia, antara India, Nusantara (Indonesia dalam konteks sejarah) dan Tiongkok atau dikenal sebagai Jalur Rempah. Hal ini diperkuat bahwa Nusantara memiliki posisi maritim strategis sebagai poros yang menghubungkan “negeri-negeri di atas angin” yaitu Tiongkok, India, Timur Tengah, hingga Eropa.

Sehingga, Nusantara menjadi pusat perdagangan dan pemasok utama komoditas penting di dunia yakni rempah-rempah. Bahkan, jauh sebelum bangsa Eropa datang di Asia Tenggara. Dalam rangka memperkenalkan kembali peranan penting Indonesia dalam skala global sebagai negeri rempah serta poros maritim dunia, Yayasan Negeri Rempah bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR).

Acara yang pada 19-24 Maret 2019 di Jakarta itu dikemasi dengan tema “Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route”. Menteri Luar Negeri RI periode 2001 -2009 Hassan Wirajuda yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah mengungkapkan, Indonesia telah turut andil dalam peradaban besar melalui rempah.

“Peradaban besar telah banyak yang lahir dan Indonesia menjadi tuan rumah dari berbagai peradaban besar itu. Rempah turut andil dan mengambil peran dalam peradaban tersebut. Kita dapat belajar dari Sriwijaya. Kemakmuran oleh karena keberadaan Jalur Rempah yang damai menjadikannya dapat bertahan selama 5 abad,” tandas Hassan dalam pembukaan IFSR di Museum Nasional, Jakarta, kemarin.

Hassan juga menceritakan bahwa selain membawa kemakmuran dan peradaban besar, jalur rempah yang damai mulai berubah menjadi jalur malapetaka sejak mulai dikenal oleh bangsa Eropa. Perjanjian Tordessilas merupakan awal dari perubahan jalur ini menuju jalur yang penuh dengan konflik. “Mulai dari konflik kerajaan di nusantara hingga konflik antarnegara-negara Eropa akibat monopoli rempah dan kolonialisasi,” paparnya.

Hassan mengungkapkan, bila ditarik konteks ke era sekarang, memahami sejarah warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global ini menjadi semakin penting untuk diangkat, dikaji, dan dimaknai kembali. Sejarah maritim nusantara, menurut dia, sangat penting untuk mengembalikan kejayaan maritim yang kuat berbasis rempah.

“Jangan sampai history repeat it self. Apalagi, ketika dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting,” tandasnya.

Sejarawan sekaligus dosen dari Australian National University Anthony Reid mengungkapkan, telah berabad-abad lalu wilayah Indonesia sebagai tempat pertemuan global. “Age of Commerce yang berlangsung dari 1480-1650 juga menjadikan Indonesia sebagai tempat pertemuan global dan pusat perdagangan rempah.

Mulai dari Enrique, Eijkman, Rumphius, dan Wallace, mereka melakukan berbagai kegiatan dan penelitian di Indonesia,” ungkapnya. Indonesia, lanjutnya, juga menjadi pusat keagamaan terutama Budha melalui Sriwijaya. Di sisi lain, Batam menjadi salah satu tempat yang menjadi destinasi komersial. Di wilayah ini, orang China, India, dan Eropa saling bertemu.

Reid juga mengungkapkan bahwa kemahsyuran rempah-rempah Indonesia sudah tercatat di banyak manuskrip kuno sebagai bagian penting dalam pembentukan peradaban dunia. “Makassar menjadi pelabuhan tersukses karena menggabungkan mindset terbuka yang progresif dengan kekuatan militer dan politik. Terdapat berbagai cerita yang ditulis dalam bentuk semacam diary Bugis yang menceritakannya,” ujarnya.

Dalam Age of Commerce, pala dan cengkih di Maluku menjadi primadona hingga VOC memonopolisasinya di tahun 1650. Berbagai pelayaran dari China dan Jepang ke wilayah Asia Tenggara mulai dilegalkan, sehingga Asia Tenggara menjadi tempat berinteraksi. “Keterbukaan atau pluralisme menjadi kunci utama dalam menjadikan Indonesia sebagai tempat pertemuan global,” paparnya.

Staf Ahli Bidang Sosio-Antropologi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Tukul Rameyo Adi mengungkapkan, Indonesia menjadi wilayah yang mengintegrasikan wilayah daratan dengan lautan. Sehingga, dibutuhkan penegasan kembali untuk melihat ke lautan dan menjalankan pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada darat.

“Kembalikan kejayaan Bangsa Indonesia sebagai bangsa samudera, tak hanya sekadar bangsa pelaut,” ungkapnya. Tukul mengatakan, rempah merupakan komoditas yang sangat penting serta dapat mempengaruhi aspek lainnya secara global. Ini semua dapat terjadi karena lautan dan samudera.

“Inilah saat Indonesia meninjau jejak kemaritiman berbasis narasi Jalur Rempah. Dorong literasi maritim beserta budayanya,” tandasnya. Forum ini dihadiri para pembicara, narasumber, ahli, akademisi dari Indonesia dan negara-negara sahabat seperti Australia, Amerika Serikat, Filipina, India, Jerman, Korea, Malaysia, dan Portugal.

Selama enam hari berturut-turut, IFSR akan menjadi forum pertukaran pengetahuan dan pemahaman antarbudaya dengan mengedepankan kekuatan warisan budaya serta semangat multikulturalisme melalui narasi sosio-kultural-historis jalur rempah dan perdagangan maritim yang relevan dengan konteks kekinian.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1304 seconds (0.1#10.140)