Kesiapan, Gaya dan Tantangan Kepemimpinan Muda 4.0
A
A
A
Taufan Teguh Akbari
Direktur Kemahasiswaan - LSPR Jakarta
Founder Rumah Millennials
PERTEMUAN Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos, Swiss, 22–25 Januari 2019, menjadi panggung kebanggaan bagi salah satu srikandi Indonesia. Iim Fahima Jachja, pendiri Queenrides.com, hadir mewakili Indonesia di forum bergengsi dunia yang dihadiri lebih dari 3.000 pemimpin lintas bidang yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Dia menjadi satu dari sembilan anak muda yang masuk Young World Changer 2019 versi Forum Ekonomi Dunia (WEF).
Turut hadir sekitar 65 kepala negara dan para pejuang demokrasi yang antusias untuk berdiskusi. Forum ini dihadiri juga oleh individu dari banyak ragam profesi. Ada wirausaha, pendidik, aktivis isu sosial, ekonom dunia, pegiat lingkungan, menteri, dan media. Mereka saling berbagi ide, menyuarakan aspirasi, menyebarkan inspirasi, dan berpikir bersama bagaimana cara membuat dunia menjadi hunian yang lestari dan lebih baik setiap tahunnya.
Ada yang menarik dari pertemuan WEF 2019 ini. Selain menjadi ajang promosi, situasi iklim investasi, dan peluang bisnis, forum ini jadi momentum terbaik Indonesia menjadi corong sosialisasi perkembangan startup dan kemajuan inovasi di Tanah Air. Menurut data, startup Indonesia 2018 yang dipublikasikan oleh Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI), saat ini terdapat 992 startup yang telah terverifikasi. Startup bidang e-commerce sebesar 35,48% dan lainnya 53,63% berasal dari kategori animasi, Internet of things, virtual dan augmented reality, dan software house.
Data BPS terkait “Statistik Perusahaan Informasi dan Komunikasi” 2018 memberi informasi bahwa 79,41% startup pengembang sistem elektronik didominasi oleh perusahaan sendiri. Hal ini menunjukkan semakin banyak kursi perusahaan masa kini dipenuhi oleh sosok pemimpin muda. Mereka merintis usaha sejak muda dan dewasa bersama tantangan bisnisnya. Pemimpin 4.0 dari kalangan milenial akan mendominasi dunia angkatan kerja. Mereka memiliki filosofi kuat dan kendali untuk membawa perubahan dalam budaya korporasi.
Tantangan 4.0
Banyak tantangan yang harus dihadapi dan diantisipasi, terutama soal isu revolusi industri 4.0 di banyak sektor. Milennial leaders harus berkutat pada isu big data, smart city, virtual – augmented reality, artificial intelligence, cloud computing, 3D printing, advance robotic, profesi baru (game developer, animator, videographer). Dalam sektor bisnis isunya bagaimana mengintegrasikan bisnis ke dalam teknologi dan menjaga ritme kerja yang sekarang serbacepat.
Dalam WEF 2019, di hadapan para pemimpin muda dunia lainnya, Iim berkata “Dunia yang lebih baik itu adalah dunia yang bersahabat dengan orang-orang lemah dan terpinggirkan. Semua orang harus mendapatkan kesempatan yang sama.” Sudah seharusnya tugas dan tanggung jawab pemuda di setiap negara untuk membuat tanah tempat tinggalnya menjadi lebih baik, khususnya di era disrupsi dan pengaruh perkembangan teknologi pada zaman revolusi industri dunia keempat.
Sosok Pemimpin 4.0
Perkembangan industri 4.0 dan hadirnya pemimpin muda berjalan beriringan dan tidak terpisahkan. Milenial saat ini peran kunci dalam perkembangan industri 4.0. Banyak kejutan yang telah dilakukan pemimpin muda di era 4.0 dalam berbagai bidang pekerjaan. Mereka bertumbuh dengan inovasi dan akan berkembang dengan jaringan relasi yang baik. Standar baru kepemimpinan milenial akan mulai diterapkan di berbagai bidang pekerjaan. Pemimpin 4.0 yang fokus pada pendekatan “people oriented” dengan komunikasi dua arah (feedback), fleksibilitas, nilai, dan etika.
Sebesar 49,52% pengguna internet Indonesia adalah milenial dengan rentang usia 18–34 tahun (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, APJII 2018). Milenial yang berdaya, berkarya, dan bermakna dengan karakter kebaruan yang sejalan dengan pesatnya teknologi. Kemampuan membangun dan menunjukkan jati diri melalui media sosial menjadi penting di era revolusi industri 4.0 ini. Selain mahir dalam penggunaan teknologi, pemimpin milenial 4.0 harus mengedepankan prinsip kerja dan nilai kerja sama, kolaborasi, fleksibilitas, kerendah-hatian (humility), keterbukaan, dan terbukanya kesempatan untuk belajar serta berkembang. Mereka terbuka terhadap kritik yang membangun dan kemajuan “improvement”, tanpa mempermasalahkan perbedaan dalam “tribe” di tempat kerjanya.
Kementerian Perindustrian RI menyatakan bahwa pada 2030, Indonesia membutuhkan 17 juta “high tech millennial” atau anak muda dengan kemampuan teknologi supercanggih. Mereka ahli di bidang programming, web designing, technical–network engineering, government digital service, dan profesi masa depan lainnya.
Ketika semakin banyak talenta keren, di saat yang bersamaan tugas pemimpin 4.0 harus berperan sebagai human accelerator dan personal developer bagi sesama. Bentuk hierarki dan struktur organisasi akan bergeser lebih proaktif konstruktif. Melalui efisiensi, organisasi dengan sendirinya menyesuaikan lanskap, jenis pekerjaan dan juga kebiasaan kerja milenial. Pemimpin milenial membangun perusahaan dimulai dengan hal yang disukainya (passion) dan terdapat misi sosial (social purpose) dalam pekerjaannya.
Gaya Kepemimpinan 4.0
Standar kepemimpinan di lintas lini telah berubah seiring dengan perkembangan industri 4.0. Salah satu kemampuan utama pemimpin 4.0 perlu memahami bagaimana cara bereaksi sangat cepat (super fast response) terhadap berbagai hal dalam ruang kendalinya. Dari komunikasi teks 24/7 hingga kemampuan komunikasi publik dalam ranah online ataupun offline.
Dalam tujuan, pemimpin 4.0 pun harus lebih berorientasi pada hasil (result-goal oriented), tidak selalu mengedepankan prosedur dalam pengambilan keputusan. Menjaga integritas menjadi kompetensi utama bagi pemimpin 4.0 karena segala sesuatu yang berkait dengan pekerjaan menjadi transparan. Leader 4.0 harus mendengar, melihat, merasakan dan turun ke medan pekerjaan agar dapat mengambil keputusan dan melihat masalah dengan sebaik-baiknya. Keputusan yang dibuat pun harus dilakukan secara cepat dan tepat.
Kemampuan mengembangkan bakat dan talenta juga merupakan tugas utama pemimpin 4.0. Pergerakan dan pergeseran terjadi kian cepat sehingga pribadi yang tidak agile dan mampu beradaptasi dengan cepat dari pemikiran konvensional akan sirna. Pemuda dengan sederet prestasi dan kompetensi perlu diarahkan agar dapat melalui proses regenerasi dengan baik. Milenial yang dikenal cepat bosan dan mudah berpindah ke lain hati dapat diantisipasi dengan adanya program pengembangan talenta yang sistemik dan menjanjikan. Dengan begini, loyalitas dan solidaritas tim akan meningkat.
Terakhir, praktik kepemimpinan inklusif menjadi gaya kepemimpinan yang wajib dipraktikkan dalam keseharian para ‘millennial leaders’. Belajar dari Obama, berhasil berperan sebagai “pembisik milenial’’ (millennials whisperer) karena dinilai mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh generasi muda di AS, salah satunya perihal toleransi. Hal ini membawa Obama memenangkan suara 77% dari suara pemuda Amerika Serikat. Lain hal dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, yang menjadi idola milenial Kanada karena berhasil menginternalisasikan isu kesetaraan (equality) dan keberagaman (diversity) di kalangan anak-anak muda Kanada. Di Jerman, 2017 lalu Reuters menyatakan Kanselir Jerman Angela Merkel mendapat suara 47% dari pemilih pemula karena dianggap peduli pada isu kedamaian di wilayah Timur Tengah. Ketiga contoh kasus tersebut menyatakan bahwa kemampuan menjaga toleransi, menjaga kedamaian, dan memfasilitasi keberagaman sebagai kekuatan, dianggap sebagai karakteristik sosok pemimpin milenial sukses di era 4.0 ini.
Menerima perbedaan, terkoneksi sepanjang waktu dengan banyak pihak, mahir mengakomodasi perspektif, mengedepankan kolaborasi lintas lini, hingga meredam ego pekerja milenial yang saat ini mendominasi berbagai sektor lapangan pekerjaan. Belum lagi dengan hadirnya empat generasi dalam satu lingkungan kerja (boomers, x, millennials, z), pemimpin 4.0 harus adaptif menghadapi berbagai perbedaan dalam sistem operasional kerjanya. Perbedaan nilai, cara pandang, kesenjangan budaya dan cara komunikasi jangan dianggap sebagai suatu hambatan, namun dijadikan tantangan yang harus diatasi dengan elegan. Karenanya, pemimpin 4.0 harus menjalankan kepemimpinan yang mengedepankan pendekatan manusia, human-based approach. Sudah seharusnya pemimpin muda 4.0 mampu memanusiakan rekan kerja dengan empati dan mengedepankan budaya apresiatif dalam lingkungan kerjanya.
Solusi Terbaik
Strauss Schwab, pelopor Revolusi Industri 4.0, menegaskan bahwa salah satu cara terbaik memperbaiki kualitas generasi, khususnya ‘milenial’, yaitu mereformasi kebijakan pendidikan. Karenanya, kualitas sistem pendidikan menjadi faktor penentu menguat atau melemahnya kualitas generasi mudanya di masa yang akan datang.
Hadirnya era 4.0 ini tidak hanya mengubah peta industri, namun juga pergeseran perspektif, profesi, cara komunikasi, pekerjaan, konsumsi, gaya hidup, dan bertransaksi. Pemimpin 4.0 dapat juga dikatakan sebagai digital leaders (pemimpin digital). Salah satu ciri pemimpin digital ialah gaya pengambilan keputusan yang berdasarkan data, transparan dan realtime. Lebih sederhana, tidak bertele-tele dan tepat sasaran. Pemuda yang paling siap dan mampu memantaskan diri dengan percepatan dan perkembangan zamanlah yang akan bertahan. Apalagi tantangan lebih berat di masa depan.
Gaya kepemimpinan dan komunikasi sebenarnya dua kata kuncinya: partisipatif dan kolaboratif. Dua hal ini nantinya yang akan memenuhi ruang manajemen organisasi dan kepemimpinan 4.0 . Dalam era yang serbacepat ini, pasti banyak masalah yang muncul sebelum kita menyelesaikan masalah lain sehingga menjadi kompleks. Karenanya, pemimpin 4.0 tidak bisa sendiri dan membutuhkan kolaborasi dari banyak pihak untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Pemimpin milenial perlu lebih banyak mengasah serta mempertajam kemampuan dalam hal mereduksi birokrasi, mengelola keberagaman, komunikasi dua arah, dan memfasilitasi kolaborasi antarpihak.
Kemampuan yang dibutuhkan seorang pemimpin 4.0 akan tetap sama, tetapi akan ada perbedaan soal hard skill. Utamanya mereka harus mengerti soal big data, konsekuensi dari virus, cloud, pembuatan aplikasi, dan sebagainya. Mengapa kolaborasi menjadi demikian penting di era 4.0 ini? Karena tidak ada pemimpin yang sempurna. Ada yang paham soal konsep, namun tidak ahli dalam kajian teknis dan operasional. Hal tersebut lumrah, karenanya pemimpin 4.0 bisa mempercayakan dan mendelegasikan hal tersebut kepada anggota tim yang lebih ahli di bidang itu. Memberdayakan anggota tim akan menjadi faktor yang signifikan dalam kesuksesan kepemimpinan 4.0. Tugas pemuda harus peduli mendukung peran pemerintah di era digitalitasi dan otomasi ini. Sebagai pengawal generasi untuk mempersiapkan generasi terbaik yang mengangkat derajat Ibu Pertiwi lebih tinggi lagi.
Direktur Kemahasiswaan - LSPR Jakarta
Founder Rumah Millennials
PERTEMUAN Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos, Swiss, 22–25 Januari 2019, menjadi panggung kebanggaan bagi salah satu srikandi Indonesia. Iim Fahima Jachja, pendiri Queenrides.com, hadir mewakili Indonesia di forum bergengsi dunia yang dihadiri lebih dari 3.000 pemimpin lintas bidang yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Dia menjadi satu dari sembilan anak muda yang masuk Young World Changer 2019 versi Forum Ekonomi Dunia (WEF).
Turut hadir sekitar 65 kepala negara dan para pejuang demokrasi yang antusias untuk berdiskusi. Forum ini dihadiri juga oleh individu dari banyak ragam profesi. Ada wirausaha, pendidik, aktivis isu sosial, ekonom dunia, pegiat lingkungan, menteri, dan media. Mereka saling berbagi ide, menyuarakan aspirasi, menyebarkan inspirasi, dan berpikir bersama bagaimana cara membuat dunia menjadi hunian yang lestari dan lebih baik setiap tahunnya.
Ada yang menarik dari pertemuan WEF 2019 ini. Selain menjadi ajang promosi, situasi iklim investasi, dan peluang bisnis, forum ini jadi momentum terbaik Indonesia menjadi corong sosialisasi perkembangan startup dan kemajuan inovasi di Tanah Air. Menurut data, startup Indonesia 2018 yang dipublikasikan oleh Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI), saat ini terdapat 992 startup yang telah terverifikasi. Startup bidang e-commerce sebesar 35,48% dan lainnya 53,63% berasal dari kategori animasi, Internet of things, virtual dan augmented reality, dan software house.
Data BPS terkait “Statistik Perusahaan Informasi dan Komunikasi” 2018 memberi informasi bahwa 79,41% startup pengembang sistem elektronik didominasi oleh perusahaan sendiri. Hal ini menunjukkan semakin banyak kursi perusahaan masa kini dipenuhi oleh sosok pemimpin muda. Mereka merintis usaha sejak muda dan dewasa bersama tantangan bisnisnya. Pemimpin 4.0 dari kalangan milenial akan mendominasi dunia angkatan kerja. Mereka memiliki filosofi kuat dan kendali untuk membawa perubahan dalam budaya korporasi.
Tantangan 4.0
Banyak tantangan yang harus dihadapi dan diantisipasi, terutama soal isu revolusi industri 4.0 di banyak sektor. Milennial leaders harus berkutat pada isu big data, smart city, virtual – augmented reality, artificial intelligence, cloud computing, 3D printing, advance robotic, profesi baru (game developer, animator, videographer). Dalam sektor bisnis isunya bagaimana mengintegrasikan bisnis ke dalam teknologi dan menjaga ritme kerja yang sekarang serbacepat.
Dalam WEF 2019, di hadapan para pemimpin muda dunia lainnya, Iim berkata “Dunia yang lebih baik itu adalah dunia yang bersahabat dengan orang-orang lemah dan terpinggirkan. Semua orang harus mendapatkan kesempatan yang sama.” Sudah seharusnya tugas dan tanggung jawab pemuda di setiap negara untuk membuat tanah tempat tinggalnya menjadi lebih baik, khususnya di era disrupsi dan pengaruh perkembangan teknologi pada zaman revolusi industri dunia keempat.
Sosok Pemimpin 4.0
Perkembangan industri 4.0 dan hadirnya pemimpin muda berjalan beriringan dan tidak terpisahkan. Milenial saat ini peran kunci dalam perkembangan industri 4.0. Banyak kejutan yang telah dilakukan pemimpin muda di era 4.0 dalam berbagai bidang pekerjaan. Mereka bertumbuh dengan inovasi dan akan berkembang dengan jaringan relasi yang baik. Standar baru kepemimpinan milenial akan mulai diterapkan di berbagai bidang pekerjaan. Pemimpin 4.0 yang fokus pada pendekatan “people oriented” dengan komunikasi dua arah (feedback), fleksibilitas, nilai, dan etika.
Sebesar 49,52% pengguna internet Indonesia adalah milenial dengan rentang usia 18–34 tahun (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, APJII 2018). Milenial yang berdaya, berkarya, dan bermakna dengan karakter kebaruan yang sejalan dengan pesatnya teknologi. Kemampuan membangun dan menunjukkan jati diri melalui media sosial menjadi penting di era revolusi industri 4.0 ini. Selain mahir dalam penggunaan teknologi, pemimpin milenial 4.0 harus mengedepankan prinsip kerja dan nilai kerja sama, kolaborasi, fleksibilitas, kerendah-hatian (humility), keterbukaan, dan terbukanya kesempatan untuk belajar serta berkembang. Mereka terbuka terhadap kritik yang membangun dan kemajuan “improvement”, tanpa mempermasalahkan perbedaan dalam “tribe” di tempat kerjanya.
Kementerian Perindustrian RI menyatakan bahwa pada 2030, Indonesia membutuhkan 17 juta “high tech millennial” atau anak muda dengan kemampuan teknologi supercanggih. Mereka ahli di bidang programming, web designing, technical–network engineering, government digital service, dan profesi masa depan lainnya.
Ketika semakin banyak talenta keren, di saat yang bersamaan tugas pemimpin 4.0 harus berperan sebagai human accelerator dan personal developer bagi sesama. Bentuk hierarki dan struktur organisasi akan bergeser lebih proaktif konstruktif. Melalui efisiensi, organisasi dengan sendirinya menyesuaikan lanskap, jenis pekerjaan dan juga kebiasaan kerja milenial. Pemimpin milenial membangun perusahaan dimulai dengan hal yang disukainya (passion) dan terdapat misi sosial (social purpose) dalam pekerjaannya.
Gaya Kepemimpinan 4.0
Standar kepemimpinan di lintas lini telah berubah seiring dengan perkembangan industri 4.0. Salah satu kemampuan utama pemimpin 4.0 perlu memahami bagaimana cara bereaksi sangat cepat (super fast response) terhadap berbagai hal dalam ruang kendalinya. Dari komunikasi teks 24/7 hingga kemampuan komunikasi publik dalam ranah online ataupun offline.
Dalam tujuan, pemimpin 4.0 pun harus lebih berorientasi pada hasil (result-goal oriented), tidak selalu mengedepankan prosedur dalam pengambilan keputusan. Menjaga integritas menjadi kompetensi utama bagi pemimpin 4.0 karena segala sesuatu yang berkait dengan pekerjaan menjadi transparan. Leader 4.0 harus mendengar, melihat, merasakan dan turun ke medan pekerjaan agar dapat mengambil keputusan dan melihat masalah dengan sebaik-baiknya. Keputusan yang dibuat pun harus dilakukan secara cepat dan tepat.
Kemampuan mengembangkan bakat dan talenta juga merupakan tugas utama pemimpin 4.0. Pergerakan dan pergeseran terjadi kian cepat sehingga pribadi yang tidak agile dan mampu beradaptasi dengan cepat dari pemikiran konvensional akan sirna. Pemuda dengan sederet prestasi dan kompetensi perlu diarahkan agar dapat melalui proses regenerasi dengan baik. Milenial yang dikenal cepat bosan dan mudah berpindah ke lain hati dapat diantisipasi dengan adanya program pengembangan talenta yang sistemik dan menjanjikan. Dengan begini, loyalitas dan solidaritas tim akan meningkat.
Terakhir, praktik kepemimpinan inklusif menjadi gaya kepemimpinan yang wajib dipraktikkan dalam keseharian para ‘millennial leaders’. Belajar dari Obama, berhasil berperan sebagai “pembisik milenial’’ (millennials whisperer) karena dinilai mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh generasi muda di AS, salah satunya perihal toleransi. Hal ini membawa Obama memenangkan suara 77% dari suara pemuda Amerika Serikat. Lain hal dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, yang menjadi idola milenial Kanada karena berhasil menginternalisasikan isu kesetaraan (equality) dan keberagaman (diversity) di kalangan anak-anak muda Kanada. Di Jerman, 2017 lalu Reuters menyatakan Kanselir Jerman Angela Merkel mendapat suara 47% dari pemilih pemula karena dianggap peduli pada isu kedamaian di wilayah Timur Tengah. Ketiga contoh kasus tersebut menyatakan bahwa kemampuan menjaga toleransi, menjaga kedamaian, dan memfasilitasi keberagaman sebagai kekuatan, dianggap sebagai karakteristik sosok pemimpin milenial sukses di era 4.0 ini.
Menerima perbedaan, terkoneksi sepanjang waktu dengan banyak pihak, mahir mengakomodasi perspektif, mengedepankan kolaborasi lintas lini, hingga meredam ego pekerja milenial yang saat ini mendominasi berbagai sektor lapangan pekerjaan. Belum lagi dengan hadirnya empat generasi dalam satu lingkungan kerja (boomers, x, millennials, z), pemimpin 4.0 harus adaptif menghadapi berbagai perbedaan dalam sistem operasional kerjanya. Perbedaan nilai, cara pandang, kesenjangan budaya dan cara komunikasi jangan dianggap sebagai suatu hambatan, namun dijadikan tantangan yang harus diatasi dengan elegan. Karenanya, pemimpin 4.0 harus menjalankan kepemimpinan yang mengedepankan pendekatan manusia, human-based approach. Sudah seharusnya pemimpin muda 4.0 mampu memanusiakan rekan kerja dengan empati dan mengedepankan budaya apresiatif dalam lingkungan kerjanya.
Solusi Terbaik
Strauss Schwab, pelopor Revolusi Industri 4.0, menegaskan bahwa salah satu cara terbaik memperbaiki kualitas generasi, khususnya ‘milenial’, yaitu mereformasi kebijakan pendidikan. Karenanya, kualitas sistem pendidikan menjadi faktor penentu menguat atau melemahnya kualitas generasi mudanya di masa yang akan datang.
Hadirnya era 4.0 ini tidak hanya mengubah peta industri, namun juga pergeseran perspektif, profesi, cara komunikasi, pekerjaan, konsumsi, gaya hidup, dan bertransaksi. Pemimpin 4.0 dapat juga dikatakan sebagai digital leaders (pemimpin digital). Salah satu ciri pemimpin digital ialah gaya pengambilan keputusan yang berdasarkan data, transparan dan realtime. Lebih sederhana, tidak bertele-tele dan tepat sasaran. Pemuda yang paling siap dan mampu memantaskan diri dengan percepatan dan perkembangan zamanlah yang akan bertahan. Apalagi tantangan lebih berat di masa depan.
Gaya kepemimpinan dan komunikasi sebenarnya dua kata kuncinya: partisipatif dan kolaboratif. Dua hal ini nantinya yang akan memenuhi ruang manajemen organisasi dan kepemimpinan 4.0 . Dalam era yang serbacepat ini, pasti banyak masalah yang muncul sebelum kita menyelesaikan masalah lain sehingga menjadi kompleks. Karenanya, pemimpin 4.0 tidak bisa sendiri dan membutuhkan kolaborasi dari banyak pihak untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Pemimpin milenial perlu lebih banyak mengasah serta mempertajam kemampuan dalam hal mereduksi birokrasi, mengelola keberagaman, komunikasi dua arah, dan memfasilitasi kolaborasi antarpihak.
Kemampuan yang dibutuhkan seorang pemimpin 4.0 akan tetap sama, tetapi akan ada perbedaan soal hard skill. Utamanya mereka harus mengerti soal big data, konsekuensi dari virus, cloud, pembuatan aplikasi, dan sebagainya. Mengapa kolaborasi menjadi demikian penting di era 4.0 ini? Karena tidak ada pemimpin yang sempurna. Ada yang paham soal konsep, namun tidak ahli dalam kajian teknis dan operasional. Hal tersebut lumrah, karenanya pemimpin 4.0 bisa mempercayakan dan mendelegasikan hal tersebut kepada anggota tim yang lebih ahli di bidang itu. Memberdayakan anggota tim akan menjadi faktor yang signifikan dalam kesuksesan kepemimpinan 4.0. Tugas pemuda harus peduli mendukung peran pemerintah di era digitalitasi dan otomasi ini. Sebagai pengawal generasi untuk mempersiapkan generasi terbaik yang mengangkat derajat Ibu Pertiwi lebih tinggi lagi.
(wib)