Upaya Merusak Akal Sehat

Senin, 04 Maret 2019 - 07:06 WIB
Upaya Merusak Akal Sehat
Upaya Merusak Akal Sehat
A A A
Bambang Soesatyo Ketua DPR RI,

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila,

Kepala Badan Bela Negara FKPPI

MERUSAK akal sehat adalah bentuk lain upaya pem­bo­dohan. Jika upaya me­rusak akal sehat publik di­la­kukan secara sistematis dan ber­kelanjutan, negara dan se­mua elemen komunitas bangsa ini tidak boleh tinggal diam. Upaya pembodohan dengan stra­tegi merusak akal sehat pu­blik itu harus dihentikan demi masa depan daya saing ge­ne­rasi milenial.

Upaya merusak akal sehat publik belakangan ini dir­a­sa­kan cukup intens. Aktor in­te­lektual dari upaya ini tentu saja bukan sosok yang ber­pen­di­dikan rendah. Strategi me­ru­sak akal sehat publik dirancang oleh mereka yang well educated atau berpendidikan tinggi. Mereka yang paham psikologi ma­syarakat dan tahu bagai­ma­na caranya bisa menggoreng atau mengaduk-aduk emosi ba­nyak orang.

Baik melalui cara menjejali ruang publik dengan in­formasi palsu, berita bo­hong, menjungkirkbalikan ke­be­naran dan kesalahan, hingga mendorong dan membangun kebencian karena alasan per­bedaan latarbelakang, asal-usul dan hingga beda ke­ya­kinan. Ada kekhawatiran bah­wa para perusak akal sehat ini di­tunggangi kepentingan asing yang ingin melihat NKRI porak poranda.

Sebagaimana telah disak­si­kan atau disimak banyak orang, aksi merusak akal sehat publik ini melibatkan berbagai kalangan sesuai dengan ka­pasitas keilmuannya masing-masing. Tak ketinggalan adalah mereka yang ber­predikat ahli ekonomi. Misal­nya, pemahaman tentang ke­berhasilan menguasai 51% saham PT Freeport Indonesia misalnya, pun dijung­kir­balikan.

Penguasaan itu dinilai sebagai sebuah kesalahan dan kebodohan, karena diasum­si­kan bahwa Freeport Indonesia akan bisa dimiliki dengan gratis saat kontraknya tidak diper­panjang.Pengertian ini yang coba ditanamkan ke publik. Perusak akal sehat tidak berani menjelaskan bahwa Freeport Indonesia itu adalah entitas bisnis dengan catatan kinerja yang tak mungkin dihapus be­gitu saja.

Freeport tak sekadar menambang, tetapi dia datang membawa teknologi pe­nam­bangan terkini. Kalau kon­traknya diputus begitu saja dan Free­port dibiarkan pergi, bagai­mana masa depan ke­giatan penambangan di sana? Apakah para perusak akal sehat itu bisa menyediakan teko­no­logi penambangan yang lebih canggih dari milik Freeport McMoran?

Nilai tukar valuta yang pasti akan selalu fluktuatif karena mekanisme pasar, ditunggangi sedemikian rupa untuk me­la­hirkan analisa dan pernyataan yang menakut-nakuti publik. Hal itu terlihat ketika rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS. Sebaliknya, ketika rupiah terapresiasi, mereka bungkam. Begitu pula dalam kasus utang luar negeri. Para perusak akal sehat sangat minim membahas pemanfaatan utang. Mereka lebih mengedepankan isu ten­tang volume utang luar negeri.

Urgensi dari percepatan dan pemerataan pem­bangun­an infrastruktur pun di­jung­kirbalikan agar publik gagal paham. Sudah barang tentu penggunaan utang luar negeri untuk membangun infras­truk­tur pun dipersalahkan. Bagi pe­rusak akal sehat, pemerataan dan percepatan pembangunan infrastruktur di semua daerah tidak penting-penting amat. Dengan fakta bahwa pem­bangunan ragam infrastruktur di berbagai pulau dan daerah tampak dipercepat, tentu ka­rena pemerintah ingin meng­hilangkan kesan ketimpangan itu demi kokohnya NKRI, sekarang dan di masa depan.

Se­lain itu, infrastruktur di dae­rah terpencil sekali pun me­mang harus didahulukan un­tuk menopang aktivitas per­ekonomian masyarakat. Tidak ada investasi yang akan masuk jika sebuah daerah tidak punya ruas jalan yang memadai, mi­nim tenaga listrik dan te­le­komunikasi, tidak ada jem­batan atau tidak ada pe­la­buhan.

Perlawanan Bersama

Ekses dari upaya merusak akal sehat publik tak jarang diterima aparat penegak hu­kum. Mereka sering dituduh melakukan kriminalisasi ter­hadap pendakwah agama yang terbukti melanggar hukum. Salah dan benar dijung­kir­balikan sedemikian rupa. Tak hanya itu, presiden pun dikenai berbagai tuduhan tanpa di­sertai bukti yang akurat dan legal. Dan, ternyata, tidak se­dikit yang percaya dengan se­gala sesuatu yang dituduhkan kepada presiden itu. Seseorang yang tidak bersalah dituduh bersalah, dan orang lain di­pak­sa untuk mempercayai ke­be­naran tuduhan itu.

Kecenderungan ini harus dihentikan. Upaya pem­bo­doh­an atau merusak akal sehat juga harus dipahami sebagai bentuk lain dari penindasan. Sudah ba­rang tentu melanggar prinsip-prinsip hak azasi manusia (HAM). Karena itulah negara dan juga berbagai elemen war­ga bangsa jangan tinggal diam. Tak cukup hanya dengan ber­sikap menolak, tetapi upaya me­ru­sak akal sehat itu harus di­lawan dengan pendekatan yang sangat tegas, sebab ne­gara harus melindungi rakyat dari upaya pembodohan yang dilakukan oleh siapa pun.

Harus dibangun kesadaran ber­sama untuk mengajak se­lu­ruh elemen masyarakat me­no­lak informasi, hasutan, dan ujaran yang merusak akal sehat. Dalam menyikapi setiap persoalan, publik didorong agar hendaknya tetap ber­patokan pada fakta dan in­formasi resmi yang akurat, serta penjelasan dari institusi atau figur yang kompetensinya sudah teruji.

Di tengah tingginya in­ten­sitas lalu lintas informasi dan banjir pernyataan di ruang publik saat ini, setiap individu atau komunitas dituntut un­tuk lebih mengutamakan ra­sionalitas dan objektivitas ber­dasarkan fakta dan informasi yang sah dan akurat, atau pen­jelasan yang bersumber dari pihak yang paling ber­kom­peten. Jangan terperangkap pada subjektivitas, karena sub­jektivitas tak jarang me­nye­bab­kan munculnya perilaku dan pola pikir irasional.

Ajakan dan imbauan ini hendaknya bisa bergema di setiap ruang publik karena upa­ya merusak akal sehat publik akhir-akhir ini dilakukan se­cara terorganisasi dan ber­ke­lanjutan. Upaya merusak akal sehat itu dilakukan melalui stra­tegi membanjiri ruang pu­blik dengan berita bohong, in­for­masi palsu plus sejumlah sen­sasi atau tindakan ko­n­tro­versial.

Mereka yang terus coba me­ru­sak akal sehat masyarakat itu sudah gelap mata akibat nafsu mendapatkan materi dan ke­kuasaan. Sekali lagi, mereka ke­lompok terdidik yang ingin meng­halalkan segala cara un­tuk menggapai tujuannya. Me­re­ka sadar sedang bekerja mem­b­odohi orang banyak, ter­masuk menargetkan puluhan juta generasi milenial, tetapi tetap saja mereka tidak peduli.

Mengacu pada kepri­ha­tin­an itulah semua elemen ma­sya­rakat hendaknya tergerak un­tuk menolak informasi, ha­sut­an, dan ujaran yang merusak akal sehat. Dalam menyikapi setiap persoalan, publik hen­dak­nya tetap berpatokan pada fakta dan informasi resmi yang akurat, serta penjelasan dari institusi atau figur yang kom­petensinya sudah teruji.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0605 seconds (0.1#10.140)