KPU Diminta Seriusi Masalah Karut Marut Daftar Pemilih
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta seriusi masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) terutama Daftar Pemilih Tetap Tambahan (DPTb) juga adanya warga negara asing (WNA) yang masuk dalam DPT.
Hal tersebut diungkapkan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kode Inisitatif, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi serta Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).
Sekretaris Jenderal KIPP, Kaka Suminta menyatakan elemen penting dalam demokrasi electoral adalah pemilih. Esensi pemilu di negara demokrasi adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh elemen masyarakat.
Hal tersebut dimulai dengan jaminan dengan jaminan kebebasan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Sudah selayaknya KPU dan Bawaslu dituntut untuk proaktif dalam mengidentifikasi dan memantau hambatan-hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Serentak 2019.
"Orientasi pemenuhan hak (right base policy) harus dikedepankan KPU dalam melakukan kerja administrasi kepemiluan khusunya dalam melakukan pendataan pemilih baik itu DPT, DPTb, dan DPK," ujarnya di Jakarta, Minggu (3/3/2019).
Begitupun dengan Bawaslu yang harus lebih proaktif lagi dalam memitigasi sejumlah persoalan terutama dalam menjamin warga negara dapat menggunakan hak pilihnya. "Serta melindungi hak pilih warga negara dari berbagai gangguan seperti ujaran kebencian, politik uang, dan potensi kesalahan teknis dalam memberikan hak pilih," jelasnya.
Kaka mengungkapkan hambatan masyarakat dalam menggunakan hak pilih terdapat pada dua aspek. Pertama hambatan aspek administratsi kepemiluan, pada aspek ini yang terbaru adalah polemik seputar DPTb.
"Sekali lagi KPU tampak gamang dalam menyikapi potensi kurangnya surat suara di TPS karena banyaknya pemilih yang melakukan pindah memilih pada hari pemungutan suara," jelasnya.
Persoalan teknis ini harusnya dapat diselesaikan oleh KPU mengingat kelembagaan penyelenggaraan pemilu telah berjalan dan terus diperkuat dalam empat penyelenggaraan pemilu terakhir paska reformasi.
Hambatan kedua, sambungnya, pada aspek subtasial, jaminan kebebasan masyarakat dalam menggunakan hak pilih terganggu dengan maraknya isu SARA dan ujaran kebencian, tingginya potensi praktik politik uang, serta minimnya pembahasan yang mengupas visi-misi dan program kerja baik kandidat maupun partai politik beserta calon anggota legislatif (caleg).
"Satu hal lain yang dapat menjadi hambatan adalah ancaman akan tingginya suara tidak sah pada Pemilu 2019. Merujuk seri data pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa potensi suara tidak sah cukup tinggi di Pemilu 2019," jelasnya.
Sinyalemen ini layaknya direspons serius oleh KPU dan Bawaslu dalam menyelenggarakan dan mengawasi Pemilu 2019. "Peningkatan kinerja dan evaluasi capaian harus dilakukan dua lembaga penyelenggara pemilu tersebut dalam kurun waktu kurang dari dua bulan menjelang hari pemungutan suara," tegasnya.
Sebelumnya, Amien Rais juga menuntut pemilu yang adil, bersih, dan tanpa kecurangan. Dia juga menegaskan kubu capres-cawapres nomor urut 02 telah mempersiapkan pasukan IT untuk melakukan proses audit KPU jelang pemilu.
"Saya peringatkan, bahwa pada awal April nanti, Tim Adil Makmur akan datang dengan full force IT-nya. Kita akan meminta audit forensik terakhir. Kalau enggak mau, berarti memang ada niat curang ya," ucapnya kemarin.
Dia mengaku tak ingin berspekulasi lebih jauh tentang kecurangan yang dilakukan oleh KPU. "Saya belum bisa mengatakan ada curang atau tidak, sekali pun gejala-gejala itu sudah kelewatan dan terlihat secara terang benderang. Tapi kita masih khusnudzon, kita masih ada agak baik sangka," jelasnya.
Senada dengan Amien, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan sepakat dengan usulan agar dilakukan uji forensik terhadap sistem IT KPU untuk mencegah kecurangan. "Jadi saya sudah baca data-datanya. Rupanya memang data-data DPT itu banyak yang aneh. Jadi misalnya invalid, jumlahnya 8-9 persen dari 192 juta pemilih. Itu 8 sampai 9 persen itu besar, itu bisa sampai 15 juta," ujarnya.
Hal yang dimaksudkan DPT Pemilu invalid salah satunya ada 9 juta pemilih yang lahir tanggal 1 Juli. Hal ini menurutnya aneh karena enggak mungkin ada penduduk Indonesia lahir dalam tanggal yang sama dalam rentang waktu tertentu.
"Kata ahli statistik dalam rentang penduduk Indonesia enggak mungkin ada 9 juta orang lahir di tanggal yang sama. Saya dikasih tahu orang banyak yang aneh data ini," ucapnya.
Kecurangan paling berat, lanjutnya, bukan kecurangan manual karena gampang ditemukan. Sementara yang berbahaya adalah kecurangan digital. Karena itulah agar tak ada kecurigaan, KPU harus melakukan uji forensik.
"Makanya supaya keraguan kecurigaan ada kecurangan digital, forensik dong. Buka, panggil ahli dari 01, ahli dari partai-partai, ini sistemnya, suruh bongkar. Bongkar itu bukan berarti mulai dari nol, tapi periksa. Ada masalah enggak di situ," ujarnya.
Dia juga mengatakan KPU tidak menggunakan data DPT baru dari Dukcapil, melainkan menggunakan data Pemilu lama. Data ini menurutnya rawan ditumpangi.
"Menurut saya data pemilu lama itu data yang rawan ditumpangi dengan bahasa program tertentu yang bisa berbahaya, bisa diatur kode-kode algoritma yang berbahaya. KPU harus terbuka, harus mau, harus mendengar. Karena kita apapun nomor satu adalah kredibilitas dan legitimasi dari Pemilu itu," tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Komisioner KPU Viryan Aziz menyatakan akan melakukan pembenahan pada DPT terutama pada kasus WNA yang tercantum dalam DPT. Viryan mengatakan saat ini pihaknya tengah menunggu Dukcapil menyerahkan 1.600 data e-KTP WNA. Dia memastikan WNA tidak memiliki hak pilih dalam pemilu dan menjamin akan melakukan pengecekan data WNA dengan DPT dalam waktu satu hari.
"Kita akan melakukan cek menyeluruh, terhadap WNA yang sudah memiliki KTP elekitronik dan memastikan tidak ada yang masuk dalam DPT Pemilu 2019. KPU berharap data tersebut dapat cepat diterima dan proses cek akan selesai dalam waktu tidak sampai satu hari saja, mengingat jumlahnya berdasarkan pemberitaan di media hanya 1.600-an. Saya jamin selesai dalam waktu satu hari, KPU akan segera mempublikasikan," ucapnya.
Menurutnya, salah satu cara yang bisa dilakukan Dukcapil guna memastikan WNA yang punya KTP elektronik tidak memilih, bisa dengan menarik sementara KTP elektronik WNA sampai pemilu selesai. "Bagus juga bila KTP elektronik untuk WNA dengan warna yang berbeda," jelasnya.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan, mengatakan pihaknya siap meladeni permintaan audit forensik IT. Namun pihaknya menjelaskan proses rekapitulasi suara hingga mendapatkan hasil akhir itu tidak menggunakan sistem IT.
"Kami tetap akan merespons permintaan, audit forensik IT akan kita lakukan. Tetapi saya memberikan informasi bahwa hasil pemilu itu tidak ditentukan oleh tabulasi IT, tetapi oleh tumpukan kertas manual," ucapnya.
Wahyu mengatakan hasil akhir pemilu tidak menggunakan sistem IT. Hasil akhir pemilu itu berdasarkan kertas secara berjenjang. Proses yang berjenjang tersebut, mulai dari penghitungan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS), rekapitulasi di kecamatan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), hingga rekapitulasi di KPU.
"Semua itu, tidak menggunakan sistem IT, melainkan proses fisik kertas suara. Di KPU tingkat kabupaten, lalu naik lagi rekapitulasi di tingkat provinsi, dan terakhir rekapitulasi nasional di tingkat KPU," ujarnya," tegasnya.
Wahyu juga menjelaskan, penghitungan suara juga disahkan melalui rapat pleno terbuka yang dihadiri saksi, Bawaslu hingga pemantau.
Hal tersebut diungkapkan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kode Inisitatif, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi serta Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).
Sekretaris Jenderal KIPP, Kaka Suminta menyatakan elemen penting dalam demokrasi electoral adalah pemilih. Esensi pemilu di negara demokrasi adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh elemen masyarakat.
Hal tersebut dimulai dengan jaminan dengan jaminan kebebasan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Sudah selayaknya KPU dan Bawaslu dituntut untuk proaktif dalam mengidentifikasi dan memantau hambatan-hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Serentak 2019.
"Orientasi pemenuhan hak (right base policy) harus dikedepankan KPU dalam melakukan kerja administrasi kepemiluan khusunya dalam melakukan pendataan pemilih baik itu DPT, DPTb, dan DPK," ujarnya di Jakarta, Minggu (3/3/2019).
Begitupun dengan Bawaslu yang harus lebih proaktif lagi dalam memitigasi sejumlah persoalan terutama dalam menjamin warga negara dapat menggunakan hak pilihnya. "Serta melindungi hak pilih warga negara dari berbagai gangguan seperti ujaran kebencian, politik uang, dan potensi kesalahan teknis dalam memberikan hak pilih," jelasnya.
Kaka mengungkapkan hambatan masyarakat dalam menggunakan hak pilih terdapat pada dua aspek. Pertama hambatan aspek administratsi kepemiluan, pada aspek ini yang terbaru adalah polemik seputar DPTb.
"Sekali lagi KPU tampak gamang dalam menyikapi potensi kurangnya surat suara di TPS karena banyaknya pemilih yang melakukan pindah memilih pada hari pemungutan suara," jelasnya.
Persoalan teknis ini harusnya dapat diselesaikan oleh KPU mengingat kelembagaan penyelenggaraan pemilu telah berjalan dan terus diperkuat dalam empat penyelenggaraan pemilu terakhir paska reformasi.
Hambatan kedua, sambungnya, pada aspek subtasial, jaminan kebebasan masyarakat dalam menggunakan hak pilih terganggu dengan maraknya isu SARA dan ujaran kebencian, tingginya potensi praktik politik uang, serta minimnya pembahasan yang mengupas visi-misi dan program kerja baik kandidat maupun partai politik beserta calon anggota legislatif (caleg).
"Satu hal lain yang dapat menjadi hambatan adalah ancaman akan tingginya suara tidak sah pada Pemilu 2019. Merujuk seri data pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa potensi suara tidak sah cukup tinggi di Pemilu 2019," jelasnya.
Sinyalemen ini layaknya direspons serius oleh KPU dan Bawaslu dalam menyelenggarakan dan mengawasi Pemilu 2019. "Peningkatan kinerja dan evaluasi capaian harus dilakukan dua lembaga penyelenggara pemilu tersebut dalam kurun waktu kurang dari dua bulan menjelang hari pemungutan suara," tegasnya.
Sebelumnya, Amien Rais juga menuntut pemilu yang adil, bersih, dan tanpa kecurangan. Dia juga menegaskan kubu capres-cawapres nomor urut 02 telah mempersiapkan pasukan IT untuk melakukan proses audit KPU jelang pemilu.
"Saya peringatkan, bahwa pada awal April nanti, Tim Adil Makmur akan datang dengan full force IT-nya. Kita akan meminta audit forensik terakhir. Kalau enggak mau, berarti memang ada niat curang ya," ucapnya kemarin.
Dia mengaku tak ingin berspekulasi lebih jauh tentang kecurangan yang dilakukan oleh KPU. "Saya belum bisa mengatakan ada curang atau tidak, sekali pun gejala-gejala itu sudah kelewatan dan terlihat secara terang benderang. Tapi kita masih khusnudzon, kita masih ada agak baik sangka," jelasnya.
Senada dengan Amien, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan sepakat dengan usulan agar dilakukan uji forensik terhadap sistem IT KPU untuk mencegah kecurangan. "Jadi saya sudah baca data-datanya. Rupanya memang data-data DPT itu banyak yang aneh. Jadi misalnya invalid, jumlahnya 8-9 persen dari 192 juta pemilih. Itu 8 sampai 9 persen itu besar, itu bisa sampai 15 juta," ujarnya.
Hal yang dimaksudkan DPT Pemilu invalid salah satunya ada 9 juta pemilih yang lahir tanggal 1 Juli. Hal ini menurutnya aneh karena enggak mungkin ada penduduk Indonesia lahir dalam tanggal yang sama dalam rentang waktu tertentu.
"Kata ahli statistik dalam rentang penduduk Indonesia enggak mungkin ada 9 juta orang lahir di tanggal yang sama. Saya dikasih tahu orang banyak yang aneh data ini," ucapnya.
Kecurangan paling berat, lanjutnya, bukan kecurangan manual karena gampang ditemukan. Sementara yang berbahaya adalah kecurangan digital. Karena itulah agar tak ada kecurigaan, KPU harus melakukan uji forensik.
"Makanya supaya keraguan kecurigaan ada kecurangan digital, forensik dong. Buka, panggil ahli dari 01, ahli dari partai-partai, ini sistemnya, suruh bongkar. Bongkar itu bukan berarti mulai dari nol, tapi periksa. Ada masalah enggak di situ," ujarnya.
Dia juga mengatakan KPU tidak menggunakan data DPT baru dari Dukcapil, melainkan menggunakan data Pemilu lama. Data ini menurutnya rawan ditumpangi.
"Menurut saya data pemilu lama itu data yang rawan ditumpangi dengan bahasa program tertentu yang bisa berbahaya, bisa diatur kode-kode algoritma yang berbahaya. KPU harus terbuka, harus mau, harus mendengar. Karena kita apapun nomor satu adalah kredibilitas dan legitimasi dari Pemilu itu," tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Komisioner KPU Viryan Aziz menyatakan akan melakukan pembenahan pada DPT terutama pada kasus WNA yang tercantum dalam DPT. Viryan mengatakan saat ini pihaknya tengah menunggu Dukcapil menyerahkan 1.600 data e-KTP WNA. Dia memastikan WNA tidak memiliki hak pilih dalam pemilu dan menjamin akan melakukan pengecekan data WNA dengan DPT dalam waktu satu hari.
"Kita akan melakukan cek menyeluruh, terhadap WNA yang sudah memiliki KTP elekitronik dan memastikan tidak ada yang masuk dalam DPT Pemilu 2019. KPU berharap data tersebut dapat cepat diterima dan proses cek akan selesai dalam waktu tidak sampai satu hari saja, mengingat jumlahnya berdasarkan pemberitaan di media hanya 1.600-an. Saya jamin selesai dalam waktu satu hari, KPU akan segera mempublikasikan," ucapnya.
Menurutnya, salah satu cara yang bisa dilakukan Dukcapil guna memastikan WNA yang punya KTP elektronik tidak memilih, bisa dengan menarik sementara KTP elektronik WNA sampai pemilu selesai. "Bagus juga bila KTP elektronik untuk WNA dengan warna yang berbeda," jelasnya.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan, mengatakan pihaknya siap meladeni permintaan audit forensik IT. Namun pihaknya menjelaskan proses rekapitulasi suara hingga mendapatkan hasil akhir itu tidak menggunakan sistem IT.
"Kami tetap akan merespons permintaan, audit forensik IT akan kita lakukan. Tetapi saya memberikan informasi bahwa hasil pemilu itu tidak ditentukan oleh tabulasi IT, tetapi oleh tumpukan kertas manual," ucapnya.
Wahyu mengatakan hasil akhir pemilu tidak menggunakan sistem IT. Hasil akhir pemilu itu berdasarkan kertas secara berjenjang. Proses yang berjenjang tersebut, mulai dari penghitungan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS), rekapitulasi di kecamatan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), hingga rekapitulasi di KPU.
"Semua itu, tidak menggunakan sistem IT, melainkan proses fisik kertas suara. Di KPU tingkat kabupaten, lalu naik lagi rekapitulasi di tingkat provinsi, dan terakhir rekapitulasi nasional di tingkat KPU," ujarnya," tegasnya.
Wahyu juga menjelaskan, penghitungan suara juga disahkan melalui rapat pleno terbuka yang dihadiri saksi, Bawaslu hingga pemantau.
(kri)