Hanoi dan Box Office Summit
A
A
A
Hanoi, Vietnam, akan menjadi tuan rumah pertemuan puncak kedua Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un. Pertemuan dijadwalkan berlangsung pada tanggal 27-28 Februari 2019. Sebelumnya, pertemuan pertama dilakukan di Singapura pada 12 Juni 2018. Pertemuan itu sukses menyedot perhatian dunia karena situasi kritikal Semenanjung Korea yang secara teknis sebenarnya memang masih dalam siaga perang.
Ini untuk kedua kalinya negara di Kawasan Asia Tenggara dipilih sebagai tempat KTT AS-Korut yang digadang-gadang akan menghasilkan terobosan baru menyudahi konflik laten di Korea. Kamera, jurnalis, blizz and buzz media bakalan seperti lebah mengerubuti perhelatan politik yang punya implikasi luas di kawasan.
PM Vietnam Nguyen Xuan Phuc sangat semringah negaranya menjadi tuan rumah pertemuan puncak tersebut. “Vietnam akan mendemonstrasikan peran internasional baru dan berusaha sekeras mungkin melakukan yang terbaik agar dunia terbiasa mendengar kata Vietnam,” ujarnya diplomatis, di hadapan para pelaku bisnis di Hanoi Stock Exchange, Selasa (12/2).
Vietnam disebut komunis yang capitalist leanings, tetapi pesonanya mampu mengalahkan tetangga-tetangga dekatnya di Asia Tenggara yang lebih dahulu maju. Harian The Straits Times menyebut Vietnam sebagai salah satu ekonomi paling tumbuh di Asia dan one of the most diplomatically savvy di kawasan. Wow!
Tentu ada banyak pertimbangan praktis dan logistik yang mendasari keputusan memilih Vietnam. Tadinya, Hawai, negara bagian AS, juga digosipkan sebagai salah satu opsi. Tetapi, politisnya saya kira adalah karena Vietnam merupakan satu dari sekian handful countries yang punya hubungan baik dengan Korut (established relationship).
Iya, but why Vietnam? Seperti Pyongyang, Hanoi juga dahulu sangat terpuruk dan terkunci dalam perang yang sangat berdarah dan menyakitkan dengan AS. Kini, memori itu lambat laun pupus. Hanoi sekarang ibarat gadis cantik yang merajuk Washington untuk mau terlibat dalam hubungan jarak jauh melintasi Pasifik.
Vietnam, di mata Kim, boleh jadi copy paste paling pas bagi negaranya untuk ditiru. Kim ingin belajar dari transformasi ekonomi Hanoi setelah perang. Semua yang dicapai Hanoi merupakan sumber inspirasi yang bisa dipakai Kim membawa Korut keluar dari kubangan dan move on.
Paradox Vietnam sebagai negara komunis dengan memori hostility tinggi terhadap AS tidak mudah dilupakan. Sungguh kontras dengan realitas hubungannya dengan Washington saat ini. Hanoi sangat aktif membangun hubungan ekonominya dengan AS. Vietnam juga menjadi salah satu negara anggota ASEAN terdepan dalam menyuarakan pentingnya traktat perdagangan regional Trans-Pacific Partnership (TPP) dilakukan dengan Washington di bawah Barrack Obama.
Washington dan Pyongyang boleh punya kalkulasi sendiri-sendiri untuk memanfaatkan Vietnam. Namun, bagi Hanoi, gravitas diplomatik dari attitude baru negara itu di kancah global merupakan buah cerita sukses tentang bagaimana mengubah negara pariah perang itu menjadi negara ekonomi yang sangat penting. Kata Menlu AS, Mike Pompeo kepada Kim Jong-un tentang Vietnam, “Your country can replicate this path, it’s yours if you will seize the moment”.
Hanoi sangat paham bahwa untuk mempresentasikan ukuran dan postur diplomasi negaranya, mereka harus bergerak ke luar (outward looking). Reorientasi hubungan dengan dunia luar yang didesain Hanoi menempati porsi yang cukup dominan dalam instrumentasi kebijakan luar negeri.
Saat ini, Vietnam bahkan mampu memberikan settling effect yang serius dalam menjaga balance of power di tengah pergumulan para powerhouse kawasan antara AS dan China. Tidak hanya dari sisi kepentingan ekonomi, atau perdagangan, melainkan juga dari segi kepentingan politik dan keamanan regional.
Penyelenggaraan KTT Trump-Kim menjadi contoh paling nyata. Keberanian Hanoi menjadi pionir penandatanganan traktat TPP versi Obama dari kawasan ASEAN, juga dapat menjadi salah satu referensi sebelum kemudian pada akhirnya langkah itu dibekukan dalam masa Pemerintahan Donald Trump.
Vietnam setidaknya berkaca dari pengalaman saudara-saudara tuanya di Asia Tenggara bahwa untuk maju dan diakui, mereka harus keluar. Menjadi katak dalam tempurung bukanlah opsi yang membantu menjadikan Vietnam seperti sekarang. Mereka juga sadar bahwa ongkos diplomasi memang bukan merupakan aktivitas berbiaya ringan. Ada ongkos, ada rupa. Seperti kata pemeo, what you drive is what you are!
Sebaliknya dalam gempita diplomasi, mengambil keuntungan dari perhelatan KTT Trump-Kim yang disebut box office summit oleh analis Vu Minh Khuong dari Lee Kuan Yeuw School, Singapura, bukanlah hal baru dan tabu.
Bagi Vietnam, selain keuntungan materiil dan berada di bawah spothlight media internasional, KTT Trump-Kim pasti bisa merekonstruksi apa pun itu citra, branding, kredensial, dan pengakuan yang mungkin kini dibutuhkan Hanoi. Singapura telah memperolehnya dan kini giliran Vietnam. Who’s next?
Ini untuk kedua kalinya negara di Kawasan Asia Tenggara dipilih sebagai tempat KTT AS-Korut yang digadang-gadang akan menghasilkan terobosan baru menyudahi konflik laten di Korea. Kamera, jurnalis, blizz and buzz media bakalan seperti lebah mengerubuti perhelatan politik yang punya implikasi luas di kawasan.
PM Vietnam Nguyen Xuan Phuc sangat semringah negaranya menjadi tuan rumah pertemuan puncak tersebut. “Vietnam akan mendemonstrasikan peran internasional baru dan berusaha sekeras mungkin melakukan yang terbaik agar dunia terbiasa mendengar kata Vietnam,” ujarnya diplomatis, di hadapan para pelaku bisnis di Hanoi Stock Exchange, Selasa (12/2).
Vietnam disebut komunis yang capitalist leanings, tetapi pesonanya mampu mengalahkan tetangga-tetangga dekatnya di Asia Tenggara yang lebih dahulu maju. Harian The Straits Times menyebut Vietnam sebagai salah satu ekonomi paling tumbuh di Asia dan one of the most diplomatically savvy di kawasan. Wow!
Tentu ada banyak pertimbangan praktis dan logistik yang mendasari keputusan memilih Vietnam. Tadinya, Hawai, negara bagian AS, juga digosipkan sebagai salah satu opsi. Tetapi, politisnya saya kira adalah karena Vietnam merupakan satu dari sekian handful countries yang punya hubungan baik dengan Korut (established relationship).
Iya, but why Vietnam? Seperti Pyongyang, Hanoi juga dahulu sangat terpuruk dan terkunci dalam perang yang sangat berdarah dan menyakitkan dengan AS. Kini, memori itu lambat laun pupus. Hanoi sekarang ibarat gadis cantik yang merajuk Washington untuk mau terlibat dalam hubungan jarak jauh melintasi Pasifik.
Vietnam, di mata Kim, boleh jadi copy paste paling pas bagi negaranya untuk ditiru. Kim ingin belajar dari transformasi ekonomi Hanoi setelah perang. Semua yang dicapai Hanoi merupakan sumber inspirasi yang bisa dipakai Kim membawa Korut keluar dari kubangan dan move on.
Paradox Vietnam sebagai negara komunis dengan memori hostility tinggi terhadap AS tidak mudah dilupakan. Sungguh kontras dengan realitas hubungannya dengan Washington saat ini. Hanoi sangat aktif membangun hubungan ekonominya dengan AS. Vietnam juga menjadi salah satu negara anggota ASEAN terdepan dalam menyuarakan pentingnya traktat perdagangan regional Trans-Pacific Partnership (TPP) dilakukan dengan Washington di bawah Barrack Obama.
Washington dan Pyongyang boleh punya kalkulasi sendiri-sendiri untuk memanfaatkan Vietnam. Namun, bagi Hanoi, gravitas diplomatik dari attitude baru negara itu di kancah global merupakan buah cerita sukses tentang bagaimana mengubah negara pariah perang itu menjadi negara ekonomi yang sangat penting. Kata Menlu AS, Mike Pompeo kepada Kim Jong-un tentang Vietnam, “Your country can replicate this path, it’s yours if you will seize the moment”.
Hanoi sangat paham bahwa untuk mempresentasikan ukuran dan postur diplomasi negaranya, mereka harus bergerak ke luar (outward looking). Reorientasi hubungan dengan dunia luar yang didesain Hanoi menempati porsi yang cukup dominan dalam instrumentasi kebijakan luar negeri.
Saat ini, Vietnam bahkan mampu memberikan settling effect yang serius dalam menjaga balance of power di tengah pergumulan para powerhouse kawasan antara AS dan China. Tidak hanya dari sisi kepentingan ekonomi, atau perdagangan, melainkan juga dari segi kepentingan politik dan keamanan regional.
Penyelenggaraan KTT Trump-Kim menjadi contoh paling nyata. Keberanian Hanoi menjadi pionir penandatanganan traktat TPP versi Obama dari kawasan ASEAN, juga dapat menjadi salah satu referensi sebelum kemudian pada akhirnya langkah itu dibekukan dalam masa Pemerintahan Donald Trump.
Vietnam setidaknya berkaca dari pengalaman saudara-saudara tuanya di Asia Tenggara bahwa untuk maju dan diakui, mereka harus keluar. Menjadi katak dalam tempurung bukanlah opsi yang membantu menjadikan Vietnam seperti sekarang. Mereka juga sadar bahwa ongkos diplomasi memang bukan merupakan aktivitas berbiaya ringan. Ada ongkos, ada rupa. Seperti kata pemeo, what you drive is what you are!
Sebaliknya dalam gempita diplomasi, mengambil keuntungan dari perhelatan KTT Trump-Kim yang disebut box office summit oleh analis Vu Minh Khuong dari Lee Kuan Yeuw School, Singapura, bukanlah hal baru dan tabu.
Bagi Vietnam, selain keuntungan materiil dan berada di bawah spothlight media internasional, KTT Trump-Kim pasti bisa merekonstruksi apa pun itu citra, branding, kredensial, dan pengakuan yang mungkin kini dibutuhkan Hanoi. Singapura telah memperolehnya dan kini giliran Vietnam. Who’s next?
(nag)