Reforma Agraria Bukan Sebatas Sertifikasi Tanah

Kamis, 21 Februari 2019 - 09:01 WIB
Reforma Agraria Bukan...
Reforma Agraria Bukan Sebatas Sertifikasi Tanah
A A A
Muhammad Yahdi Salampessy
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Konsultan Hukum di Jakarta

DALAM debat calon presiden (capres) kedua yang digelar Minggu (17/2/2019), capres nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan keberhasilan reforma agraria yang telah dilaksanakan melalui program bagi-bagi sertifikat. Untuk sebagian orang yang mendengar dan menyaksikan pernyataan Jokowi tersebut seketika akan terkesima. Namun untuk sebagian orang yang kritis dan paham, makna sesungguhnya dari reforma agraria justru begitu menggelitik. Kenapa demikian? Sebab reforma agraria bukan hanya terbatas pada bagi-bagi sertifikat. Lebih tajam lagi, bagi-bagi sertifikat bukanlah reforma agraria.

Konsep bagi-bagi tanah yang disampaikan Jokowi dan seakan menjadi program andalan merupakan aksi yang populis, tetapi tidak menyentuh esensi sakral dari reforma agraria. Amanah Pasal 7 Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 7 UUPA, jelas reforma agraria yang dimanfestasikan melalui program bagi-bagi sertifikat tanah oleh Presiden Jokowi bukanlah reforma agraria yang sesungguhnya sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut. Pengaturan Pasal 7 UUPA yang kemudian melahirkan reforma agraria menitikberatkan pada penataan ulang struktur agraria yang timpang.

Secara filosofi, Pasal 7 UUPA bertujuan untuk mencegah dan mengakhiri groot-groondbezit , yaitu bertumpuknya tanah pada golongan-golongan dan orang-orang tertentu. Konsep inilah yang dikenal sebagai reforma agraria. Dengan kata lain reforma agraria merupakan suatu konsep yang bertujuan melakukan pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah.

Jangan Hanya Political Will
Ketua Umum Serikat Tani Nasional Ahmad Rifai dalam sebuah diskusi Dewan Pimpinan Nasional Keluarga Besar Marhaeni bertajuk "Pelaksanaan Reforma Agraria pada Era Jokowi-JK" mengatakan program sertifikasi tanah (sertifikat tanah) oleh capres Jokowi adalah political will dalam pelaksanaan reforma agraria. Pasalnya sertifikasi dapat berdampak pada liberalisasi atau hanya memperjelas posisi tanah dan mengurangi konflik. Menurutnya, apabila suatu saat tidak produktif, tanah yang sudah diberi sertifikat tersebut akan jatuh kepada pemilik modal.

Sebenarnya bagi-bagi sertifikat tanah yang disampaikan Jokowi merupakan bagian akhir dari reforma agraria. Dalam artia bagi-bagi sertifikat akan dilakukan jika bagian terpenting dari reforma agraria, yaitu pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah oleh segelintir orang atau pihak, sudah dilakukan.

Reforma agraria harus dapat dipahami bukan semata-mata membagikan tanah-lebih yang dikuasai negara kepada rakyat atau pembuatan sertifikat tanah. Reforma agraria merupakan keseluruhan kegiatan untuk membentuk aset produktif yang dapat dijadikan sumber penghidupan, menghasilkan nilai tambah ekonomi dan sosial, serta menjadi bagian dari proses pembentukan karakter bangsa dalam kehidupan bernegara.

Warisan Paradigma Sertifikasi Tanah
Pengambilalihan tanah di era Orde Baru yang berlangsung selama usia rezim itu telah menjadi penyebab terjadinya kemiskinan struktural. Merujuk pada catatan Noer Fauzi Rachman dalam Land Reform dari Masa ke Masa (2012), pemiskinan struktural itu melalui skema pembentukan kebijakan dan manajemen kelembagaan agraria yang militeristik.

Harus diakui bahwa pada awalnya istilah reforma agraria itu adalah perombakan terhadap struktur agraria feodal-kolonial, tetapi pada hari ini terjadi pergeseran konsep. Reforma agraria tidak lagi merujuk pada perombakan struktur agraria, melainkan administrasi pertanahan sosial.

Sesungguhnya konsep reforma agraria berbeda dengan sertifikasi. Sertifikasi berkaitan dengan tanggung jawab administratif pemerintah. Aksi untuk bagi-bagi sertifikat merupakan kewajiban pemerintah. Akan tetapi reforma agraria sebagai yang bersumber, berdasar, dan dimaksud dalam UUPA adalah konsep fungsi sosial tanah dan produktivitas tanah itu, bukan menjadikannya sebagai komoditas.

Pesan pentingnya adalah pergeseran konsep reforma agraria dari perombakan struktur agraria ke sertifikasi tanah pada akhirnya menunjukkan satu persoalan lama yang belum banyak berubah. Hal ini juga kian menjadikan konflik agraria terus-menerus meningkat dan belum dapat diselesaikan.

Alih-alih menyelesaikan, dalam debat kedua capres terlihat ketidaktahuan dan ketidakpahaman kedua capres mengenai persoalan konflik agraria. Jawaban atas pertanyaan dari panelis soal konflik agraria dijawab dengan minim informasi bahwa konflik agraria sudah diselesaikan dengan mekanisme yang adil, salah satunya dengan ganti untung, bukan ganti rugi. Padahal, persoalan konflik agraria lebih dari itu, salah satunya adalah adanya pemilikan dan penguasaan tanah yang berlebih dan terpusat.

Perlunya Pembatasan Kepemilikan dan Penguasaan Tanah
Bagi masyarakat agraris, tanah merupakan faktor produksi yang sangat penting. Bung Hatta bahan pernah mengatakan, "Baik buruknya penghidupan rakyat bergantung pada situasi hak milik tanah." Hal inilah yang menjadi dasar UUPA mengatur penguasaan dan membatasi pemilikan tanah oleh individu dan korporasi.

Berkaitan dengan hal itu, sampai saat ini belum ada pengaturan batas maksimum untuk HGU, HGB, dan hak pakai. Dengan belum ada pengaturan pembatasan dimaksud, muncul dua persoalan besar. Pertama , ada problem ketimpangan pemilikan tanah. Sebagian besar tanah berada di tangan segelintir orang. Bukan lagi tuan tanah, melainkan pemilik bisnis (kapitalis) besar. Kedua , pemilikan tanah oleh petani justru mengecil.

Kondisi itu tentu saja tidak sejalan dan berdasar pada semangat UUPA dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Dengan demikian reforma agraria yang disampaikan capres Jokowi akan menjadi sia-sia belaka bila tidak didasarkan pada pelaksanaan dua hal. Pertama , menghentikan liberalisasi ekonomi ugal-ugalan yang membiarkan korporasi menguasai tanah dalam jumlah yang sangat luas. Jika peruntukan tanah kerap setia dan menyembah pada kepentingan bisnis, bukan untuk kepentingan rakyat, reforma agraria yang digaungkan capres Jokowi akan kehilangan arti dan nyawa.

Jika ingin reforma agraria lebih bernyawa dan tidak dipandang hanya sebatas pada bagi-bagi sertifikat, Jokowi harus berani mencabut semua undang-undang yang memberi karpet merah bagi liberalisasi sektor agraria, yang menyingkirkan hak petani untuk mengakses sumber daya agraria, terutama tanah.

Kedua, melakukan pembatasan pemilikan lahan individu dan membatasi luas penguasaan tanah (HGU) untuk sektor bisnis, baik di sektor pertanian, kehutanan maupun pertambangan dan sebagainya. Jangan lagi ada kondisi di mana jutaan hektare tanah dikuasai hanya oleh segelintir grup bisnis.

Paradigma RUU Pertanahan
Wajah agraria Indonesia saat ini memang tengah diwarnai ketimpangan yang memiskinkan dan mengerasnya konflik agraria. Masalah agraria sudah tumbuh menjadi penyakit yang kronis tak berobat. Kondisi ini dibentuk akibat aksi dan perilaku instansi/aparat pemerintah serta bisnis dan preman dari lingkup lokal sampai global. Di tengah karut-marut wajah agraria, pemerintah dan DPR tengah menyusun RUU Pertanahan.

Saat ini pengaturan tentang pertanahan masih menginduk pada UUPA. Namun diharapkan ke depan Indonesia memiliki satu UU Pertanahan yang diproyeksikan sebagai pelengkap UUPA. Memang harus disadari, UU Pokok Agraria (UUPA) 1960 baru mengatur hal prinsip dan pokok sehingga perlu operasionalisasi khusus di bidang pertanahan. Di lain pihak, terdapat berbagai UU tak sejalan dengan jiwa dan raga serta semangat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA karena kuatnya ego sektoralisme birokrasi dalam pengelolaan kekayaan alam.

Guna mewujudkan reforma agraria yang sesuai dengan amanah Pasal 33 ayat (3) dan Pasal UUPA, ada tiga paham (isme) yang harus dibendung dalam RUU Pertanahan yang saat ini tengah digodok, yaitu kapitalisme, liberalisme, dan sektoralisme. Kita harus jujur ketiga "isme" itu telah memosisikan tanah sebagai komoditas. Selain itu ketiga "isme" tersebut juga menjadikan rakyat sebagai buruh di atas tanah sendiri, memuja kebebasan pasar, dan mereduksi peran negara dalam mengatur peruntukan tanah yang sesuai dengan konstitusi.

Sejalan dengan itu, menurut hemat penulis, harus juga dimuat dan diadopsi sejumlah paradigma yang mestinya melandasi RUU Pertanahan. Pertama , penataan struktur agraria untuk mengakhiri ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah. Kedua , penanganan sengketa dan konflik pertanahan. RUU ini harus menjelaskan dan menguraikan ruang lingkup dan definisi sengketa dan konflik pertanahan secara jelas dan utuh. Selain itu diperlukan juga pengaturan soal prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik pertanahan.

Ketiga, pengakuan dan penguatan hak-hak masyarakat adat. Tanah dan masyarakat adat tidak dapat dipisahkan. Keduanya menyatu menjadi satu bagai jiwa dan raga. Masyarakat adat terbentuk karena adanya tanah sebagai salah satu elemen dasarnya sehingga pengakuan dan penguatan hak masyarakat adat dalam RUU Pertanahan nanti menjadi suatu keharusan moral dan etika penyelenggaraan negara.

Keempat, harus ada pengaturan perihal mekanisme pengadaan tanah bagi petani miskin. Misalnya melalui redistribusi. Kelima, sinkronisasi dan harmonisasi dengan regulasi lain dengan memosisikan UUPA sebagai referensi utama.

Apabila paradigma di atas dapat dijadikan sebagai bahan dan dasar bagi pembentukan RUU Pertanahan, niscaya kegalauan rakyat Indonesia tentang kejelasan reforma agraria dapat terselesaikan dan pemerintah tidak akan lagi terjebak serta mewarisi paradigma reforma agraria yang terbatas pada administrasi pertanahan.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0938 seconds (0.1#10.140)