Meninggalkan Dampak Emosional Bagi Korban

Minggu, 17 Februari 2019 - 11:16 WIB
Meninggalkan Dampak...
Meninggalkan Dampak Emosional Bagi Korban
A A A
JAKARTA - Kekerasan di sekolah dapat dilakukan sesama siswa. Sudah lama peristiwa itu terjadi.

Bedanya, sekarang lebih mudah diketahui masyarakat karena peran media sosial. Cynaraieka, 31, mengingat peristiwa 16 tahun silam. Di Bontang Kalimantan Timur saat masih di bangku SMA, kerap mengalami kekerasan verbal.

Saat itu istilah bullying memang belum dikenal. Ejekan seolah menjadi hal biasa padahal dampaknya masih teringat hingga bertahun-tahun. Entah apa penyebabnya, perempuan yang akrab disapa Aie ini kerap menjadi bahan bualan teman-teman.

Tubuhnya yang bongsor diduga menjadi penyebabnya. Ejekan fisik pada zaman itu sudah banyak dilakukan. Ditambah, Aie senang berdiskusi dengan guru mengenai pelajaran, sehingga membuat guru memberi perhatian lebih kepadanya.

"Babon, Gentong menjadi panggilan saya. Awalnya diam tapi akhirnya di balas juga sampai adu jotos. Berantem hanya ditahap lempar pulpen sampai kena wajah dan berdarah," ucap Aie. Rasa marahnya bertambah saat mengetahui guru dan teman-temannya tidak ada yang membela atau melapor.

Bahkan beberapa malah ikut melakukan hal serupa. Aie mengatakan, jika hal tersebut terjadi saat ini dia akan merekam pembullyan dan akan membuatnya viral. Namun tahun 2003 belum ada ponsel pintar dan akses media sosial.

Untuk pindah sekolah tidak memungkinkan karena Aie dalam posisi jauh dari orangtua. Tinggal bersama kakek, nenek serta tante membuatnya tidak ingin merepotkan jika harus pindah sekolah. Semua bullying an dan ketidakadilan yang diterimanya malah membuat Aie menjadi sosok yang berani dan pemarah.

Berani untuk membela diri namun dengan cara emosi. "Saya sudah memaafkan, namun sampai sekarang enggan bertemu dengan mereka. Saya menjadi pribadi yang berani untuk bertindak jika melihat ada orang tersakiti," ceritanya.

Belum lagi dengan emosi yang sulit dikendalikan jika melihat ketidakadilan. Dia menyebut dirinya seperti pengacara yang kerap membela siapapun yang terdzolimi. Dampak lainnya, kini Aie lebih menjaga kedua buah hatinya agar terhindar dari bullying.

Sebab, dia tidak ingin sang anak memiliki luka emosi dari masa lalu yang buruk. Aie pun mengajarkan anak-anaknya untuk tidak melakukan bullying kepada teman. Aie terkadang heran mengapa temantemannya dulu senang mengejeknya hingga tidak segan melakukan kekerasan.

"Mereka tinggal dengan orang tua lengkap, mereka lebih beruntung dari saya. Tapi mengapa senang melihat saya menderita. Pasti ada yang salah juga di hidup mereka," kenangnya. Aie bersyukur saat itu tidak melayani segala bullying yang dialamatkan padanya.

Dia hanya fokus sekolah untuk lulus dengan nilai yang baik. "Suka kasih nasihat untuk mereka yang masih sekolah jangan terlalu mencolok nanti ada yang mem-bully. Lebih baik tunjukkan saja prestasi di sekolah. Lawan sewajarnya saja namun jangan terlalu diladeni. Nanti mereka tambah senang melihat kita marah," pesan Aie.

Melihat banyak kekurangajaran siswa terhadap guru, Aie melihat itu sebagai sebuah kemunduran. Belasan tahun lalu hanya dilakukan siswa kepada siswa lainnya. Menindas mereka yang dianggap lemah.

Namun kini menindas seseorang yang sesungguhnya lebih kuat darinya. Psikolog Anggia Darmawan menyebut, perilaku menyimpang dari remaja dihasilkan dari emosi negatif. Sesuai teori pembentukan perilaku, perilaku terbentuk dari pemahaman.

Ketika pemahamanannya diubah menjadi positif perilakunya akan positif juga. "Dulu booming adanya motivator, sugesti positif, seiring berjalan waktu ditemukan bahwa dibalik pikiran itu justru ada emosi," ungkapnya.

Banyak sekali ditemukan ketika seseorang diubah pemahamannya menja di positif perilakuknya tidak juga menjadi positif ternyata karena dia masih ada luka mendalam. Jadi masih menyimpan emosi negatif.

Ketika emosi negatif dihabiskan, maka emosi menjadi positif tanpa perlu banyak upaya untuk membuat positif pikiran. "Ternyata pikiran ini menjadi hampir otomatis positif. Luar biasanya perilaku pun otomatis positif dan itu sifatnya sangat permanen," sambung Anggia.

Hal ini berlaku kepada para korban kekerasan secara verbal atau non verbal hampir dipastikan akan meninggalkan emosi. Tercipta emosi negatif yang sebenarnya bisa dikikis dengan sugesti dan diganti dengan emosi positif.

"Sejak dulu jika kita korban bully, kita punya emosi negatif jadi cepat marah. Setelah itu dicoba perlahan untuk mengurangi emosi itu dan diganti dengan emosi yang lain, seperti berkarya," sarannya. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3094 seconds (0.1#10.140)