LPSK Serap Masukan dari Masyarakat
A
A
A
JAKARTA - Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2019-2024 menggelar acara “LPSK Mendengar” untuk menyerapkan masukan dan harapan dari kelompok masyarakat sipil dan organisasi korban. Hasil dari acara “LPSK Mendengar” akan menjadi bekal bagi pimpinan LPSK dalam menyusun Rencana Strategis lima tahun ke depan.
Hadir dalam acara “LPSK Mendengar” yang diselenggarakan di RM Handayani, Matraman, Jakarta Timur, Jumat (15/2-2019), tujuh pimpinan LPSK periode 2019-2024, yakni Hasto Atmojo Suroyo sebagai ketua beserta Achmadi, Antonius PS Wibowo, Edwin Partogi Pasaribu, Livia Istania DF Iskandar, Maneger Nasution dan Susilaningtias, masing-masing menjabat wakil ketua.
Sementara kelompok masyarakat sipil dan organisasi korban yang hadir antara lain perwakilan dari Amnesty International, Yayasan Keluarga Penyintas Indonesia (YKPI), ELSAM, ICJR, Yayasan Pulih, IKOHI, Walhi, AIDA, ICW, LBH Apik, LBH Jakarta, Sawit Watch, LPAI, Sahabat Thamrin dan sejumlah wartawan dari media massa.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menjelaskan, di awal masa jabatannya, pimpinan LPSK periode 2019-2024 fokus melakukan pembenahan organisasi sehingga belum banyak melakukan kegiatan luar. “Salah satunya menggelar acara “LPSK Mendengar” yang bertujuan menampung masukan dan harapan dari masyarakat sipil dan korban,” kata Hasto saat mengawali acara.
Tujuan lain dari acara tersebut, menurut dia, untuk mengetahui pandangan dari para mitra strategis apakah LPSK masih berada dijalurnya ataukah perlu pembenahan. “Masukan dan kritikan yang disampaikan akan menjadi bekal untuk melakukan perbaikan kerja-kerja LPSK ke depan. Apalagi, acara ini dihadiri banyak organisasi korban yang bersinggungan langsung dengan LPSK,” ujarnya.
Masih menurut Hasto, acara “LPSK Mendengar” juga diselenggarakan dengan pertimbangan historis kelahiran LPSK itu sendiri yang didorong oleh koalisi perlindungan saksi dan korban, yang terdiri dari beberapa organisasi yang juga diundang untuk memberikan masukannya pada acara “LPSK Mendengar”.
Setidaknya ada beberapa poin yang disampaikan perwakilan organisasi kelompok masyarakat sipil dan korban yang hadir pada acara “LPSK Mendengar” tersebut, antara lain mengenai perhatian LPSK pada penanganan korban kasus penyiksaan, layanan bagi korban terorisme, termasuk progres pembahasan rancangan peraturan pemerintah mengenai kompensasi korban terorisme masa lalu.
Selain itu, isu yang juga mengemuka dalam “LPSK Mendengar” yakni bagaimana LPSK dalam pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu, karena hingga kini pengadilan HAM belum juga terbentuk. Akibatnya, sejumlah hak belum dapat diakses korban pelanggaran HAM berat masa lalu, ditambah mekanisme yang harus dilalui untuk mengakses bantuan tersebut cukup rumit.
Yati Andriyani dari KontraS menyampaikan agar LPSK bisa lebih banyak berperan dalam pemenuhan hak korban-korban penyiksaan, serta ikut mendorong agar pemidanaan soal penyiksaan diatur dalam RKUHP. “Dalam hal pencegahan penyiksaan, LPSK harus terlibat aktif dalam NPM (National Preventive Mechanism) dan model kerja LPSK juga harus lebih respoensif dan efektif,” ujarnya.
Usman Hamid dari Amnesty International menyoroti mekanisme korban pelanggaran HAM berat untuk mendapatkan layanan dari LPSK yang harus mendapatkan surat keterangan dari Komnas HAM. Sementara di pihak lain, banyak korban pelanggaran HAM berat yang terkendala untuk mendapatkan surat keterangan tersebut. “Mekanismenya terlalu lama. Apakah bisa korban pelanggaran HAM berat mendapatkan layanan LPSK tanpa surat keterangan itu,” katanya.
Hadir dalam acara “LPSK Mendengar” yang diselenggarakan di RM Handayani, Matraman, Jakarta Timur, Jumat (15/2-2019), tujuh pimpinan LPSK periode 2019-2024, yakni Hasto Atmojo Suroyo sebagai ketua beserta Achmadi, Antonius PS Wibowo, Edwin Partogi Pasaribu, Livia Istania DF Iskandar, Maneger Nasution dan Susilaningtias, masing-masing menjabat wakil ketua.
Sementara kelompok masyarakat sipil dan organisasi korban yang hadir antara lain perwakilan dari Amnesty International, Yayasan Keluarga Penyintas Indonesia (YKPI), ELSAM, ICJR, Yayasan Pulih, IKOHI, Walhi, AIDA, ICW, LBH Apik, LBH Jakarta, Sawit Watch, LPAI, Sahabat Thamrin dan sejumlah wartawan dari media massa.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menjelaskan, di awal masa jabatannya, pimpinan LPSK periode 2019-2024 fokus melakukan pembenahan organisasi sehingga belum banyak melakukan kegiatan luar. “Salah satunya menggelar acara “LPSK Mendengar” yang bertujuan menampung masukan dan harapan dari masyarakat sipil dan korban,” kata Hasto saat mengawali acara.
Tujuan lain dari acara tersebut, menurut dia, untuk mengetahui pandangan dari para mitra strategis apakah LPSK masih berada dijalurnya ataukah perlu pembenahan. “Masukan dan kritikan yang disampaikan akan menjadi bekal untuk melakukan perbaikan kerja-kerja LPSK ke depan. Apalagi, acara ini dihadiri banyak organisasi korban yang bersinggungan langsung dengan LPSK,” ujarnya.
Masih menurut Hasto, acara “LPSK Mendengar” juga diselenggarakan dengan pertimbangan historis kelahiran LPSK itu sendiri yang didorong oleh koalisi perlindungan saksi dan korban, yang terdiri dari beberapa organisasi yang juga diundang untuk memberikan masukannya pada acara “LPSK Mendengar”.
Setidaknya ada beberapa poin yang disampaikan perwakilan organisasi kelompok masyarakat sipil dan korban yang hadir pada acara “LPSK Mendengar” tersebut, antara lain mengenai perhatian LPSK pada penanganan korban kasus penyiksaan, layanan bagi korban terorisme, termasuk progres pembahasan rancangan peraturan pemerintah mengenai kompensasi korban terorisme masa lalu.
Selain itu, isu yang juga mengemuka dalam “LPSK Mendengar” yakni bagaimana LPSK dalam pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu, karena hingga kini pengadilan HAM belum juga terbentuk. Akibatnya, sejumlah hak belum dapat diakses korban pelanggaran HAM berat masa lalu, ditambah mekanisme yang harus dilalui untuk mengakses bantuan tersebut cukup rumit.
Yati Andriyani dari KontraS menyampaikan agar LPSK bisa lebih banyak berperan dalam pemenuhan hak korban-korban penyiksaan, serta ikut mendorong agar pemidanaan soal penyiksaan diatur dalam RKUHP. “Dalam hal pencegahan penyiksaan, LPSK harus terlibat aktif dalam NPM (National Preventive Mechanism) dan model kerja LPSK juga harus lebih respoensif dan efektif,” ujarnya.
Usman Hamid dari Amnesty International menyoroti mekanisme korban pelanggaran HAM berat untuk mendapatkan layanan dari LPSK yang harus mendapatkan surat keterangan dari Komnas HAM. Sementara di pihak lain, banyak korban pelanggaran HAM berat yang terkendala untuk mendapatkan surat keterangan tersebut. “Mekanismenya terlalu lama. Apakah bisa korban pelanggaran HAM berat mendapatkan layanan LPSK tanpa surat keterangan itu,” katanya.
(pur)