Prioritas Ekspor Komoditas Industri

Sabtu, 16 Februari 2019 - 07:31 WIB
Prioritas Ekspor Komoditas Industri
Prioritas Ekspor Komoditas Industri
A A A
MENYIKAPI neraca perdagangan yang mengalami tekor awal tahun ini pemerintah telah memprogramkan sejumlah rencana jangka pendek, di antaranya fokus mendorong ekspor komoditas industri. Defisit neraca perdagangan pada Januari 2019 tidak terlepas dari kondisi dua negara tujuan ekspor utama Indonesia, yakni China dan Amerika Serikat. Kini kedua negara tersebut yang sedang berseteru dalam urusan perdagangan telah melemahkan kinerja ekonomi mereka, terutama Negeri Panda.

Perlambatan pertumbuhan perekonomian negara adidaya ekonomi tersebut berdampak pada kinerja ekspor Indonesia. Celakanya, produk ekspor ke Negeri Tirai Bambu itu berupa hasil tambang dan hasil perkebunan yang tak mudah dialihkan begitu saja kepada negara lain. Salah satu jalan keluarnya pemerintah harus membuka segera pasar baru dengan dagangan berupa komoditas industri. Adapun komoditas industri yang disiapkan pemerintah di antaranya produk automotif dalam bentuk jadi (completely build up /CBU).

Untuk menyiasati defisit neraca perdagangan tersebut, dalam jangka pendek pemerintah telah melaksanakan penyederhanaan prosedur yang dibuktikan dengan hadirnya regulasi baru berupa Peraturan Ditjen Bea Cukai Nomor PER-01/BC/2019 sejak 1 Februari lalu. Selain produk automotif pemerintah juga sedang merumuskan sejumlah produk yang memang bisa dijual di pasar negara lain.

Sebelumnya, publikasi terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) telah membeberkan neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit sebesar USD1,16 miliar pada Januari 2019. Defisit tersebut akibat realisasi nilai ekspor yang lebih kecil dari nilai impor. Sepanjang Januari lalu BPS mencatat realisasi nilai ekspor hanya mencapai USD13,87 miliar, sementara realisasi nilai impor melambung hingga USD15,03 miliar. Defisit neraca perdagangan kali ini termasuk paling besar bila dilihat dari periode yang sama (Januari) sejak 2014.

Tengok saja, data yang disajikan BPS di mana defisit neraca perdagangan Januari 2014 tercatat USD443,9 juta, lalu Januari 2015 terjadi surplus sebesar USD632,2 juta, Januari 2016 juga surplus sebesar USD114 juta, dan Januari 2017 lagi-lagi surplus sebesar USD1,4 miliar, namun pada Januari 2018 terjadi defisit sebesar USD156 juta. Melemahnya kinerja ekspor sepanjang Januari lalu salah satunya dikontribusikan oleh ekspor minyak dan gas (migas) yang turun hingga 29,30%, sebaliknya ekspor nonmigas mencatat kenaikan 0,38%.

Sejak tahun lalu defisit ekspor impor migas memang salah satu sumber utama penyebab defisit neraca perdagangan 2018, bahkan angka defisit ekspor impor migas mengalahkan nilai defisit neraca perdagangan. Tahun lalu BPS menyajikan defisit neraca perdagangan USD8,57 miliar, yang terbentuk dari nilai ekspor USD180,05 miliar dan nilai impor yang lebih tinggi pada posisi USD188,62 miliar.

Adapun defisit ekspor impor migas mencapai USD12,40 miliar—di mana realisasi ekspor migas tercatat USD17,40 miliar, sedangkan impor migas mencapai USD29,80 miliar, jauh lebih tinggi dari defisit neraca perdagangan. Tercatat neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit untuk sejumlah negara, di antaranya China tekor USD2,4 miliar, Thailand defisit USD261 juta, dan Australia kalah USD208 juta.

Pemerintah mengakui melemahnya arus ekspor ke China yang selama ini menjadi tujuan utama ekspor sebagai imbas dari perang dagang. Di lain pihak, untuk mengalihkan ekspor ke negara tujuan baru bukan persoalan gampang. Meski perdagangan Indonesia kalah dari China, kita masih mencatatkan surplus dari sejumlah negara, termasuk AS yang juga salah satu tujuan utama ekspor selain China dan Jepang.

Indonesia mencatat surplus perdagangan terhadap AS sebesar USD805 juta, disusul surplus dari India sekitar USD650 juta dan surplus dari Belanda sebesar USD214 juta. Kita harus memberi apresiasi kepada pemerintah yang begitu sigap menyiasati tekornya neraca perdagangan pada awal tahun ini. Pemerintah bertekad mendorong ekspor komoditas industri yang diawali untuk sektor automotif, kemudian menyusul sektor industri lain seraya terus membuka pasar baru tujuan ekspor ke berbagai negara selain China, AS, dan Jepang yang juga disebut pasar tradisional ekspor selama ini.

Tentu muncul pertanyaan sejauh mana kesiapan industri di dalam negeri dalam menyahuti langkah pemerintah tersebut. Bukankah dalam dua tahun terakhir ini sektor industri berada pada iklim yang kurang kondusif?
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7986 seconds (0.1#10.140)