Karut-marut RUU Permusikan
A
A
A
Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
DPR menuai kritik dari pekerja seni dan musisi di Indonesia atas muatan isi yang terdapat dalam Rancangan Undangan-Undangan (RUU) tentang Permusikan yang termasuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019. Semangat yang terdapat dalam RUU Permusikan ini adalah membangun sebuah industri musik layaknya di mancanegara seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan. Namun, terdapat beberapa kekeliruan pada muatan isi yang terdapat dalam undang-undang tersebut.
Seperti pada Pasal 5 RUU Permusikan yang memuat tentang larangan bagi setiap orang dalam melakukan proses kreasi. Larangan untuk menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama; membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau merendahkan harkat dan martabat manusia merupakan beberapa ketentuan karet yang dapat ditafsirkan secara bebas oleh setiap orang dan penegak hukum. Pelanggaran terhadap larangan yang terdapat dalam RUU Permusikan diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.
Ancaman pidana dalam RUU Permusikan dapat mengancam kreativitas dan independensi pelaku seni. Karena musisi dalam berkarya akan melakukan swasensor terhadap karyanya agar tidak melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 RUU Permusikan. Karena apabila tidak berhati-hati dalam berkarya, pidana bisa saja menyapa setiap pelaku seni musik karena karyanya sendiri.
Semangat memidanakan dan memenjarakan oleh pembentuk undang-undang melalui pasal karet telah ada sejak dulu, salah satunya adalah pasal karet yang terdapat dalam UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Seperti Pasal 28 ayat (2) UU tentang ITE bahwa, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan”, terdapat ancaman pidana bagi setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut berupa pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah. Di situ terdapat frase yang dapat diartikan secara bebas, yaitu kata-kata “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan”.
Kata-kata tersebut tidak konkret dan tidak memiliki definisi baku yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa perbuatan seseorang merupakan sebuah tindak pidana. Muatan isi yang terdapat dalam pasal karet seperti pada UU ITE dan RUU Permusikan dapat dilihat sebagai upaya untuk memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik yang diberikan oleh masyarakat.
Banyak musisi menggunakan musik sebagai media untuk menyampaikan kekecewaan terhadap pemerintah dan kritik atas kebijakan yang ada. Tidak jarang kata-kata umpatan dan kata-kata yang dianggap kasar meluncur indah dari lidah mereka, namun hal tersebut merupakan salah satu dari bentuk kebebasan berekspresi yang telah dilindungi oleh konstitusi sebagai hukum tertinggi yang ada di Indonesia.
Banyak musisi yang ikut turun ke wilayah konflik dan sengketa untuk berdiri bersama masyarakat dan menyampaikan protesnya melalui musik yang dijadikan sebagai media untuk menyebarkan bagaimana keadaan dan situasi yang terdapat di sana. Sebut saja Iksan Skuter dan Sisir Tanah ketika menyampaikan kritik atas upaya pembangunan New Yogyakarta International Airport dan grup musik punk, Superman is Dewi, yang ikut menyuarakan penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa bersama masyarakat Bali. Musik dijadikan sebagai medium untuk menyampaikan kritik sosial terhadap berbagai masalah yang terjadi di tengah masyarakat.
Apabila RUU Permusikan tetap disahkan dengan muatan isi seperti yang terdapat pada saat ini, itu akan mengancam musisi yang selama ini vokal dalam menyuarakan kritik sosial melalui karya musik. Ancaman pidana akan membayangi mereka dalam proses penciptaan karya dan apabila tetap mengeluarkan kritik dengan bahasa yang lugas, maka akan dianggap melakukan provokasi atau mendorong khalayak umum untuk melakukan tindakan melawan hukum. Pembatasan dan pelarangan seperti yang terdapat pada RUU Permusikan telah muncul sejak masa Orde Baru.
Pembatasan dalam penyebaran karya musik telah ada sejak era Demokrasi Terpimpin pada kepemimpinan Presiden Soekarno dari 1959. Pembatasan dan pelarangan terhadap musik Barat muncul pada pidato Presiden Soekarno dengan judul Penemuan Kembali Revolusi Kita pada 17 Agustus 1959 yang menyebut musik rock and roll, dansa-dansian, dan cha cha cha sebagai musik ngak-ngik-ngok (bodoh) sebagai wujud imperialisme kebudayaan di Indonesia.
Langkah yang diambil setelah pidato tersebut adalah penghapusan semua lagu-lagu Barat di semua siaran dan melarang musisi memakai nama kebarat-baratan yang tampil di Radio Republik Indonesia (RRI). Pelarangan dan Pembatasan musik diprotes oleh kelompok seniman dan musisi yang tergabung dalam Djawatan Kebudajaan Perwakilan Djakarta Raja. Protes yang dilayangkan oleh kelompok ini dijawab oleh Presiden Soekarno dengan Penetapan Presiden Nomor 11/1963 tentang Pembatasan Kegiatan Subversi. Penetapan Presiden tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk merazia musik yang dianggap berlawanan dengan kebudayaan di Indonesia.
Terdapat beberapa masalah yang dikemukakan oleh Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, salah satunya memarginalkan musisi independen dan berpihak pada industri besar, kemudian memaksakan kehendak dan diskriminasi. Melalui rancangan undang-undang ini pembentuk undang-undang hanya mengatur dan melindungi kepentingan dari industri besar dan perlindungan terhadap musisi independen makin berkurang. Selain dibayangi oleh ancaman pidana, musisi independen juga termarginalkan apabila tidak berada dalam arus utama industri musik, salah satunya dengan tidak adanya perlindungan atas hak cipta karya musisi independen di Indonesia.
Undang-Undang Permusikan bukan merupakan langkah strategis untuk memajukan musik di Indonesia. Perlindungan atas karya musisi tanpa membedakan antara satu musisi dengan lainnya sehingga karut-marut tentang masalah yang terdapat dalam RUU Permusikan seperti larangan yang diancam dengan pidana harus diakhiri dengan menghapus ketentuan tersebut. Hal itu perlu dilakukan agar dapat memberikan kebebasan bagi pekerja seni dalam berekspresi.
Peneliti di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
DPR menuai kritik dari pekerja seni dan musisi di Indonesia atas muatan isi yang terdapat dalam Rancangan Undangan-Undangan (RUU) tentang Permusikan yang termasuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019. Semangat yang terdapat dalam RUU Permusikan ini adalah membangun sebuah industri musik layaknya di mancanegara seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan. Namun, terdapat beberapa kekeliruan pada muatan isi yang terdapat dalam undang-undang tersebut.
Seperti pada Pasal 5 RUU Permusikan yang memuat tentang larangan bagi setiap orang dalam melakukan proses kreasi. Larangan untuk menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama; membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau merendahkan harkat dan martabat manusia merupakan beberapa ketentuan karet yang dapat ditafsirkan secara bebas oleh setiap orang dan penegak hukum. Pelanggaran terhadap larangan yang terdapat dalam RUU Permusikan diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.
Ancaman pidana dalam RUU Permusikan dapat mengancam kreativitas dan independensi pelaku seni. Karena musisi dalam berkarya akan melakukan swasensor terhadap karyanya agar tidak melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 RUU Permusikan. Karena apabila tidak berhati-hati dalam berkarya, pidana bisa saja menyapa setiap pelaku seni musik karena karyanya sendiri.
Semangat memidanakan dan memenjarakan oleh pembentuk undang-undang melalui pasal karet telah ada sejak dulu, salah satunya adalah pasal karet yang terdapat dalam UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Seperti Pasal 28 ayat (2) UU tentang ITE bahwa, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan”, terdapat ancaman pidana bagi setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut berupa pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah. Di situ terdapat frase yang dapat diartikan secara bebas, yaitu kata-kata “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan”.
Kata-kata tersebut tidak konkret dan tidak memiliki definisi baku yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa perbuatan seseorang merupakan sebuah tindak pidana. Muatan isi yang terdapat dalam pasal karet seperti pada UU ITE dan RUU Permusikan dapat dilihat sebagai upaya untuk memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik yang diberikan oleh masyarakat.
Banyak musisi menggunakan musik sebagai media untuk menyampaikan kekecewaan terhadap pemerintah dan kritik atas kebijakan yang ada. Tidak jarang kata-kata umpatan dan kata-kata yang dianggap kasar meluncur indah dari lidah mereka, namun hal tersebut merupakan salah satu dari bentuk kebebasan berekspresi yang telah dilindungi oleh konstitusi sebagai hukum tertinggi yang ada di Indonesia.
Banyak musisi yang ikut turun ke wilayah konflik dan sengketa untuk berdiri bersama masyarakat dan menyampaikan protesnya melalui musik yang dijadikan sebagai media untuk menyebarkan bagaimana keadaan dan situasi yang terdapat di sana. Sebut saja Iksan Skuter dan Sisir Tanah ketika menyampaikan kritik atas upaya pembangunan New Yogyakarta International Airport dan grup musik punk, Superman is Dewi, yang ikut menyuarakan penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa bersama masyarakat Bali. Musik dijadikan sebagai medium untuk menyampaikan kritik sosial terhadap berbagai masalah yang terjadi di tengah masyarakat.
Apabila RUU Permusikan tetap disahkan dengan muatan isi seperti yang terdapat pada saat ini, itu akan mengancam musisi yang selama ini vokal dalam menyuarakan kritik sosial melalui karya musik. Ancaman pidana akan membayangi mereka dalam proses penciptaan karya dan apabila tetap mengeluarkan kritik dengan bahasa yang lugas, maka akan dianggap melakukan provokasi atau mendorong khalayak umum untuk melakukan tindakan melawan hukum. Pembatasan dan pelarangan seperti yang terdapat pada RUU Permusikan telah muncul sejak masa Orde Baru.
Pembatasan dalam penyebaran karya musik telah ada sejak era Demokrasi Terpimpin pada kepemimpinan Presiden Soekarno dari 1959. Pembatasan dan pelarangan terhadap musik Barat muncul pada pidato Presiden Soekarno dengan judul Penemuan Kembali Revolusi Kita pada 17 Agustus 1959 yang menyebut musik rock and roll, dansa-dansian, dan cha cha cha sebagai musik ngak-ngik-ngok (bodoh) sebagai wujud imperialisme kebudayaan di Indonesia.
Langkah yang diambil setelah pidato tersebut adalah penghapusan semua lagu-lagu Barat di semua siaran dan melarang musisi memakai nama kebarat-baratan yang tampil di Radio Republik Indonesia (RRI). Pelarangan dan Pembatasan musik diprotes oleh kelompok seniman dan musisi yang tergabung dalam Djawatan Kebudajaan Perwakilan Djakarta Raja. Protes yang dilayangkan oleh kelompok ini dijawab oleh Presiden Soekarno dengan Penetapan Presiden Nomor 11/1963 tentang Pembatasan Kegiatan Subversi. Penetapan Presiden tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk merazia musik yang dianggap berlawanan dengan kebudayaan di Indonesia.
Terdapat beberapa masalah yang dikemukakan oleh Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, salah satunya memarginalkan musisi independen dan berpihak pada industri besar, kemudian memaksakan kehendak dan diskriminasi. Melalui rancangan undang-undang ini pembentuk undang-undang hanya mengatur dan melindungi kepentingan dari industri besar dan perlindungan terhadap musisi independen makin berkurang. Selain dibayangi oleh ancaman pidana, musisi independen juga termarginalkan apabila tidak berada dalam arus utama industri musik, salah satunya dengan tidak adanya perlindungan atas hak cipta karya musisi independen di Indonesia.
Undang-Undang Permusikan bukan merupakan langkah strategis untuk memajukan musik di Indonesia. Perlindungan atas karya musisi tanpa membedakan antara satu musisi dengan lainnya sehingga karut-marut tentang masalah yang terdapat dalam RUU Permusikan seperti larangan yang diancam dengan pidana harus diakhiri dengan menghapus ketentuan tersebut. Hal itu perlu dilakukan agar dapat memberikan kebebasan bagi pekerja seni dalam berekspresi.
(thm)